Fahd A Rafiq: Indonesia Trauma dengan USA dan Tiongkok, Saatnya Berdikari

Fahd A Rafiq menyoroti posisi Indonesia yang trauma dengan AS dan Tiongkok, menegaskan pentingnya kebijakan Non-Blok demi kedaulatan ekonomi nasional.

Fahd A Rafiq: Indonesia Trauma dengan USA dan Tiongkok, Saatnya Berdikari
Fahd A Rafiq: Indonesia Trauma dengan USA dan Tiongkok, Saatnya Berdikari. Gambar : Bapera News/Dok. Istimewa

BaperaNews - Sebuah jajak pendapat pada tahun 2024 menemukan bahwa 73% orang Indonesia lebih memilih Tiongkok daripada Amerika Serikat jika harus memilih di antara keduanya.

Fakta ini diungkapkan langsung oleh Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (20/2/2024).

Fahd A Rafiq, menyatakan bahwa hasil jajak pendapat tersebut mencerminkan tren di ASEAN, di mana mayoritas negara lebih condong ke Tiongkok.

"Di Malaysia, 75% masyarakatnya lebih memilih Tiongkok, di Laos 71%, dan di Thailand 52%. Hal ini menunjukkan pengaruh ekonomi dan diplomatik Tiongkok yang kuat di kawasan," ungkapnya.

Lebih lanjut, mantan Ketua Umum PP-AMPG ini menjelaskan bahwa Singapura, Vietnam, dan Filipina lebih condong ke Amerika Serikat, terutama Filipina yang memiliki sejarah panjang sebagai koloni AS dari tahun 1898 hingga 1946.

Hingga kini, elit politik Filipina sangat pro-AS, termasuk Presiden Bongbong Marcos Jr., putra dari Ferdinand Marcos Sr., yang dulu didukung penuh oleh Washington selama Perang Dingin. Filipina bahkan memiliki pangkalan militer AS hingga saat ini.

Menurut Fahd A Rafiq, Amerika Serikat kini berupaya merekrut sekutu baru di Asia Tenggara untuk mengisolasi Tiongkok. Filipina menjadi negara utama yang bergabung dengan kebijakan tersebut, sementara Indonesia justru menjauh dari pengaruh AS dan lebih condong ke Tiongkok.

Pada tahun 2023, sempat muncul skandal politik ketika AS menerbitkan siaran pers yang mengklaim adanya aliansi strategis dengan Indonesia.

Namun, Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dengan tegas membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa Indonesia tetap pada prinsip Non-Blok dan Politik Bebas Aktif. 

Pernyataan ini menegaskan bahwa meski memiliki hubungan baik, Indonesia bukan sekutu AS, melainkan mitra yang tetap menjaga kedaulatannya.

Fahd menyinggung sejarah kelam Indonesia pasca-kudeta 1998 yang didukung Amerika, yang meninggalkan trauma mendalam.

Baca Juga : Fahd A Rafiq Puji Kebijakan Presiden Soal Efisiensi Anggaran, Perlukah Lembaga Ad Hoc Seperti AS?

Kini, dengan menjadi anggota penuh BRICS, Indonesia memperkuat integritasnya dengan negara-negara di belahan bumi selatan. Tiongkok, sebagai mitra dagang terbesar, menyerap 22,6% ekspor Indonesia dan menyuplai 28,5% impor pada tahun 2022.

"Indonesia memainkan peran penting dalam ekonomi global, terutama sebagai produsen nikel terbesar di dunia," tambahnya.

Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah yang diterapkan pemerintah bertujuan menambah nilai ekonomi dalam negeri, meski mengundang kritik dari negara-negara Barat dan lembaga seperti IMF dan WTO.

Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga pemikir AS, pernah menerbitkan makalah yang menyoroti bagaimana investasi industri Tiongkok membantu Indonesia mengubah nikel menjadi 'emas baru'.

Namun, Australian Institute of International Affairs, yang dikenal agresif dan anti-Tiongkok, menerbitkan laporan lain yang menuding dukungan Tiongkok terhadap supremasi nikel Indonesia sebagai ancaman bagi Australia.

Menurut Fahd, kebijakan industri nikel Indonesia terbukti efektif menekan dominasi Barat dan berpotensi besar mengangkat rakyat dari kemiskinan.

Investasi Tiongkok sejak 2014 di sektor ini kemungkinan akan terus meningkat, terutama dengan strategi peningkatan nilai tambah di dalam negeri yang telah diterapkan pemerintah.

Dampak kebijakan ini membuat Uni Eropa mengajukan keluhan resmi ke WTO, sementara Indonesia berargumen bahwa ini adalah upaya melindungi kepentingan ekonomi nasional dan melawan imperialisme ekonomi Barat.

"IMF, yang didominasi oleh Amerika Serikat, bahkan menuntut Indonesia mencabut larangan ekspor nikel, tetapi Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatan ekonominya," tegas Fahd.

Meski demikian, Fahd mengakui bahwa sebagian kritik Barat memiliki dasar yang kuat. Investasi Tiongkok, meski menguntungkan Indonesia dalam hal pengembangan industri, juga membawa risiko ketergantungan karena banyaknya pembiayaan konsesi di bawah nilai pasar dunia.

"Dalam catatan APBN, Indonesia memang tidak sepenuhnya diuntungkan dari nikel, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sebelumnya. Namun yang pasti, Indonesia saat ini tidak ingin dijajah lagi, baik oleh Barat dengan WTO-nya maupun oleh Tiongkok dengan investasinya. Indonesia tetap konsisten pada prinsip Non-Blok, UUD 1945, dan Pancasila," pungkas Fahd, yang juga mengajar di salah satu kampus ternama di Negeri Jiran.

Baca Juga : Fahd A Rafiq: Soeharto dan Gus Dur Layak Menjadi Pahlawan Nasional