BMKG Jelaskan Cuaca Panas di RI Bukan 'Heatwave'
Kepala BMKG menjelaskan bahwa suhu panas yang terjadi di Indonesia bukan 'heatwave' dan tidak sebanding dengan suhu panas di Myanmar, Thailand, dan China. Baca selengkapnya di sini!
BaperaNews - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa cuaca panas yang melanda Indonesia belakangan ini bukanlah gelombang panas atau heatwave. Dalam pernyataannya, Dwikorita menjelaskan bahwa kondisi cuaca yang panas terik ini adalah bagian dari siklus tahunan yang biasa terjadi di Tanah Air.
“Yang terjadi adalah kondisi cuaca dengan suhu yang relatif tinggi (panas terik). Siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya,” ungkap Dwikorita.
Menurut BMKG, meskipun suhu udara di beberapa wilayah Indonesia meningkat, seperti Jayapura di Papua, Surabaya di Jawa Timur, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, dan sebagainya, hal ini tidak mencapai persyaratan untuk disebut sebagai gelombang panas.
Dalam konteks ini, Dwikorita menegaskan bahwa cuaca panas yang terjadi di Tanah Air saat ini tidak sebanding dengan fenomena serupa yang terjadi di negara-negara lain seperti Myanmar, Thailand, India, Bangladesh, Nepal, dan China.
Meskipun demikian, BMKG memperkirakan bahwa cuaca panas ini masih akan berlanjut hingga akhir musim kemarau, yaitu Oktober, dengan puncaknya diproyeksikan terjadi pada Agustus hingga September. Faktor-faktor alami seperti posisi semu matahari dan minimnya tutupan awan menjadi penyebab utama dari kondisi cuaca panas ini.
“Faktor alam yang menjadi penyebab kondisi ini di antaranya adalah karena posisi semu matahari dan minimnya tutupan awan,” katanya.
Meski BMKG menegaskan bahwa ini bukanlah gelombang panas, namun beberapa pihak seperti Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, menyebutnya sebagai sebuah anomali cuaca.
Baca Juga: Indonesia Dilanda Suhu Panas di Awal Mei 2024, BMKG: Diperkirakan hingga Agustus
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa krisis iklim semakin memburuk dari waktu ke waktu. Hal ini terlihat dari ketidakpastian dalam prediksi cuaca yang sering kali tidak sesuai dengan realita, seperti masih adanya hujan deras meskipun seharusnya sudah masuk musim kemarau.
Dalam konteks ini, Hadi Priyanto menyoroti kurangnya keseriusan pemerintah dalam menangani krisis iklim. Meskipun beberapa langkah mitigasi telah diambil, seperti pemberian bantuan langsung tunai (BLT) EL Nino, namun hal tersebut dianggapnya tidak cukup efektif karena tidak menyelesaikan akar masalah.
Kritik terhadap pemerintah juga datang dari Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Fanny Tri Jambore, yang menyoroti bahwa Indonesia masih tergolong sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi di dunia.
Meskipun secara global tahun 2023 telah ditetapkan sebagai tahun terpanas, Indonesia masih belum serius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Permasalahan krisis iklim ini tidak hanya berdampak pada cuaca yang tidak stabil, tetapi juga dapat memengaruhi ketahanan pangan dan bahkan berpotensi memicu konflik.
Oleh karena itu, perhatian serius dari pemerintah dalam menangani krisis iklim menjadi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: BMKG: Cuaca Ekstrem Diprediksi Terjadi Selama Mudik Lebaran 2024