Imbas Kasus Guru Honorer Supriyani, PGRI Baito Tolak Siswa Anak Polisi Kembali Bersekolah
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Baito secara tegas menolak siswa anak polisi kembali bersekolah setelah adanya kasus guru honorer Supriyani.
BaperaNews - Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan seorang guru honorer di Kabupaten Konawe Selatan, Supriyani, terhadap siswa SDN 4 Baito berinisial D, memicu polemik di kalangan guru setempat.
Guru-guru di Kecamatan Baito menolak untuk mengajar siswa D yang terlibat dalam laporan polisi atas dugaan penganiayaan tersebut. Kasus ini menyita perhatian publik dan menimbulkan perdebatan terkait hak pendidikan anak.
Guru-guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Baito melakukan aksi solidaritas dengan menolak siswa D serta saksi lain yang terlibat dalam kasus Supriyani untuk kembali bersekolah di SDN 4 Baito.
Langkah ini diambil sebagai bentuk dukungan moral terhadap Supriyani, yang kini menjalani proses hukum atas tuduhan penganiayaan.
Ketua PGRI Baito menyatakan bahwa aksi penolakan tersebut adalah wujud solidaritas sesama tenaga pendidik yang tersandung kasus hukum saat melaksanakan tindakan disipliner terhadap siswa.
Aksi penolakan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Konawe Selatan. Ketua KPAD, Asriani, menegaskan bahwa hak pendidikan anak harus tetap terjaga, termasuk bagi siswa yang terlibat dalam kasus ini.
"Hak anak, terutama korban, harus tetap diutamakan, dan hal ini tidak boleh diabaikan dalam proses hukum yang sedang berlangsung," ujar Asriani pada (25/10).
Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Supriyani mencuat setelah siswa berinisial D dilaporkan mengalami luka di tubuhnya. Saat ini, Supriyani berstatus tersangka dalam kasus yang diduga berawal dari tindakan disipliner.
Baca Juga : Guru Honorer di Sultra Ditahan Usai Diduga Hukum Murid Anak Polisi, Diminta Uang Damai Rp50 Juta
Proses hukum masih berlanjut, dan Supriyani sempat ditahan sebelum akhirnya mendapat penangguhan untuk mempersiapkan sidang. Kasus ini menimbulkan simpati dari sesama guru di Kecamatan Baito yang memberikan dukungan kepada Supriyani.
Ketua KPAD Konawe Selatan menegaskan bahwa hak-hak anak harus menjadi prioritas dalam penyelesaian kasus ini, termasuk hak pendidikan bagi siswa berinisial D yang diduga menjadi korban penganiayaan.
"Kami sangat menyayangkan adanya selebaran dari PGRI Baito yang menolak anak korban untuk kembali bersekolah. Proses hukum seharusnya tidak menghambat hak anak untuk tetap mendapat pendidikan," tegas Asriani.
Aksi mogok mengajar akibat kasus Supriyani menjadi perhatian serius bagi KPAD Konawe Selatan. Selain mengkritisi langkah PGRI Baito, KPAD mengingatkan bahwa aksi tersebut dapat mengganggu proses belajar mengajar di wilayah tersebut.
Menurut KPAD, anak-anak di Kecamatan Baito memiliki hak untuk belajar tanpa terganggu oleh kasus yang tengah berlangsung.
“Kami berharap semua pihak dapat lebih bijaksana dalam menangani kasus ini agar hak pendidikan anak-anak tetap terjamin. Jangan sampai kasus ini justru mengesampingkan hak anak-anak lain di lingkungan sekolah,” ujar Asriani.
Di tengah simpati dari para guru di Kecamatan Baito, Supriyani harus mempersiapkan diri menghadapi sidang yang akan berlangsung pada (24/10).
Status hukum yang dihadapi Supriyani juga memengaruhi kesempatannya untuk mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pengacaranya menyatakan harapan agar majelis hakim mempertimbangkan eksepsi yang diajukan sehingga sidang dapat berlanjut ke tahap pembuktian.
Kasus ini menarik perhatian di tingkat nasional. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, turut memberikan tanggapan terkait fenomena guru yang tersandung masalah hukum saat melakukan tindakan disipliner terhadap siswa.
“Kami prihatin melihat kondisi para pendidik yang mengalami kesulitan hukum dalam menjalankan tugas mereka. Kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak,” ungkap Abdul Mu'ti.
Pihak kepolisian juga mengeluarkan klarifikasi mengenai informasi yang menyebut adanya permintaan uang damai sebesar Rp50 juta untuk menyelesaikan kasus ini. Kepolisian menegaskan bahwa isu tersebut adalah hoaks dan tidak ada permintaan uang dari pihak manapun.
Penegasan ini diharapkan dapat menenangkan masyarakat di tengah beredarnya informasi yang tidak benar di media sosial.
Baca Juga : Bantah Guru Saat Ditanya PR, Siswa SMP Pasuruan Kini Minta Maaf