BaperaNews - Dua pengajar dari pondok pesantren di Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ditangkap oleh Polresta Bukittinggi setelah adanya laporan dari wali murid pada 21 Juli 2024.
Para pelaku yang berinisial RA (29) dan AA (23) diduga telah melakukan tindakan pencabulan terhadap santri tingkat SMP di pesantren tersebut.
Kapolresta Bukittinggi Kombes Yessy Kurniati menjelaskan bahwa kasus ini pertama kali terungkap setelah seorang santri menelepon kakaknya, mengungkapkan bahwa temannya menjadi korban pelecehan oleh salah satu pelaku. Karena takut, santri tersebut meminta kakaknya untuk menyelamatkan temannya dari pesantren.
Modus operandi yang dilakukan pelaku cukup sederhana namun sangat meresahkan. Pelaku meminta santri untuk memijat mereka. Selama proses pemijatan inilah, pelaku melakukan tindakan pencabulan. Jika santri menolak, pelaku mengancam mereka tidak akan naik kelas.
“Pelaku awalnya minta bantuan untuk dipijat kepada santrinya. Lalu saat minta bantuan itu, pelaku juga melakukan tindak pidana pencabulan kepada santrinya," ungkap Kombes Yessy Kurniati.
Tindakan cabul yang dilakukan oleh kedua pelaku ini sudah berlangsung sejak 2022 hingga 2024. Korban dari tindakan tidak senonoh ini mencapai 40 santri.
RA mencabuli 30 santri, sedangkan AA mencabuli 10 santri. Para korban adalah santri laki-laki yang duduk di bangku SMP. Tindakan cabul yang dilakukan pelaku mulai dari meraba tangan, tubuh, alat kelamin, hingga tindakan sodomi.
Baca Juga: Diberi Kerja, Pengungsi Rohingya Cabuli Anak Keluarga Majikan hingga Hamil
Kasus ini mulai terungkap setelah salah satu korban mengungkapkan kejadian ini kepada saudaranya. Saudara korban kemudian melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian.
“Salah seorang santri menelepon kakaknya, ia mengatakan bahwa temannya sudah menjadi korban pelecehan oleh pelaku. Karena takut, adiknya ini meminta pertolongan kakaknya untuk membawa temannya yang lain untuk menyelamatkannya dari pesantren,” jelas Kombes Yessy Kurniati.
Pihak kepolisian bergerak cepat menangkap kedua pelaku dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Polisi juga membuka posko pengaduan di Polresta Bukittinggi untuk menerima laporan dari korban lainnya.
“Kami masih mendalami dan melakukan pengembangan terhadap kasus ini. Kami juga membuka posko di Polresta Bukittinggi yang siap menerima laporan jika ada korban lain dari kasus ini,” ujar Kombes Yessy Kurniati.
Kasus pengajar ponpes cabuli santri ini meninggalkan trauma yang mendalam bagi para korban. Sebagian korban masih berada di asrama, sementara sebagian lainnya berada bersama orang tua mereka.
Untuk mengatasi trauma yang dialami korban, pihak kepolisian bekerja sama dengan Dinas Perlindungan Anak dan Dinas Sosial untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban.
Humas MTI Canduang, Khairul Anwar, menyatakan bahwa pesantren akan menyediakan layanan pendampingan psikologis bagi santri dan orang tua yang memerlukan bantuan.
“Kami menyediakan layanan pendampingan psikologis bagi santri dan orang tua yang memerlukan bantuan. Tim konselor profesional kami siap memberikan dukungan moral dan emosional untuk membantu mereka menghadapi situasi ini,” katanya.
Kedua pelaku kini dijerat dengan Pasal 83 Ayat 2 jo 76 E UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun. Karena mereka merupakan guru, hukuman mereka akan ditambah 1/3 dari hukuman yang mereka terima.
Kasus ini masih terus didalami oleh pihak kepolisian untuk memastikan tidak ada korban lain yang belum terungkap. Pihak pesantren juga bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memberikan pendampingan psikologis kepada para korban agar mereka bisa pulih dari trauma yang dialami.
Baca Juga: Ayah Syok Saat Anaknya Nikah Tanpa Wali dengan Pengurus Ponpes di Lumajang