Banyak Tugas Tambahan, Guru di Jepang Banyak Cuti Demi Kesehaan Mental
Chiharu Kurayama dari SD Shimoda di Tokyo mengungkapkan dampak dari beban kerja berlebih pada kesehatan mentalnya.
BaperaNews - Guru di Jepang, seperti Chiharu Kurayama dari Sekolah Dasar Shimoda di distrik Ota, Tokyo, menghadapi beban kerja yang berat dan sering kali melebihi jam kerja resmi mereka. Kurayama, yang berusia 41 tahun, secara rutin menyelesaikan pekerjaannya setelah pukul 8 malam, jauh melewati jam kerja yang seharusnya berakhir pukul 16.30.
Ia mengelola hampir semua mata pelajaran kecuali musik, yang merupakan satu-satunya kesempatannya untuk beristirahat. Namun, pekerjaannya tidak berhenti di situ.
Sebagai koordinator pendidikan kebutuhan khusus, Kurayama juga harus memantau dan menangani masalah siswa berkebutuhan khusus, serta mengawasi anak-anak selama jam makan siang untuk menghindari perundungan atau alergi makanan.
Masalah tambahan bagi Kurayama adalah administrasi harian yang memakan waktu setelah jam pelajaran berakhir, termasuk membantu guru kelas VI dalam membuat sertifikat kelulusan dan menangani panggilan telepon dari wali murid yang sering kali berisi keluhan.
Kurayama mengungkapkan bahwa beban kerja yang berat ini telah memengaruhi kesehatan mentalnya secara signifikan sehingga ia baru saja kembali dari cuti hampir dua bulan untuk mengatasi gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh stres pekerjaan.
Kurayama bukan satu-satunya guru yang mengalami beban kerja berlebih. Bekerja lembur, atau lebih dari 14 jam sehari, telah menjadi norma di kalangan guru sekolah negeri di Jepang.
Baca Juga: Pasangan Lesbian di Jepang Nekat Foto Nikah Pake Kimono Gegara Frustrasi Haknya Dilarang
Kegiatan ekstrakurikuler seperti klub dan kunjungan sekolah yang disebut "tokkatsu" menambah beban kerja mereka. Meskipun peraturan menyatakan bahwa guru tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan ekstrakurikuler, banyak dari mereka merasa tertekan untuk bekerja lebih lama.
Menurut data terbaru Kementerian Pendidikan Jepang, 64,5 persen guru sekolah dasar melampaui batas lembur sebesar 45 jam per bulan. Angka ini meningkat menjadi 77,1 persen untuk guru sekolah menengah pertama yang juga harus mengawasi kegiatan klub setelah jam sekolah dan pada akhir pekan.
Situasi ini semakin memburuk karena jumlah pelamar yang ingin menjadi guru di Jepang semakin sedikit, bahkan di Tokyo, jumlah pelamar terendah untuk setiap lowongan di sekolah dasar negeri hanya 1,1 orang tahun ini.
Beban kerja yang berat ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga mental.
Pada tahun ajaran 2022, lebih dari 12.000 guru sekolah negeri di Jepang mengambil cuti karena penyakit mental. Sementara itu, 953 guru lainnya mengundurkan diri pada tahun ajaran 2021 dengan alasan yang sama.
Survei yang dilakukan oleh Serikat Guru Jepang menemukan bahwa rata-rata guru sekolah negeri bekerja lembur 96 jam dalam sebulan, meningkatkan risiko mereka terkena "karoshi" atau kematian akibat kerja berlebihan. Jepang menganggap lebih dari 80 jam lembur dalam sebulan berada dalam zona bahaya.
Baca Juga: Jepang Dilanda Gelombang Panas Mengakibatkan 6 Orang Tewas