Ditengah Isu BBM Diprediksikan Naik, Pertalite Dipastikan Tidak Akan Naik Harga

Usai harga bahan pokok yang terus meningkat menjelang puasa, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Simak berita lengkapnya!

Ditengah Isu BBM Diprediksikan Naik, Pertalite Dipastikan Tidak Akan Naik Harga
Pertalite Dipastikan Tidak Akan Naik Harga. Gambar: JITUNEWS/Johdan A.A.P

BaperaNews - Di tengah keluhan masyarakat menjelang puasa soal harga bahan pokok yang terus meningkat, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dipastikan tidak naik meskipun harga minyak mentah dunia dalam tren melonjak. 

Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna, dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa harga Pertalite dalam waktu lima hingga enam bulan tidak akan naik kendati harga jual Pertalite saat ini lebih rendah jika dibandingkan nilai keekonomiannya. 

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengataan kebijakan untuk menahan harga jual Pertalite merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan Pertamina dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih tertekan akibat kenaikan harga-harga dan kelangkaan beberapa komoditas kebutuhan pokok. 

“Saya kira kepedulian dan niat baik Pertamina tersebut sangat positif pada masyarakat,” ujar Komaidi, Senin (7/2) dikutip dari Media Indonesia. 

Pergerakan harga minyak dunia yang terus menguat membuat harga keekonomian Pertalite di atas Rp10 ribu per liter. Pada awal Maret, harga sejumlah jenis BBM yang dijual di SPBU Pertamina yakni Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex mengalami penyesuaian harga mengikuti naiknya harga minyak mentah dunia.

Penaikan harga BBM selektif itu merupakan keputusan tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat. Namun, Pertalite dan Pertamax harganya masih sama seperti sebelumnya, yakni Pertalite Rp 7.650 per liter dan Rp9.000 per liter. 

Baca juga: PPLN Masuk Bali Bebas Karantina Mulai Senin 7 Maret

Menurut Komaidi, saat ini sulit memprediksikan puncak harga minyak dunia karena akan dipengaruhi berbagai faktor. Faktor pendorong kenaikan harga minyak lebih pada faktor psikologis yang dalam konsep ekonomi banyak dikenal dengan teori ekspektasi rasional. “Dasar pengambilan keputusan bukan pada ukuran fundamental ekonomi tetapi lebih pada faktor kepanikan jika dalam konteks perang,” ujarnya. 

Doktor ekonomi lulusan Universitas Trisakti itu menambahkan jika kepanikan terus meluas dan masif pada skala dunia, akan dengan mudah harga melampaui level US$120 per barel. Bahkan, katanya, ada potensi komoditas ini menyentuh angka US$150 per barel. 

Indonesia, tutur Komaidi, sebagai pricetaker tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi harga minyak sehingga berapa pun angka yang terbentuk harus tetap diambil. Menurut dia, dalam hal ini tentu ada risiko fiskal dan moneter terkait dengan harga jual BBM yang akan menyertai  fenomena tersebut “Dalam jangka pendek Indonesia relatif tidak memiliki pilihan (penentuan harga jual BBM),” katanya. Keputusan manajemen Pertamina menaikan harga BBM dengan nilai RON (real octane number) tinggi serta Elpiji nonsubsidi, tegas Komaidi, merupakan kewenangan badan usaha.

Dalam situasi harga minyak dunia seperti saat ini, dia pun menilai jika Pertamina atau badan usaha lain menyesuikan harga BBM nonsubsidi merupakan sebuah kewajaran dan dan memiliki landasan yang kuat. 

Bagi Pertamina, kata Komaidi, keputusan untuk menentukan harga Pertalite dan Pertamax yang merupakan produk nonsubsidi relatif sulit karena perusahaan harus mendapat restu dari pemegang saham yakni pemerintah. Jika pemegang saham belum memberi restu perusahaan saya kira juga tidak dapat melakukan aksi korporasi dalam bentuk penyesuaian harga BBM.

"Dengan tidak adanya kenaikan harga, dalam perspektif pemisahan administrasi negara dan administrasi usaha hal tersebut merupakan praktik yang tidak baik,” ujarnya.

Kepedulian atau pemberian subsidi merupakan wilayah administrasi negara sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan badan usaha.

Sedangkan tugas Pertamina sebagai badan usaha adalah mencari keuntungan untuk kemudian dikembalikan kepada seluruh rakyat Indonesia.

“Perlu ada penataan ulang mengenai pembagian peran tersebut. Menurut saya tugas melindungi daya beli masyarakat bukan menjadi tupoksi Pertamina tetapi domain negara yang dalam hal ini dilaksanakan oleh  pemerintah,” ucapnya.

Baca juga: Keren! Ketika Sampah Sandal Di Pantai Bali Disulap Menjadi Seni