Tajikistan Sahkan UU Larang Gunakan Hijab, Denda Rp12 Juta yang Melanggar
Pemerintah Tajikistan melarang penggunaan hijab di ruang publik dengan denda berat bagi pelanggarnya. Baca selengkapnya di sini!
BaperaNews - Pemerintah Tajikistan telah mengesahkan undang-undang baru yang melarang penggunaan hijab di ruang publik, dengan denda berat bagi pelanggarnya.
Parlemen negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim ini, mengadopsi undang-undang tersebut pada pekan lalu sebagai bagian dari upaya untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah ekstremisme. Langkah ini menjadi topik hangat dan menuai beragam reaksi dari dalam dan luar negeri.
Undang-undang baru ini melarang penggunaan, impor, penjualan, dan pemasaran "pakaian asing bagi budaya Tajik" yang secara umum diartikan sebagai pakaian khas Muslim termasuk hijab.
Selain itu, undang-undang ini juga melarang berbagai atribut keagamaan lainnya, dan termasuk sanksi administratif serta denda yang besar.
Menurut ketentuan undang-undang tersebut, individu yang melanggar aturan akan dikenakan denda sebesar 7.920 somoni atau sekitar Rp12,1 juta. Denda yang lebih tinggi, mencapai 57.600 somoni (Rp88,1 juta), akan dikenakan kepada tokoh agama yang melanggar aturan ini.
Pemerintah Tajikistan menyatakan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul serta ekstremisme."
Baca Juga: Erdogan Menuding Negara Barat Dukung Israel Serang Lebanon
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah memperketat aturan mengenai penggunaan pakaian dan atribut keagamaan di sekolah-sekolah serta tempat kerja.
Kini, dengan undang-undang baru ini, larangan hijab di Tajikistan tersebut diperluas hingga ke ruang publik.
Di bawah pemerintahan Presiden Emomali Rahmon, Tajikistan yang berpenduduk sekitar 96% Muslim, telah berusaha menerapkan paham sekuler dan mengurangi pengaruh praktik keagamaan dalam kehidupan politik dan sosial.
Langkah ini telah menimbulkan kontroversi dan memicu kritik baik dari dalam negeri maupun dari komunitas internasional.
Pengesahan undang-undang ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena mayoritas penduduk Tajikistan adalah Muslim yang secara tradisional menggunakan hijab sebagai bagian dari identitas keagamaan mereka. Keputusan ini juga memicu kekhawatiran mengenai kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.
Salah satu yang terdampak oleh larangan hijab ini adalah Salomat, seorang perempuan Tajikistan yang harus memilih antara kariernya di bidang medis atau tetap memegang teguh keyakinannya dengan menggunakan hijab.
Setelah lulus dari sekolah kedokteran, ia hanya dapat bekerja sebagai tukang pijat di salon kecantikan karena larangan penggunaan hijab di rumah sakit.
"Saya harus memilih antara karier dan keyakinan saya, dan saya memilih yang terakhir," kata Salomat, menekankan dilema yang ia dan banyak perempuan lainnya hadapi.