Ketum DPP BAPERA, Fahd A Rafiq: Harapan Besar Indonesia Ada di Tangan Presiden Prabowo Subianto
Ketum DPP BAPERA Fahd El Fouz mendukung penuh Presiden Prabowo Subianto dan menyerukan kemandirian pangan serta energi untuk Indonesia.
BaperaNews - Mendengar pidato Bapak Presiden Prabowo Subianto saat pelantikan pada tanggal 20 Oktober kemarin, sangat berapi-api dan berani mengungkapkan isi hatinya tentang arah masa depan Indonesia. Pekik "merdeka" di akhir pidatonya dapat ditafsirkan sebagai seruan bahwa “Indonesia harus segera keluar dari jeratan kolonialisme gaya baru yang terus menghimpit Bumi Nusantara, baik dari bangsa asing maupun Aseng,” ujar Fahd El Fouz di Jakarta pada Selasa (22/10).
Ketua Umum DPP BAPERA ini menilai, "Pidato Bapak Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya kemandirian pangan dan energi, yang mengingatkan saya pada kalimat Henry Kissinger: ‘Kendalikan makanan, kendalikan rakyat. Kendalikan energi, kendalikan benua. Kendalikan uang, kendalikan dunia,’" ungkapnya.
Artinya, Indonesia harus tegas dan tidak mau terus dikendalikan. Kita harus tetap menjadi kekuatan poros ketiga serta bersikap netral. Ini harus dipikirkan secara strategis. Pidato Prabowo Subianto dapat mengubah peta geopolitik yang saat ini sedang dimainkan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok, dan membuat negara-negara adidaya geram.
Melihat kondisi global saat ini, banyak negara berkembang dan maju terjebak dalam utang. Strategi Obor China dan strategi High Road Amerika, termasuk kebijakan IMF, semuanya menggunakan pinjaman debt trap (jebakan utang) yang menjadi senjata organik lembaga multilateral dan bilateral internasional. Jika Indonesia berani, kita harus menantang kedua sistem tersebut dan mempertanyakan manfaatnya. Indonesia seharusnya memiliki sistem ekonomi sendiri.
Saat ini, ada dua pejabat teras di negara kita, satu mengacu pada teori ekonomi Keynesian, sementara yang lainnya mengacu pada Obor China. Akibatnya, kita terbelenggu oleh kebijakan yang saling bertentangan. Apakah karena kebijakannya tersebut salah? Jawabannya tidak, karena pengetahuan mereka hanya terbatas pada itu. Saya ingin Indonesia mengadopsi strategi ekonomi baru agar terlepas dari cengkeraman utang.
Di sisi lain, inflasi sering kali menjadi momok yang menakut-nakuti kita. Jika seseorang berani melangkah menggunakan sistem lain, mereka diancam dengan inflasi. Hanya Amerika Serikat dan China yang berani melakukan ini. Meskipun ada kebenaran dalam kekhawatiran terhadap inflasi, ungkap Putra Almarhum dangdut kondang A Rafiq tersebut.
Fahd juga menilai, di era Pak Harto, setelah Indonesia mencapai kemandirian pangan pada tahun 1984 dan mendapatkan penghargaan dari FAO, apakah semua negara senang mendengar kabar baik ini? Jawabannya tidak. Negara-negara adidaya tidak rela melihat Indonesia mandiri pangan.
Pada tahun yang sama, 12 September 1984, terjadi tragedi Tanjung Priok, sebuah tragedi berdarah yang seolah-olah dipandang sebagai kesalahan Bapak Presiden Soeharto. Apakah ini ulah CIA? Pada saat itu, Amerika Serikat sedang dalam masa Perang Dingin dengan Uni Soviet. Intinya, negara besar tidak rela Indonesia mandiri pangan. Pasti akan ada tragedi di baliknya. Kita lanjut, ya guys, tahun 1989 terjadi tragedi Talang Sari, dan tragedi terus berlanjut hingga 1998.
Perlu dicatat, tidak semua orang Indonesia paham dan mampu menerjemahkan peristiwa-peristiwa ini. Ditambah lagi, pada tahun 1995, Indonesia mampu menerbangkan pesawat Gatot Kaca N250 buatan putra bangsa, Bapak BJ. Habibie. Hal ini semakin membuat negara-negara lain cemburu. Tiga tahun kemudian, Orde Baru bubar, yang saat itu diusung langsung oleh Golongan Karya. Cerita manis Indonesia seolah berakhir di situ.
Baca Juga : Ketum DPP BAPERA, Fahd A Rafiq Jelaskan Mengapa Timur Tengah Menjadi Medan Perang
Cerita-cerita di atas menggambarkan betapa sulitnya negara berkembang untuk maju secara mandiri. Mereka hanya bisa menyalahkan dan mengkambinghitamkan presiden saat itu, padahal persaingan global memang sekejam itu. Jika tidak diatur dengan baik, pertahanan Indonesia bisa jebol untuk kesekian kalinya.
Pada tahun 1984, Presiden AS adalah Ronald Reagan. Dari tahun 1993 hingga 2021, Bill Clinton, seorang demokrat baru, menjadi presidennya. Ia adalah bagian dari Partai Demokrat Amerika yang sering menggunakan CIA untuk mengintervensi negara lain, terutama saat Indonesia di bawah kepemimpinan Pak Harto sedang fokus membangun dan berpotensi besar. Intinya, negara yang menggunakan sistem demokrasi biasanya tidak akan kurang dari 20 tahun atau batas aman 15 tahun atau tiga periode. Lebih sedikit dari itu, nyawa rakyat bisa melayang. Presiden tiga periode sebenarnya masih aman.
Di sisi lain, ilmu ekonomi di kampus sering kali hanya berisi hafalan dan catatan orang-orang dari zaman dahulu, tanpa adanya visi ke depan. Para ahli dan pelajar ilmu ini hanya mengulang-ulang ajaran tersebut secara dogmatis, bukan secara aplikatif. Hal ini wajar membuat orang menjadi takut. Sebenarnya, bukan takut, tapi lebih kepada ketidaktahuan tentang dunia nyata ekonomi bernegara. Banyak catatan dunia yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap teori modern, seperti yang dijelaskan oleh Michael Hudson sejak tahun 70-an dan diadopsi oleh China pada tahun 1989, mencerminkan panjangnya proses bernegara dan membangun ekonomi berbasis MMT.
Contohnya, Jerman yang bangkit kembali pasca Perang Dunia I dalam waktu kurang dari 15 tahun. Jerman saat itu tidak hanya miskin, tetapi juga harus menanggung beban utang akibat biaya perang yang harus dibayar kepada negara-negara pemenang. Mereka membangun industrinya dengan cara "printing money".
Mantan Ketum DPP KNPI ini mencontohkan, "Chongqing adalah kota yang 20 tahun lalu tidak dikenal dunia. Namun, dalam dua dekade terakhir, Chongqing telah membangun lebih dari 1.000 gedung dengan rata-rata 30 lantai, setengahnya merupakan perumahan, dan sisanya gedung komersial, perkantoran, serta berbagai sarana lainnya."
Fahd A Rafiq menambahkan, "Bayangkan jika setiap gedung memiliki luas rata-rata 40.000 meter persegi. Maka, kurang lebih ada 40 juta meter kubik bangunan yang dibangun dalam 20 tahun. Jika kita hitung dengan biaya pembangunan sekitar Rp 4 juta per meter persegi, totalnya mencapai 160 triliun rupiah. Pertanyaannya, dari mana biaya tersebut? Tiongkok telah membangun Chongqing, belum termasuk biaya pembangunan jalan, rel kereta api, dan lain-lain, yang mungkin nilainya mencapai 1.000 triliun rupiah. Sekali lagi, dari mana Chongqing mendapatkan dananya? Faktanya, di Tiongkok ada lebih dari 50 kota seperti Chongqing yang telah dibangun dengan pesat dalam 20 tahun terakhir."
Sekali lagi, dari mana uangnya? Padahal 20 tahun yang lalu, kekayaan Tiongkok mirip dengan Indonesia saat ini. Lima puluh kota lainnya yang dibangun selain Chongqing adalah kota-kota seperti Shenzhen, Ujian, Chengdu, Nanjing, Jinan, Ningbo, Wuhan, dan banyak lagi. Dua puluh tahun lalu, kota-kota tersebut hanya kota kecil yang jika dibandingkan dengan Indonesia tidak jauh berbeda dengan Lubuk Linggau, Kendari, dan Kupang. Namun, sekarang mereka telah menjadi metropolitan, setara dengan Jakarta. Siapa yang mengutang Tiongkok 20 tahun lalu jika dalam satu kota dalam dua dekade perlu 1.000 triliun rupiah, jadi 50 kota memerlukan 50.000 triliun rupiah?
Jangan tanyakan tentang kota-kota besar seperti Beijing atau Shanghai yang sudah ada sejak 100 tahun yang lalu. Kota-kota kecil hingga besar itu membangunnya bagaimana? Apakah ada bantuan dari World Bank, IMF, atau perusahaan-perusahaan besar dunia yang mengutangin Tiongkok? Apakah ada dana asing? Atau apakah Tiongkok menggunakan 100% APBN-nya? Berapa APBN Tiongkok 20 tahun yang lalu? Atau kita balik pertanyaannya, apakah para pejabat Indonesia memahami hal ini?
Semoga dengan ulasan di atas, kepemimpinan Presiden Bapak Prabowo Subianto dapat mencapai cita-citanya, dan kita sebagai pemuda mampu berperan lebih serta dapat membaca dan menerjemahkan situasi politik global untuk memaksimalkan posisi geopolitik Indonesia demi kebaikan bangsa dan negara.
Baca Juga : Ketum DPP BAPERA, Fahd A Rafiq Sarankan PSSI Belajar Langsung dari Presiden Real Madrid
Penulis: ASW