Part 3: Fahd El Fouz A Rafiq dan Grameen Bank

Fahd El Fouz A Rafiq selaku Ketua Umum Barisan Pemuda Nusantara BAPERA sebuah ormas pemuda yang berani mendobrak dan membahas problem sosial di Indonesia.

Part 3: Fahd El Fouz A Rafiq dan Grameen Bank
Fahd El Fouz A Rafiq, Ketua Umum Barisan Pemuda Nusantara BAPERA. Gambar: Jnn.co.id

BaperaNews - Fahd El Fouz A Rafiq selaku Ketua Umum Barisan Pemuda Nusantara BAPERA sebuah ormas pemuda yang berani mendobrak dan membahas problem sosial di Indonesia dengan menggunakan mata cacing dan tidak pernah lelah untuk  belajar dari orang yang berpengalaman baik dari dalam maupun luar negeri.

Sebuah organisasi kepemudaan harus mempunyai rasa, harmony yang berbeda dibandingkan organisasi yang telah berdiri sebelumya. Setelah Fahd El Fouz A Rafiq mencontohkan langsung kebaikan sosialnya, kali ini beliau ingin lakukan hal yang lebih jauh mengapa kemiskinan masih pelik untuk dipecahkan.

Dengan pendekatan ekonomi sosial beliau berikhtiar untuk melakukan hal terbaik untuk orang banyak, dengan belajar dari Grameen Bank sebuah ide brilian  dari Muhammad Yunus yang Insya Allah jika Tuhan mengizinkan akan diterapkan oleh pemuda 38 tahun ini.

Keserakahan menjadi musuh bersama, apapun bidang kita yang geluti baik urusan bisnis, maupun non profit bagi hasil dalam pembagian dan beberapa hal yang berkaitan dengan kerjasama yang menguntungkan beberapa pihak.

Kisah Harun ditenggelamkan Allah SWT bersama hartanya dikarenakan serakah dan tamaknya yang sudah kelewat batas, ada sebuah kisah di Indonesia, serakah agak lucu orang serakah mengkadali orang serakah yang bergerak bawahannya si serakah A yang mengkadali si Serakah B beserta orang yang diperintah, akhirnya menang banyak si A.

Jika dilihat dari kisah diatas keserakahan masih menjadi sumber masalah di republik ini, menurut analisa penulis dan berbagai cerita dari kawan se profesi Pejabat yang memiliki tingkat keserakahan diatas rata rata dan kurang dermawan biasanya dalam menduduki kursi jabatan yang diembannya tidak akan bertahan lama.

Peraih Nobel 2006 ini mempelajari kemiskinan di Jobra, pentingnya pembedaan antara mereka yang benar benar miskin dengan petani Marjinal. Program program pembangunan internasional di wilayah pedesaan selalu terfokus pada petani dan pemilik lahan. Di Bangladesh separuh dari jumlah penduduk jauh lebih miskin ketimbang marjinal. Saat beliau pelajari Jobra, birokrat pemerintah dan ilmuwan sosial tidak pernah mengklarifikasi siapa sesungguhnya “si Miskin” itu, Waktu itu orang miskin bisa berarti banyak hal.

Bagi sebagian, istilah itu bisa mengacu pada pengangguran, orang buta huruf dan orang  tunawisma. Bagi yang lain, orang miskin adalah orang yang tidak bisa mendapatkan cukup pangan untuk menghidupi keluarganya selama setahun penuh. Yang lain berfikir orang miskin adalah orang yang memiliki rumah gubuk beratap rumbia, yang menderita gizi buruk, atau yang tidak bisa menyekolahkan anak anaknya. Ketidakjelasan konseptual semacam ini sangat merugikan upaya upaya kami mengentaskan kemiskinan.

Satu hal kebanyakan kemiskinan mengabaikan perempuan dan anak anak. Dalam pekerjaan beliau, dia merasa beguna memakai tiga definisi luas kemiskinan untuk menggambarkan situasi di Bangladesh.

P1 20 persen paling bawah dari populasi sangat miskin atau miskin mutlak

P2 35 persen paling bawah dari populasi

P3 50 persen paling bawah dari populasi.

Pada setiap kategori miskin, M. Yunus sering menambahkan klasifikasi berdasarkan etnis, jenis, umur, dan sebagainya. Kriteria pekerjaan atau wilayah mungkin tidak bisa seterukur kriteria aset-pendapatan, tetapi membantu kami dalam membuat sebuah matriks kemiskinan yang multidimensi.

Ibarat Marka Marka navigasi di laut lepas, kemiskinan perlu di definisikan secara pasti dan tidak ambigu. Sebuah definisi yang tidak tepat sama buruknya dengan tanpa definisi sama sekali.

Baca Juga: Part 1 : Fahd El Fouz A Rafiq Dan Grameen Bank

Pengalaman beliau dengan sumur artesis di Jobra meyakinkan beliau untuk memusatkan perhatian pada kaum miskin tuna wisma. Ia segera mulai berpendapat bahwa bila sebuah program pengentasan kemiskinan mengizinkan mereka yang relatif tidak miskin untuk turut serta, maka kaum miskin dengan segera akan tersikut keluar dari program oleh mereka yang keadaannya lebih baik. Dalam dunia yang sedang membangun, jika seseorang menyatukan kaum miskin dan kaum yang relatif tidak miskin akan selalu mengusir mereka yang miskin, dan mereka yang miskin akan mengusir mereka yang lebih miskin lagi, kecuali langkah langkah proteksi dilembagakan secara secara tepat saat program dimulai.

Dalam sejumlah kasus, kaum yang relatif tidak miskin malah menikmati manfaat seluruh kegiatan yang dikerjakan atas nama kaum miskin.

Beliau mencoba mengentaskan kemiskinan dengan memberikan pinjaman pada usaha kecil yang kemudian akan memperluas usahanya dan mempekerjakan kaum miskin. Perlu waktu agar orang orang melihat bahwa beliau sesungguhnya sedang mengadvokasikan pemberian pinjaman langsung pada kaum miskin.

Para pembuat kebijakan cenderung menyamakan penciptaan lapangan kerja dengan pengangguran kemiskinan, sementara ekonom cenderung hanya mengakui satu jenis pekerjaan yaitu pekerjaan yang memiliki gaji bulanan.
Ekonom juga cenderung memfokuskan riset dan teori teorinya pada asal muasal kekayaan dimasa kekuasaan kolonial sebelumnya, bukan pada realitas tingkat mikro kaum miskin negara negara dunia ketiga.

Bila ada perhatian yang diberikan pada kemiskinan, pasti ditaruh di bawah judul yaitu ekonomi pembangunan, sebuah bidang yang baru muncul sesudah perang dunai II  yang pada dasarnya tetap merupakan tambahan atau penafsiran ulang atas batang tubuh utama teori ekonomi.

Yang paling parah, para ekonom gagal memahami kekuatan sosial kredit. Dalam teori ekonomi, kredit dipandang hanya sebagai alat untuk melumasi roda roda perdagangan, bisnis dan industri. Kenyataannya, kredit menciptkan kekuatan ekonomi yang dengan cepat berubah menjadi kekuatan sosial. Ketika lembaga lembaga perkreditan serta perbankan membuat ketentuan yang menguntungkan sektor tertentu dari populasi, sektor itu akan meningkat status sosial ekonominya. Baik di negara negara kaya maupun miskin, lembaga lembaga kredit lebih memihak kaum kaya dan dengan demikian mereka memaklumkan lonceng kematian bagi kaum miskin.

Dibanyak negara dunia ketiga, sebagian besar masyarakat mencari penghidupan dengan usaha mandiri. Karena tidak tahu kemana harus memasukkan orang orang ini kedalam kerangka analisanya, ekonom pun menjejalkan mereka ke dalam kategori pukul rata yang disebut Sektor Informal. Tetapi sektor informal sesungguhnya mencerminkan swadaya masyarakat untuk menciptakan lapangan kerjanya sendiri, beliau lebih menyebutnya ekonomi kerakyatan, sebuah istilah yang sering digunukana oleh sahabat dari Muhammad Yunus dari Jerman yaitu Karl Osner, yang telah memainkan peran penting dalam menididik masyarakat Eropa mengenai kredit mikro. Setiap ekonom yang sungguh sungguh memahami masyarakat akan melangkah maju untuk meningkatkan efisiensi ekonomi kerakyatan ini ketimbang melecehkannya. Dengan tiadanya dukungan para ekonom, organisasi organisasi seperti Grameen Bank mesti melangkah untuk menerobosnya.

Dari beberapa point diatas telah kita jabarkan yaitu tentang tingkatan orang muskin dan tidak sinkronnya ilmu ekonomi dengan kenyataan di lapangan.

Apa yang akan dilakukan oleh anak dari pedangdut kondang A Rafiq ini, setidaknya telah memberikan harapan kepada kaum miskin bahwa setiap masalah bisa diselesaikan mana kala ada kerjasama kolektif, satu visi, saling menguatkan bukan saling menjatuhkan.

Baca Juga:Part 2: Fahd El Fouz A Rafiq Dan Grameen Bank