Diprediksi Buat Gen Z-Milenial Miskin, Apa itu Tren Doom Spending?

Generasi Z dan milenial diperkirakan akan menghadapi masa depan finansial yang lebih buruk akibat adanya tren doom spending.

Diprediksi Buat Gen Z-Milenial Miskin, Apa itu Tren Doom Spending?
Diprediksi Buat Gen Z-Milenial Miskin, Apa itu Tren Doom Spending? Gambar : Ilustrasi Canva

BaperaNews - Generasi Z dan milenial diperkirakan akan menghadapi masa depan finansial yang lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya. 

Hal ini terkait dengan tren doom spending, sebuah tren belanja berlebihan yang dipicu oleh kecemasan terhadap kondisi ekonomi dan masa depan. 

Menurut Psychology Today, doom spending terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir sebagai upaya untuk menenangkan diri dari pesimisme terkait ekonomi.

Ylva Baeckström, dosen senior keuangan di King's Business School, mengungkapkan bahwa perilaku ini tidak sehat dan cenderung fatalistis.

"Anak muda terus-menerus terpapar berita buruk melalui internet, yang membuat mereka merasa dunia seperti akan kiamat," kata Baeckström dalam wawancara dengan CNBC Africa. 

Ia menambahkan bahwa perasaan pesimistis ini kemudian diterjemahkan menjadi kebiasaan belanja yang buruk di kalangan generasi muda.

Baeckström memperkirakan, akibat dari doom spending, generasi Z dan milenial akan lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya.

“Generasi yang tumbuh sekarang mungkin menjadi generasi pertama yang secara finansial lebih buruk daripada orang tua mereka. Ada perasaan bahwa mereka tidak akan pernah bisa mencapai apa yang dicapai oleh orang tua mereka,” jelasnya.

Prediksi ini didukung oleh hasil survei Keamanan Finansial Internasional CNBC, yang dilakukan oleh Survey Monkey pada tahun 2023 terhadap 4.342 orang dewasa di seluruh dunia.

Survei tersebut menemukan bahwa hanya 36,5 persen responden merasa bahwa mereka berada dalam kondisi finansial yang lebih baik daripada orang tua mereka.

Sementara itu, 42,8 persen merasa bahwa mereka sebenarnya lebih buruk secara finansial dibandingkan orang tua mereka.

Fenomena doom spending juga tercermin dalam survei Intuit Credit Karma pada November 2023, yang melibatkan lebih dari 1.000 orang Amerika.

Survei ini menunjukkan bahwa 96 persen orang Amerika khawatir dengan kondisi ekonomi saat ini, dan lebih dari seperempatnya menghabiskan uang sebagai cara untuk meredakan stres.

Baca Juga : Riset Ungkap Gen Z Tak Lagi Gunakan Google untuk Cari Informasi, Lalu Pake Apa?

Salah satu contoh nyata dari dampak *doom spending* adalah Stefania Troncoso Fernández, seorang humas berusia 28 tahun yang tinggal di Kolombia. Ia mengaku pernah terjebak dalam kebiasaan menghabiskan uang sembarangan, terutama karena penghasilannya yang lebih rendah.

"Tingkat inflasi yang tinggi dan ketidakpastian politik membuat sangat sulit untuk menabung," ungkap Fernández. 

Dia mengatakan bahwa kondisi ekonomi yang tidak stabil, termasuk kenaikan harga makanan, membuat keluarganya kesulitan mempertahankan pola hidup yang sama seperti tahun sebelumnya.

Fernández juga menyadari bahwa doom spending bukanlah masalah pribadinya semata. "Bukan hanya saya. Ini adalah sesuatu yang terjadi di lingkungan saya," katanya.

Hal ini menunjukkan bahwa tren pengeluaran yang tidak terkontrol telah menjadi masalah yang lebih luas di kalangan generasi Z dan milenial.

Selain Fernández, Daivik Goel, seorang pengusaha rintisan berusia 25 tahun yang tinggal di Silicon Valley, juga mengakui bahwa ia pernah terjebak dalam doom spending.

Saat bekerja sebagai manajer produk di perusahaan bioteknologi, ia sering membeli barang-barang yang tidak diperlukan sebagai bentuk pelarian dari rasa tidak puas dengan pekerjaannya. 

"Itu semua berasal dari keinginan untuk melarikan diri dari kenyataan," jelas Goel.

Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pengelola kekayaan Belong, menekankan bahwa kemudahan berbelanja secara daring memperburuk masalah doom spending.

Rosenberg mengungkapkan bahwa pembelian impulsif lebih mudah terjadi melalui platform daring dibandingkan saat seseorang melihat barang langsung di toko fisik. 

"Keputusan tambahan seperti memilih toko, bepergian ke sana, dan mengevaluasi barang secara langsung dapat membantu memperlambat proses pembelian dan mendorong pemikiran yang lebih kritis sebelum membeli," ujarnya.

Rosenberg juga merekomendasikan penggunaan uang tunai sebagai salah satu cara untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu.

Menurutnya, metode pembayaran digital seperti Apple Pay dan Google Pay membuat proses pengeluaran uang menjadi terlalu mudah, sehingga mengurangi emosi atau rasa sakit yang biasanya muncul saat mengeluarkan uang tunai secara fisik. 

"Anda perlu meningkatkan rasa sakit dalam proses pengeluaran uang untuk mengurangi pembelian impulsif," tambahnya.

Baca Juga : Hampir 10 Juta Gen Z di Indonesia Nganggur