Warga Jakarta Ajukan Uji Materi UU ke MK, Minta Bisa Hidup di RI Tanpa Beragama

Dua warga Jakarta mengajukan uji materi UU di MK, meminta hak untuk hidup di Indonesia tanpa beragama. Simak selengkapnya disini!

Warga Jakarta Ajukan Uji Materi UU ke MK, Minta Bisa Hidup di RI Tanpa Beragama
Warga Jakarta Ajukan Uji Materi UU ke MK, Minta Bisa Hidup di RI Tanpa Beragama. Gambar : Suwitno/NU Online

BaperaNews - Dua warga Jakarta, Raymond Kamil dan Indra Syahputra, mengajukan gugatan uji materi terhadap sejumlah undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai mengharuskan warga negara untuk memeluk agama. 

Gugatan ini, yang terdaftar dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024, diajukan terhadap beberapa pasal dalam undang-undang yang mereka anggap membatasi hak konstitusional warga negara yang memilih untuk tidak beragama. 

Sidang pendahuluan gugatan tersebut sudah digelar pada Senin (21/10), di gedung MK, dan mereka meminta agar Mahkamah Konstitusi memperbolehkan warga hidup di Indonesia tanpa harus beragama.

Dalam sidang ini, para pemohon mengklaim bahwa ketentuan dalam beberapa undang-undang terkait hak asasi manusia (HAM), administrasi kependudukan (Adminduk), dan pendidikan agama tidak memberikan perlindungan kepada warga yang memilih untuk tidak menganut agama atau kepercayaan.

Raymond dan Indra mengaku dirugikan oleh undang-undang yang dianggap mengharuskan warga negara untuk memeluk agama tertentu, terutama ketika mereka harus mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Pemohon mengaku harus mengaku beragama meskipun sebenarnya tidak memeluk agama apapun agar dapat memperoleh pelayanan publik seperti pembuatan KTP. 

Selain itu, mereka juga merasa hak mereka untuk menikah secara sah di Indonesia dirugikan, karena pernikahan di Indonesia mensyaratkan adanya ritual agama.

“Pemohon merasa bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan undang-undang yang mengharuskan seseorang memeluk agama atau kepercayaan tertentu untuk mendapatkan layanan publik dan hak-hak sipil lainnya,” bunyi risalah persidangan pada 23 Oktober 2024.

Pemohon juga menyampaikan bahwa mereka harus mengikuti pendidikan agama, yang menurut mereka, tidak relevan dengan pilihan pribadi yang tidak memeluk agama.

Mereka menilai bahwa aturan tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Baca Juga : MK Putuskan Jaksa Tak Bisa Lakukan PK!

Dalam persidangan, Raymond dan Indra mengajukan beberapa poin petitum, salah satunya meminta agar pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 22 yang mengatur tentang kebebasan beragama.

Mereka menginginkan agar pasal tersebut dimaknai secara positif dan negatif, yaitu memberikan kebebasan bagi warga untuk beragama atau tidak beragama.

Selain itu, mereka juga menggugat beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), seperti Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1), yang mengatur kewajiban mencantumkan agama di KTP.

Para pemohon menginginkan agar pasal-pasal tersebut dimaknai sebagai hak warga negara untuk memilih apakah ingin mengisi kolom agama atau tidak, termasuk memilih untuk tidak beragama.

Mereka juga menggugat beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menurut mereka hanya relevan bagi warga yang memeluk agama.

Para pemohon meminta agar undang-undang tersebut dimaknai tidak mengikat bagi mereka yang tidak beragama, sehingga warga yang tidak beragama tetap dapat melangsungkan pernikahan secara sah.

Selain itu, mereka menggugat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan adanya pendidikan agama.

Pemohon meminta agar pendidikan agama dijadikan sebagai pilihan, bukan kewajiban, bagi siswa di Indonesia.

Menanggapi gugatan tersebut, Hakim MK Arief Hidayat mengingatkan pentingnya sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menurutnya mengandung konsekuensi bahwa bangsa Indonesia harus bertuhan.

Arief menyebut bahwa negara memang memberikan kebebasan bagi warga untuk menganut agama atau kepercayaan apapun, namun tidak ada pengertian bahwa seseorang boleh tidak beragama.

“Mahkamah sebagai penjaga ideologi negara harus berpegang pada prinsip sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, tidak ada pengertian bahwa warga negara diperbolehkan untuk tidak beragama,” ujar Arief dalam persidangan.

Hakim MK lainnya, Enny Nurbaningsih, juga menyampaikan pandangannya terkait gugatan ini. Menurutnya, ini merupakan kali pertama ada gugatan yang mencakup begitu banyak undang-undang dari satu pemohon.

Ia pun meminta agar pemohon melakukan beberapa perbaikan dalam dokumen gugatannya, terutama terkait batu uji.

Selain itu, Hakim MK Arsul Sani juga menyoroti beberapa kekurangan dalam dokumen gugatan, dan meminta agar pemohon melengkapinya.

Ia menegaskan bahwa uji materi harus didukung oleh dasar hukum yang kuat, dan pemohon perlu memperjelas batu uji yang menjadi dasar gugatan mereka.

Baca Juga : MPR Resmi Cabut Tap Nomor II/MPR/2001 dan Pulihkan Nama Baik Gus Dur