5 Sisi Gelap K-Pop, Ternyata Tak Selalu Seindah yang Terlihat di Panggung

Di balik ketenarannya, tersimpan sisi gelap K-Pop yang jarang disadari oleh publik.

5 Sisi Gelap K-Pop, Ternyata Tak Selalu Seindah yang Terlihat di Panggung
Sisi Gelap K-Pop. Gambar : indonesian.korea.net

BaperaNews - Industri K-Pop sering kali terlihat penuh kemewahan dan keindahan dari layar kaca, menghibur jutaan penggemar di seluruh dunia.

Namun, di balik ketenarannya, tersimpan sisi gelap K-Pop yang jarang disadari oleh publik.

Banyak trainee dan idol yang harus menjalani hidup penuh tekanan serta pengalaman tak menyenangkan lainnya yang tidak pernah disorot di depan layar.

Sisi gelap K-Pop ini terungkap usai sejumlah idol dan mantan trainee mengungkapkan kisah-kisah kelam mereka tentang eksploitasi, pelecehan, dan kendali ketat dari agensi.

Mereka mengalami masa-masa sulit, dibiarkan tanpa privasi, dan harus menanggung beban emosional dari berbagai tuntutan yang tak manusiawi.

Baca Juga: 6 Sisi Gelap Jurnalistik: Fakta Kelam yang Harus Dihadapi sang Pilar Demokrasi

1. Sistem Pelatihan yang Ketat dan Seleksi yang Kompetitif

Perusahaan hiburan di Korea Selatan menerapkan sistem pelatihan yang sangat ketat bagi calon idol.

Sebelum debut, para trainee harus melewati seleksi yang kompetitif.

Mereka yang berasal dari keluarga kaya sering kali memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berlatar belakang biasa.

Selain bakat menyanyi dan menari, standar kecantikan dan ketampanan juga menjadi faktor penentu dalam proses seleksi.

Setelah terpilih menjadi trainee, mereka harus menjalani latihan intensif selama bertahun-tahun tanpa jaminan debut.

Hanya sedikit yang berhasil melangkah ke panggung sebagai idol, sementara yang lain harus meninggalkan industri setelah bertahun-tahun menjalani pelatihan tanpa hasil.

2. Kontrak yang Bermasalah

Salah satu permasalahan terbesar dalam industri K-Pop adalah kontrak jangka panjang yang kerap disebut sebagai kontrak budak.

Banyak idol terikat dalam perjanjian yang memberi mereka sedikit kontrol atas karier dan keuangan mereka.

Kasus grup Dong Bang Shin Ki menjadi contoh nyata bagaimana kontrak yang terlalu panjang dan tidak adil dapat menjadi masalah besar.

Mereka mengajukan gugatan terhadap agensi karena merasa kontrak 13 tahun yang mereka jalani terlalu membatasi dan tidak memberikan keuntungan yang layak.

Masalah keuangan juga menjadi perhatian serius. Meski terlihat glamor di panggung, banyak idola yang menerima bayaran kecil setelah perusahaan memotong penghasilan mereka untuk biaya produksi, pelatihan, dan promosi.

Grup seperti Rainbow, meskipun telah bekerja keras selama bertahun-tahun, mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan penghasilan yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah kerja yang mereka lakukan.

Baca Juga: 10 Sisi Gelap Bali: Fakta Kelam di Balik Indahnya Pulau Dewata

3. Pengawasan Ketat dari Agensi

Kehidupan idol K-Pop dikontrol sepenuhnya oleh agensi mereka. Dari gaya berpakaian hingga aktivitas di media sosial, setiap aspek kehidupan mereka diawasi dengan ketat.

Beberapa idol bahkan tidak diizinkan menjalin hubungan asmara demi menjaga citra mereka di mata penggemar.

Kong Yoo Jin, mantan anggota BONUSbaby, menjadi salah satu contoh idol yang mengalami sisi gelap K-Pop melalui kendali ketat agensinya.

Ia mengungkapkan bahwa setiap aspek hidupnya diatur, mulai dari pola makan hingga jam tidur. 

Berat badannya dimonitor secara ketat hingga beberapa kali dalam sehari, dan terkadang ia terpaksa untuk menahan makan demi menyesuaikan berat badan sesuai tuntutan agensi.

Tidak hanya itu, akses ke ponselnya juga sangat dibatasi, begitu pula komunikasi dengan keluarga atau orang-orang terdekat.

Bahkan, setelah keluar dari grup, ia terus menghadapi serangan kecemasan saat berada di tempat umum.

Keputusan untuk meninggalkan dunia hiburan menjadi pilihannya agar dapat menjaga kesehatan mental dan memulai hidup baru sebagai guru musik.

4. Besarnya Tekanan Mental 

Idol K-Pop dituntut untuk tampil sempurna dalam setiap kesempatan.

Latihan fisik yang melelahkan, jadwal padat, serta tekanan dari penggemar dan media sosial berdampak besar pada kesehatan mental mereka.

Banyak idol mengalami stres berat, kecemasan, hingga depresi akibat tekanan yang terus menerus.

Salah satu contoh sisi gelap K-Pop ini dialami oleh Kim Gayoung, mantan anggota grup Stellar. 

Grup ini menghadapi kegagalan dalam menduduki tangga musik, yang mendorong agensi mereka mengubah citra mereka menjadi lebih sensual, jauh dari citra awal mereka yang imut.

Gayoung dan anggota lainnya dipaksa mengenakan pakaian minim dan melakukan adegan-adegan tak senonoh. 

Gayoung mengaku, tekanan dari konsep ini membekas pada psikologisnya, bahkan bertahun-tahun setelah meninggalkan Stellar. 

Hingga kini, ia masih merasa terganggu dan tidak nyaman mengenakan pakaian pendek di depan umum. 

Baca Juga: 9 Sisi Gelap Jogja, Ternyata Tak Seromantis yang Dibayangkan

5. Marak Terjadi Kekerasan Seksual 

Industri K-Pop ternyata tak lepas dari skandal kekerasan seksual. Ada banyak sekali kasus kekerasan seksual yang melibatkan idol dan agensinya. 

Salah satu contoh kasusnya adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh CEO agensi. 

Laporan ini menguak pada 2017 usai seorang wanita melaporkan jika seorang CEO agensi berinisial B telah menyuruhnya melakukan hal yang tak senonoh. 

"Dia sempat menyuruh aku melakukan tes untuk melihat penampilanku. Lalu, setelah memberikan tes kecil, dia sempat meraba tubuhku," sebut wanita yang hanya disebut insialnya, A.

Akibatnya, pelaku B dihukum 10 bulan penjara. Namun, tak ada detail siapa sebenarnya CEO agensi yang dimaksud. 

Dunia K-Pop mungkin terlihat glamor dari luar, namun sisi gelap K-Pop adalah kenyataan yang dihadapi oleh banyak trainee dan idola.

Eksploitasi, kendali ketat, pelecehan, dan manipulasi dalam industri ini sering kali mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka yang berada di dalamnya.

Masyarakat perlu lebih memahami tekanan dan tantangan yang dihadapi oleh idola K-Pop, serta mendesak adanya perubahan dan perlindungan lebih untuk para talenta muda ini.

Bagaimanapun, dunia hiburan harusnya menjadi tempat yang aman, bukan sebaliknya.