Fahd A Rafiq: Pengguna TikTok di Dunia Paling Banyak dari Indonesia, Tapi Senjata Propaganda Paling Berbahaya

Ketum DPP Bapera, Fahd A Rafiq, menyoroti pengguna TikTok di Indonesia sebagai yang terbanyak, mengingatkan akan potensi bahaya sebagai senjata propaganda.

Fahd A Rafiq: Pengguna TikTok di Dunia Paling Banyak dari Indonesia, Tapi Senjata Propaganda Paling Berbahaya
Fahd A Rafiq: Pengguna TikTok di Dunia Paling Banyak dari Indonesia, Tapi Senjata Propaganda Paling Berbahaya. Gambar : Istimewa

BaperaNews - Selamat kepada TikTok yang pada bulan Agustus 2024 kemarin menjadi platform dengan pengguna terbanyak dari Indonesia, diikuti oleh Amerika Serikat, Brasil, Meksiko, dan Vietnam. Tak hanya itu, Indonesia juga menjadi negara dengan durasi pengguna TikTok terlama pada tahun 2024, di bawah Inggris dan Chili, ucap Fahd El Fouz A Rafiq, Ketum DPP Bapera, di Jakarta pada Minggu (27/10).

Fahd A Rafiq menjelaskan, "Ketika membuka TikTok, banyak komentar yang dapat menurunkan IQ kalian hingga 30 poin." Ia menyoroti bahwa TikTok, sebagai platform dengan pengguna terbanyak, umumnya diakses oleh individu dengan tingkat pendidikan yang rendah. 

"Facebook sering dijadikan alat pembanding dengan media sosial lainnya, termasuk TikTok, yang penggunanya memiliki tingkat pendidikan yang serupa," ungkapnya.

Fahd menegaskan, "Orang yang tidak berpendidikan mudah dimanipulasi, berbeda dengan Twitter yang menyajikan komentar yang lebih mencerdaskan. TikTok adalah mesin propaganda yang dapat menciptakan presiden dunia (the Real King Maker), dan bahayanya bisa menghancurkan sebuah negara."

Dengan strategi divide et impera melalui platform digital, TikTok dapat menggiring opini dalam pemilihan presiden dan bahkan menghancurkan negara. "Ketika satu entitas memecah belah masyarakat, jangan harap mereka menjadi pintar; biarkan mereka semakin bodoh. Semakin bodoh, semakin mudah dimanipulasi," jelasnya.

Ia mengingatkan, "Perang media sosial dengan pola seperti ini pernah terjadi di Indonesia saat pilkada Jakarta, di mana etnis Arab dan Tionghoa dibenturkan, yang jelas mengganggu kerukunan di Indonesia. Kita semua tahu betapa riak kebencian saat itu melanda Jakarta."

Fahd melanjutkan, "TikTok adalah sosial media bagi orang yang kurang berpendidikan. Semakin rendah pendidikan seseorang, semakin mudah terpicu emosinya." Ia menekankan, orang yang sedang FOMO (fear of missing out) atau marah tidak akan berpikir panjang sebelum mengeluarkan uangnya. "Pancing emosinya," tambahnya.

Pertumbuhan pengguna TikTok melonjak signifikan, namun pertumbuhan tersebut ada harganya. "Di TikTok, siapa pun bisa viral, dan semua orang bisa menjadi influencer. TikTok memenuhi keinginan banyak orang untuk terkenal dengan biaya yang minim," ujarnya.

Baca Juga : Fahd A Rafiq: PBSI Gagal Pertahankan Tradisi Emas Olimpiade, Perlu Evaluasi!

Fahd menegaskan bahwa terdapat penelitian yang menunjukkan korelasi antara pendidikan dan kemampuan mengelola emosi. "Semakin tinggi pendidikan, semakin kalem. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan, semakin mudah terpancing emosinya. Jika kita ingin memanipulasi orang, kita harus memancing emosinya, bukan menggunakan logika," jelasnya.

Fakta menunjukkan bahwa beberapa negara tidak menginginkan warganya cerdas. "Semakin bodoh, semakin mudah untuk digiring. Sejak TikTok hadir di Indonesia, dampaknya sangat besar, dan pertumbuhan tersebut sangat mahal," tambahnya.

"Mantan Ketum PP AMPG juga berkomentar, 'TikTok bersifat terbuka; semua orang bisa membuat konten. Orang 'bodoh' bisa bersuara lebih keras daripada orang pintar.' Meskipun sekilas tampak mulia, TikTok lebih merupakan platform distribusi konten daripada media sosial, yang mendorong pertumbuhannya tanpa hambatan," katanya.

Fahd menyoroti bahwa mayoritas pengguna TikTok adalah orang-orang berpendidikan rendah yang mengonsumsi konten tanpa substansi, seperti drama, kampanye hitam, dan konten ekstrem. "Orang Indonesia pengguna Android menghabiskan waktu terlama di TikTok dibandingkan negara lain. Mereka menyukai konten yang tidak beredukasi. Meskipun TikTok memiliki banyak aturan, konten buruk tetap bisa lolos," ungkapnya.

Ia melanjutkan, "Di TikTok, bahkan tanpa pengikut, kalian bisa mendapatkan jutaan tayangan. Pintu utama untuk mengatasi masalah ini adalah moderasi konten. Di media sosial lain, ada moderasi akun; bukan hanya konten yang harus bermutu, tetapi juga akun yang membuatnya."

Pengalaman pemilu di berbagai negara menunjukkan banyak presiden dunia menggunakan TikTok sebagai alat kampanye. "Ini dimanfaatkan dengan baik oleh banyak presiden. Analoginya, TikTok seperti perusahaan yang menjual senjata; jika tidak ada kontrol, senjata itu bisa disalahgunakan. TikTok membiarkan hal ini terjadi tanpa memeriksa penggunaannya," tegasnya.

"Yang berbahaya bukanlah TikTok itu sendiri, melainkan apa yang diizinkan untuk terjadi di dalamnya. Jika akun yang tidak berpendidikan berkomentar, saya tidak masalah; pelan-pelan orang akan menyadari. Namun, jika buzzer yang berkomentar, inilah yang berbahaya dan dapat digunakan sebagai mesin propaganda," pungkasnya.

Fahd juga menegaskan pentingnya tanggung jawab dalam berbangsa dan bernegara. "Kita harus sepakat bahwa Indonesia adalah negara yang terobsesi dengan TikTok. Penelitian menunjukkan bahwa 60-70% remaja mengalami gangguan kecemasan, stres, dan perasaan tidak aman akibat penggunaan TikTok. Jika TikTok digunakan sebagai alat propaganda, maka kemampuan pengguna untuk berkonsentrasi akan menurun," ucapnya.

"Jika kalian ingin membuka TikTok, filter dulu konten-konten edukatif di pengaturan. Jangan percaya mentah-mentah pada komentar teratas, karena TikTok tidak kuat dalam moderasi akun. Jika kalian tidak percaya, coba ambil satu video propaganda dan bagikan; mungkin itu bisa viral. Perlu dicatat bahwa Snack Video memiliki pola permainan yang mirip dengan TikTok," tutup dosen yang mengajar di Malaysia ini.

Penulis : ASW