Mahasiswa Kedokteran di Indonesia Banyak Alami Stress

Penelitian terbaru mengungkapkan tingginya tingkat stres di kalangan mahasiswa kedokteran di Indonesia.

Mahasiswa Kedokteran di Indonesia Banyak Alami Stress
Mahasiswa Kedokteran di Indonesia Banyak Alami Stress. Gambar : Ilustrasi Canva

BaperaNews - Fakta mahasiswa kedokteran di Indonesia mengalami tingkat stres yang signifikan, meskipun telah melalui berbagai tahapan seleksi, termasuk tes psikologi, menyoroti sisi gelap pendidikan kedokteran yang sering kali terabaikan.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Prof Budi Santoso, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), mengungkapkan bahwa meskipun mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) telah memenuhi standar psikologi yang ketat, mereka masih rentan terhadap tekanan mental selama masa studi mereka.

Prof Budi menjelaskan bahwa meskipun proses seleksi awal seperti tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) bertujuan untuk memastikan mahasiswa memiliki kesiapan mental untuk menjalani pendidikan spesialisasi, kenyataannya, tingkat stres di kalangan mahasiswa PPDS tetap tinggi.

“Proses stres bisa terjadi di semua level pendidikan. Spesialisasi adalah kewajiban kita bersama untuk menciptakan suasana pendidikan yang menyenangkan dan tidak menakutkan,” ujar Prof Budi dalam sebuah wawancara setelah pelantikan dokter spesialis di Aula FK Unair, Rabu (26/6).

Dalam penelitiannya, Prof Budi menemukan bahwa mahasiswa yang sebelumnya telah lolos tes psikologi dengan nilai baik, setelah beberapa waktu menjalani pendidikan, menunjukkan perubahan signifikan dalam kondisi mental mereka.

Beberapa dari mereka bahkan tidak lagi cocok dengan spesialisasi yang dipilih, meskipun sebelumnya telah memenuhi standar nilai minimal yang ditetapkan.

Hal ini menjadi perhatian serius bagi Fakultas Kedokteran Unair, terutama karena stres tidak hanya mempengaruhi kinerja akademis tetapi juga kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan oleh para dokter masa depan.

Baca Juga: Benarkah Stress Tinggi di Kuliah Kedokteran Jadi Penyebab Mahasiswi Undip Bunuh Diri?

Tingkat Stres di Kalangan Mahasiswa Kedokteran

Penelitian serupa yang dilakukan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi menunjukkan bahwa 52,6% mahasiswa kedokteran mengalami stres pada tingkat sedang.

Studi ini mengungkapkan bahwa faktor utama yang memicu stres di kalangan mahasiswa kedokteran adalah beban akademis yang berat, tekanan dari lingkungan klinis, serta kurangnya waktu istirahat yang memadai.

Tingkat stres yang tinggi ini tidak hanya terjadi pada mahasiswa baru tetapi juga mereka yang sudah berada di tingkat lanjut, seperti mahasiswa PPDS.

Mahasiswa kedokteran di Indonesia, khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Jambi, menghadapi beban akademis yang sangat berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55% hingga 56,6% dari mereka mengalami stres berat terkait dengan tuntutan akademis.

Ini menunjukkan sisi gelap mahasiswa kedokteran yang sering kali tersembunyi di balik prestasi akademis yang gemilang. Para mahasiswa harus beradaptasi dengan tuntutan tinggi dalam waktu singkat, menghadapi ujian yang sulit, serta berusaha menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan studi yang intensif.

Selain beban akademis, tekanan dari lingkungan klinis juga berkontribusi signifikan terhadap tingkat stres mahasiswa. Mahasiswa kedokteran diharapkan mampu berfungsi hampir setara dengan profesional medis yang sudah berpengalaman, meskipun mereka masih dalam tahap belajar.

Kewajiban untuk menangani kasus-kasus darurat dan menjalani rotasi klinis yang menegangkan sering kali membuat mereka merasa cemas dan tidak percaya diri. Fakta ini menggarisbawahi tantangan mental yang dihadapi mahasiswa kedokteran, yang harus beradaptasi dengan cepat dalam situasi yang penuh tekanan.

Upaya Penanganan dan Dukungan

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa fakultas kedokteran di Indonesia telah mulai mengintegrasikan program kesejahteraan mental ke dalam kurikulum mereka.

Langkah ini termasuk menyediakan layanan konseling, terapi psikologis, serta program mentoring yang bertujuan untuk membantu mahasiswa mengelola stres dengan lebih baik.

Di Universitas Airlangga, misalnya, setiap mahasiswa kedokteran wajib menjalani tes psikologi sebelum memulai pendidikan spesialisasi. Namun, Prof Budi mengakui bahwa tes psikologi ini saja tidak cukup, karena stres dapat muncul dan berkembang selama masa pendidikan.

Prof Budi juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih mendukung dan tidak menakutkan.

"Spesialisasi adalah waktu yang penuh tantangan, dan kami sebagai pendidik harus memastikan bahwa mahasiswa kami merasa didukung, baik secara akademis maupun mental," katanya.

Dalam jangka panjang, penanganan yang lebih holistik terhadap kesehatan mental mahasiswa kedokteran diharapkan dapat mengurangi angka stres dan mencegah dampak negatif yang lebih serius, seperti depresi atau burnout.

Baca Juga: Kemenkes Hentikan Sementara Program Anestesi Undip Setelah Mahasiswi Bunuh Diri