Fahd A Rafiq: Pentingnya Kekuatan Lembaga Pertahanan untuk Keutuhan Indonesia
Fahd A Rafiq soroti perdebatan HAM dalam penanganan teroris dan pentingnya memperkuat lembaga pertahanan negara demi kelangsungan Indonesia

BaperaNews - Ada sebuah lembaga yang harus memiliki posisi kuat dalam suatu negara karena menjadi garda terdepan dalam pertahanan negara. Namun, lembaga ini kerap kali disalahpahami oleh masyarakat awam, bahkan oleh anggota DPR RI sendiri.
Tidak jarang, mereka yang terpengaruh oleh doktrin liberal Barat menganggap lembaga ini menakutkan dan rentan melanggar hak asasi manusia (HAM), sehingga sebaiknya dilemahkan.
“HAM versi mana nih?” ungkap Fahd A Rafiq pada Jumat (21/2/2024).
Ketua Umum DPP BAPERA tersebut menyoroti perdebatan mengenai konsep HAM, terutama dalam penanganan teroris.
“Kita diskusikan, HAM versi mana? Teroris yang membunuh ratusan orang dihukum mati boleh tidak? Jika atas nama HAM mereka hanya dihukum seumur hidup, apakah itu adil? Biaya yang dikeluarkan negara untuk mengurus seorang pembunuh seperti Amrozi Cs sangat besar. Negara bahkan harus menghabiskan hingga Rp6 miliar hanya untuk mereka,” ujarnya.
Fahd juga menyoroti pengaruh Barat dalam menanamkan konsep HAM yang mereka anut, terutama akademisi humanis yang meminta Indonesia menegakkan HAM ala Barat.
“Barat yang mana? Amerika?” tambahnya.
Mantan Ketua Umum PP AMPG ini juga menyinggung praktik penegakan HAM di negara-negara Barat. Ia mencontohkan Guantanamo, di mana banyak tahanan ditahan bertahun-tahun tanpa melalui proses peradilan dengan dalih “Patriot Act.”
“Di Amerika, NSA (National Security Agency) dan NSC (National Security Council) dapat melakukan banyak hal yang jauh lebih kejam, mulai dari penahanan, penyadapan, hingga interogasi yang brutal. Lalu, di mana HAM mereka?” ujarnya.
Ia menilai bahwa Indonesia justru keliru dalam memahami HAM dan cenderung menerapkan hukum yang terlalu lemah terhadap kejahatan besar.
Menurut Fahd, saat ini hukum di Indonesia terlalu lentur dan dapat dikriminalisasi sesuai kepentingan tertentu.
“Kalau Anda seorang pejuang keadilan atau bagian dari ‘justice fighter,’ Anda harus mengelus dada. Sistem hukum kita sering dibolak-balik sesuai kepentingan sekelompok orang atau bahkan kepentingan bangsa lain, melalui DPR sebagai wakil rakyat. Selama ada uang, semuanya bisa diatur,” katanya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti bagaimana banyak partai politik saat ini lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibanding kepentingan rakyat.
“Dalam diskusi politik, yang dibicarakan bukan rakyat, melainkan perebutan kekuasaan dan jatah menteri. Saat ini, media ramai membicarakan isu reshuffle, dan akhirnya benar-benar terjadi pergantian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dari Satrio Sumantri Brojonegoro ke Brian Yuliarto karena desakan publik. Ini adalah peringatan keras dari Presiden Prabowo Subianto agar para pembantunya lebih berpihak kepada rakyat,” tegasnya.
Baca Juga : Fahd A Rafiq: Indonesia Trauma dengan USA dan Tiongkok, Saatnya Berdikari
Mantan Ketua Umum DPP KNPI ini juga menyoroti filosofi di balik pasukan elite.
“Ada sebuah motto di benak pasukan terbaik: ‘Bukan berapa banyak musuh yang kami bunuh, tetapi berapa banyak nyawa yang kami selamatkan.’ Motto ini mungkin terdengar provokatif bagi kaum humanis dan liberal, tetapi bagi pasukan khusus, ini adalah prinsip utama. Banyak yang tidak suka dengan doktrin perang atau survival, terutama jika ada kata ‘membunuh.’ Ya, memang kejam, tetapi jika Indonesia ingin tetap utuh dan bertahan, doktrin pertahanan harus tetap kuat,” ujarnya.
Fahd mencontohkan bagaimana negara seperti Tiongkok dan Amerika Serikat berpikir dalam jangka panjang.
“Jika Anda memimpin negara dengan populasi 1,4 miliar orang, apakah Anda tidak ingin negara itu tetap utuh hingga 100 atau 500 tahun lagi? Lihatlah Amerika, yang kini berpenduduk sekitar 370 juta jiwa dan bisa mencapai 1 miliar dalam 200 tahun ke depan. Mereka tetap besar, tetap bertahan, dan tetap mengendalikan dunia,” jelasnya.
Lebih lanjut, suami dari Ranny Fahd A Rafiq, yang juga anggota DPR RI, menjelaskan bahwa sejarah mencatat bangsa Eropa menaklukkan dunia baru untuk mempertahankan eksistensinya.
“Mereka mengatasnamakan ‘survival of a nation’ demi kelangsungan bangsanya sendiri. Fakta menunjukkan bahwa 70-80% konflik dunia terjadi di wilayah penghasil minyak bumi. Apakah ini terjadi begitu saja? Tentu tidak. Semua sudah dirancang oleh negara-negara yang ingin tetap bertahan hingga 100 tahun ke depan,” tegasnya.
Fahd menambahkan bahwa perang dan konflik sering kali diciptakan untuk menguasai sumber daya alam suatu negara.
“Jika 30 tahun lagi minyak bumi habis, maka dunia akan beralih ke energi terbarukan seperti kelapa sawit, jagung, singkong, dan pohon jarak. Negara-negara yang memiliki sumber daya ini akan menjadi target, termasuk Indonesia yang memiliki tanah subur tanpa perlu banyak pupuk karena berada di ‘Ring of Fire.’ Negara kita akan menjadi incaran,” ungkapnya.
Menurutnya, cara menaklukkan negara tidak selalu melalui perang fisik, tetapi bisa dengan perang asimetris atau proxy war.
“Tidak perlu menyerang langsung, cukup gunakan media warfare, cultural warfare, currency warfare, hingga demonstrasi yang diciptakan untuk melemahkan negara dari dalam. Oleh karena itu, DPR RI harus segera memperkuat lembaga pertahanan negara yang saya maksud, jika Indonesia ingin tetap bertahan,” tutupnya.
Baca Juga : Fahd A Rafiq Puji Kebijakan Presiden Soal Efisiensi Anggaran, Perlukah Lembaga Ad Hoc Seperti AS?