Benarkah Stress Tinggi di Kuliah Kedokteran Jadi Penyebab Mahasiswi Undip Bunuh Diri?

Kasus bunuh diri mahasiswi Undip memicu perbincangan tentang tingginya stres di kalangan mahasiswa kedokteran.

Benarkah Stress Tinggi di Kuliah Kedokteran Jadi Penyebab Mahasiswi Undip Bunuh Diri?
Benarkah Stress Tinggi di Kuliah Kedokteran Jadi Penyebab Mahasiswi Undip Bunuh Diri?. Gambar : Ilustrasi Canva

BaperaNews - Seorang mahasiswi Universitas Diponegoro (Undip) ditemukan meninggal dunia akibat bunuh diri, yang diduga kuat dipicu oleh tekanan tinggi selama menempuh kuliah Kedokteran.

Kejadian mahasiswi Undip bunuh diri ini terungkap setelah korban ditemukan meninggal dunia di kamar indekosnya pada Senin (12/8), dan memunculkan kembali perbincangan tentang stres berat yang dialami mahasiswa kedokteran di Indonesia.

Tingginya Tingkat Stres di Kalangan Mahasiswa Kedokteran

Fakultas Kedokteran, salah satu program studi paling bergengsi dan menantang, sering kali menjadi sumber tekanan bagi mahasiswanya. Tidak sedikit mahasiswa yang merasa terbebani oleh ekspektasi akademik yang tinggi, jadwal kuliah yang padat, dan tanggung jawab moral yang besar.

Studi dari Universitas Airlangga menunjukkan bahwa hampir setengah dari mahasiswa kedokteran mengalami tingkat kecemasan dan stres yang signifikan selama masa perkuliahan.

Penelitian ini melibatkan 359 mahasiswa kedokteran dari berbagai angkatan dan menggunakan alat ukur Depression Anxiety Stress Scale (DASS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang dialami oleh mahasiswa kedokteran cukup tinggi, dengan prevalensi depresi sebesar 26,3% hingga 30,2%, kecemasan antara 51,5% hingga 60,4%, dan stres berkisar 30,5% hingga 37,5%.

Baca Juga: Kemenkes Hentikan Sementara Program Anestesi Undip Setelah Mahasiswi Bunuh Diri

Beban Akademik yang Tinggi sebagai Penyebab Utama

Stres dalam dunia kedokteran tidak hanya sekadar tekanan akademik, tetapi juga berasal dari tanggung jawab besar yang melekat pada profesi ini.

Mahasiswa kedokteran dituntut untuk menguasai berbagai aspek medis yang kompleks, mulai dari teori hingga praktik langsung di lapangan. Ditambah lagi, mereka harus menghadapi tekanan dari persaingan yang ketat dan ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Salah satu faktor yang paling memberatkan adalah beban akademik yang tinggi. Mahasiswa kedokteran harus menguasai materi yang luas dan dalam, mulai dari anatomi, fisiologi, hingga berbagai penyakit.

Praktikum yang intensif dan ujian yang rutin, seperti ujian OSCE (Objective Structured Clinical Examination), menambah tingkat stres yang mereka rasakan. Banyak mahasiswa kedokteran yang merasa sulit untuk menyeimbangkan waktu antara belajar, praktik, dan kehidupan pribadi.

Persaingan Ketat Antar Mahasiswa

Hal ini diperparah dengan tuntutan untuk selalu tampil prima dan kompetitif di antara rekan-rekan seangkatan. Persaingan yang ketat membuat banyak mahasiswa merasa harus selalu berada di puncak kemampuan mereka, yang pada akhirnya menambah beban mental.

Tidak sedikit mahasiswa yang mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka demi mencapai nilai yang tinggi atau mempertahankan posisi di antara rekan-rekan sekelas.

Stres yang dialami oleh mahasiswa kedokteran tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga bisa berujung pada keputusan-keputusan tragis, seperti yang terjadi pada mahasiswi Undip tersebut.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai sejauh mana tekanan yang dialami mahasiswa kedokteran dapat mempengaruhi kondisi mental mereka.

Pentingnya Dukungan Mental bagi Mahasiswa Kedokteran

Di Indonesia, kasus stres di kalangan mahasiswa kedokteran bukanlah hal yang baru. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi dan kecemasan dibandingkan dengan mahasiswa dari jurusan lain.

Salah satu alasannya adalah beban tanggung jawab yang besar, mengingat mereka berurusan langsung dengan nyawa manusia.

Studi lebih lanjut juga menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih rentan terhadap stres dan kecemasan dibandingkan laki-laki. Ini karena perempuan lebih sering menganggap tantangan akademik dan tekanan sebagai hal yang sangat mengancam, sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh stres.

Penelitian dari Universitas Airlangga juga mendukung temuan ini, di mana mahasiswi kedokteran ditemukan lebih sering mengalami kecemasan dan stres dibandingkan mahasiswa laki-laki.

Kejadian bunuh diri yang melibatkan mahasiswi kedokteran Undip ini seharusnya menjadi peringatan bagi institusi pendidikan dan pemerintah untuk lebih serius menangani isu kesehatan mental di kalangan mahasiswa.

Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan dukungan yang lebih besar, baik dari segi akademik maupun psikososial, untuk membantu mahasiswa menghadapi tekanan yang mereka alami.

Selain itu, penting bagi fakultas kedokteran untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih suportif, di mana mahasiswa dapat merasa didukung dan memiliki akses yang mudah ke layanan konseling dan bantuan psikologis. Langkah-langkah pencegahan dan intervensi dini harus dilakukan untuk mencegah kejadian tragis serupa di masa depan.

Baca Juga: Apa Itu Roculax? Obat Bius Yang Digunakan Mahasiswi Undip Bunuh Diri