BKKBN Menargetkan Tiap Keluarga Punya 1 Anak Perempuan Imbas Angka Kelahiran Turun
Hasto Wardoyo dari BKKBN mengimbau setiap keluarga di Indonesia memiliki setidaknya satu anak perempuan untuk menjaga keseimbangan populasi dan gender. Baca selengkapnya di sini!
BaperaNews - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengimbau agar setiap keluarga di Indonesia memiliki setidaknya satu anak perempuan.
Imbauan ini muncul sebagai respons terhadap terus menurunnya angka kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia.
Hasto mengungkapkan bahwa kebijakan ini bertujuan menjaga pertumbuhan populasi dan memastikan keseimbangan gender di tengah tren penurunan angka kelahiran yang signifikan.
"Karena kalau anaknya dua lebih dikit, maka hampir dipastikan satu perempuan akan melahirkan anak satu perempuan," ujarnya pada Kamis (27/6).
Hasto Wardoyo membandingkan tren kelahiran saat ini dengan kondisi pada tahun 1970-an, ketika rata-rata wanita melahirkan 6-9 anak dalam setiap keluarga. Namun, situasi ini telah berubah drastis.
"Selama beberapa puluh tahun terakhir ini penurunannya sangat progresif," kata Hasto.
Kini, rata-rata seorang wanita hanya melahirkan 1-2 anak, yang berdampak langsung pada penurunan populasi.
Data dari World Population Prospect menunjukkan angka TFR Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, TFR tercatat sebesar 2,19, kemudian menurun menjadi 2,17 pada 2021, dan 2,15 pada 2022.
Baca Juga: Italia Alami Rekor Terendah Angka Kelahiran 15 Kali Berturut-turut
Angka ini menunjukkan bahwa jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh setiap wanita selama masa reproduktifnya berada di bawah tingkat penggantian populasi, yang idealnya adalah 2,1.
Penurunan angka kelahiran ini lebih terasa di beberapa provinsi di Pulau Jawa. Menurut Hasto, TFR di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan DKI Jakarta menunjukkan angka yang rendah.
"Di Jawa ini sudah 2,0 sekian ya. Tadi di Jabar sudah 2,00 sekian, di Jawa Tengah 2,04, di DIY 1,9, di DKI juga 1,89," ujarnya.
Tingkat kelahiran yang rendah ini dapat menyebabkan beberapa masalah demografis, termasuk populasi yang menua dan kurangnya tenaga kerja produktif di masa depan. Situasi ini dapat memengaruhi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara keseluruhan.
Hasto menjelaskan pentingnya memiliki setidaknya satu anak perempuan dalam setiap keluarga sebagai bagian dari strategi BKKBN untuk menjaga keseimbangan gender dan memastikan pertumbuhan populasi yang stabil. Anak perempuan diharapkan dapat melahirkan generasi berikutnya dan menjaga keseimbangan demografis di masa depan.
Selain itu, memiliki anak perempuan juga berhubungan dengan beberapa keuntungan sosial dan ekonomi bagi keluarga. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih terlibat dalam pengasuhan orang tua mereka saat tua dan sering kali berkontribusi secara signifikan terhadap kesejahteraan keluarga.
Untuk menghadapi penurunan TFR, BKKBN telah meluncurkan berbagai inisiatif dan kampanye untuk mendorong pasangan agar memiliki lebih banyak anak. Salah satu fokus utamanya adalah memberikan edukasi tentang pentingnya perencanaan keluarga yang seimbang dan manfaat memiliki anak perempuan.
Hasto Wardoyo juga menyoroti perlunya peran aktif dari pemerintah daerah dalam mendukung program-program BKKBN.
"Kerja sama dengan pemerintah daerah sangat penting untuk mencapai target ini. Program-program harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan melibatkan masyarakat secara langsung," tambahnya.
BKKBN juga berupaya meningkatkan akses ke layanan kesehatan reproduksi dan perencanaan keluarga, khususnya di daerah-daerah dengan angka TFR yang sangat rendah. Program-program edukasi dan kampanye kesadaran tentang pentingnya keseimbangan gender dalam keluarga juga diintensifkan.
Pernyataan Hasto Wardoyo menuai berbagai reaksi dari masyarakat. Ada yang mendukung upaya BKKBN dalam menjaga keseimbangan populasi dan meningkatkan jumlah anak perempuan.
Namun, ada juga yang mengkritik pendekatan ini, menganggapnya terlalu mengatur kehidupan pribadi keluarga dan bertentangan dengan prinsip kebebasan memilih.
Para ahli demografi juga mengingatkan bahwa kebijakan populasi harus mempertimbangkan berbagai faktor termasuk preferensi pribadi, kondisi ekonomi, dan budaya lokal.
"Kebijakan seperti ini harus diimplementasikan dengan hati-hati dan mempertimbangkan perspektif jangka panjang," kata seorang pakar demografi dari Universitas Indonesia.
Baca Juga: Angka Kelahiran Menurun, Hong Kong Beri Subsidi Rp 40 Juta Agar Warga Mau Punya Anak