Thailand Resesi Seks, Warga Pilih Adopsi Kucing
Thailand alami resesi seks, masyarakat lebih suka memelihara kucing yang dinilai lebih menghemat biaya dibandingkan mempunyai anak. Baca selengkapnya di sini!
BaperaNews - Thailand menghadapi krisis demografis yang disebut resesi seks, dengan semakin banyak warga yang memilih untuk mengadopsi kucing daripada memiliki anak. Survei terbaru oleh National Institute of Development Administration pada September 2023 mengungkapkan bahwa 44 persen responden Thailand tidak tertarik untuk mempunyai anak.
Keengganan warga Thailand untuk memiliki anak disebabkan oleh biaya pengasuhan yang tinggi, kekhawatiran tentang kondisi masyarakat, dan beban pengasuhan anak. Tingkat kesuburan di Thailand tercatat hanya 1,08 pada 2023, angka terendah kedua di Asia Tenggara setelah Singapura yang hanya 0,97 pada periode yang sama.
Wakil Perdana Menteri Thailand, Somsak Thepsutin, menyatakan kekhawatirannya mengenai dampak jangka panjang dari tren ini.
"Jika tren ini terus berlanjut, populasi Thailand bisa menyusut dari 66 juta menjadi 33 juta dalam 60 tahun ke depan," ungkap Thepsutin.
Istilah resesi seks pertama kali dicetuskan oleh peneliti dan penulis Kate Julian pada 2018 dalam tulisannya di The Atlantic. Fenomena ini menggambarkan penurunan aktivitas seksual di berbagai negara, termasuk Thailand, yang berdampak pada rendahnya angka kelahiran.
Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, juga meneliti penurunan kehidupan seksual di Amerika Serikat, yang sejalan dengan fenomena yang terjadi di Thailand.
Banyak pasangan di Thailand kini memilih untuk mengadopsi kucing sebagai pengganti memiliki anak.
Sira Kitpinyochai dan Boontarika Namsena, misalnya, adalah pasangan yang lebih memilih memelihara 11 kucing daripada memiliki anak. Mereka merasa bahwa biaya pengasuhan anak terlalu besar dan tidak memiliki waktu luang karena pekerjaan mereka yang menghabiskan 10 hingga 12 jam sehari.
Baca Juga: Thailand Jadi Negara Pertama di ASEAN yang Izinkan Pernikahan Sesama Jenis
"Anak-anak [jadi] lebih seperti beban karena banyak biaya yang dikeluarkan," kata Kitpinyochai dan Namsena, sebagaimana dikutip oleh Channel NewsAsia pada Rabu, 19 Juni.
"Sebagian besar waktu kami dihabiskan di kantor, bagaimana kami punya waktu untuk merawat anak-anak kami," tambah Namsena.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh warga Thailand lainnya, Anchalee. Dia menganggap bahwa tuntutan kehidupan profesional sangat berat dan membuat hari-harinya cukup sulit.
"Saya tidak ingin mempunyai anak karena kehidupan saya sendiri sudah cukup sulit," ujarnya.
Penurunan tingkat kelahiran ini membawa implikasi serius bagi Thailand, termasuk potensi penurunan populasi dan tantangan dalam menjaga keseimbangan demografis. Banyak warga, terutama pasangan muda, merasa tertekan oleh beban biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi, yang semakin memperburuk situasi.
Pemerintah Thailand perlu mengambil langkah untuk menangani isu ini dengan mempromosikan kebijakan yang mendukung keluarga dan mempermudah beban pengasuhan anak.
Menghadapi tantangan ini, Pemerintah Thailand di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Somsak Thepsutin telah mengidentifikasi perlunya kebijakan yang lebih mendukung bagi keluarga muda.
Salah satu langkah yang mungkin diambil adalah insentif finansial bagi keluarga yang memiliki anak dan program yang mempermudah akses ke layanan pengasuhan anak. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban biaya dan meningkatkan minat warga dalam memiliki anak.
Thepsutin mengakui bahwa mengatasi masalah resesi seks ini membutuhkan pendekatan jangka panjang dan dukungan penuh dari berbagai sektor masyarakat.
"Kami harus berupaya keras untuk membuat lingkungan yang lebih kondusif bagi keluarga dan mendorong peningkatan angka kelahiran," katanya.
Baca Juga: Thailand Rencanakan Pindah Ibu Kota, Bangkok Diprediksi Tenggelam