11 Sisi Gelap Swiss, Negara Maju yang Masih Langgengkan Rasisme?
Di balik pesona yang ditawarkan, ada beberapa fakta mengejutkan sisi gelap Swiss yang jarang diketahui publik.

BaperaNews - Swiss, negara kecil di Eropa yang terkenal dengan keindahan Pegunungan Alpen dan kualitas hidupnya yang tinggi, sering kali dianggap sebagai salah satu tempat terbaik di dunia untuk tinggal.
Dengan reputasinya sebagai negara netral, bersih, dan aman, banyak orang bermimpi menetap di Swiss.
Namun, di balik kemewahan dan keamanan yang ditawarkan, ada beberapa fakta mengejutkan yang mengungkap sisi gelap Swiss yang jarang diketahui masyarakat luas.
Lantas, apa saja hal-hal yang membuat negara ini memiliki dua wajah yang berbeda? Simak ulasannya berikut ini.
Baca Juga: 11 Fakta Dark Web, Sisi Gelap Internet yang Jarang Diketahui Orang
1. Biaya Hidup yang Tinggi
Swiss mungkin terkenal dengan fasilitas publik yang memadai dan lingkungan yang bersih, tetapi biaya hidup di sana sangat tinggi dan menjadi tantangan besar bagi penduduknya.
Bahkan, Swiss menempati posisi teratas sebagai salah satu negara dengan biaya hidup paling mahal di dunia.
Meskipun rata-rata pendapatan tahunan di Swiss mencapai sekitar USD66.567 atau hampir Rp996,5 juta, namun biaya hidup membuat gaji tersebut terasa pas-pasan.
Kondisi ini memaksa banyak orang untuk ekstra hati-hati dalam mengelola keuangan agar mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tidak heran jika bagi sebagian besar penduduk lokal, biaya hidup yang tinggi di Swiss terasa memberatkan.
2. Beban Sewa Rumah yang Luar Biasa
Selain biaya hidup yang mahal, Swiss juga dikenal dengan biaya sewa rumah yang sangat tinggi.
Di kota-kota besar seperti Zurich dan Jenewa, tarif sewa untuk apartemen satu kamar tidur bisa mencapai CHF 2.000 atau sekitar Rp32 juta per bulan.
Sementara itu, jika mencari tempat yang lebih terjangkau, seseorang harus rela tinggal di pinggiran kota dengan akses yang mungkin lebih sulit ke pusat kota.
Tingginya biaya sewa rumah menjadi tantangan yang tidak mudah diatasi, terutama bagi pendatang.
Banyak orang asing kesulitan bersaing dengan warga lokal untuk mendapatkan tempat tinggal nyaman dengan harga terjangkau.
Ketersediaan tempat tinggal yang terbatas dan harga sewa yang tinggi menjadikan Swiss salah satu negara paling mahal untuk mencari hunian.
3. Asuransi Kesehatan yang Wajib dan Mahal
Setiap penduduk di Swiss wajib membayar asuransi kesehatan, yang sering kali menjadi beban finansial besar.
Premi asuransi ini wajib dibayarkan oleh setiap individu berusia 18 tahun ke atas, dengan rata-rata biaya per bulan sekitar CHF 397 atau Rp6,4 juta untuk orang dewasa.
Jika seseorang tidak mampu membayar iuran ini, tagihan akan terus menumpuk dan bahkan bisa menjadi utang yang diwariskan kepada anggota keluarga.
Baca Juga: 10 Sisi Gelap Esport, Fakta Kelam di Balik Ketenarannya
Biaya asuransi kesehatan yang tinggi menyebabkan tekanan finansial yang signifikan pada banyak keluarga, terutama kelas menengah.
Bagi pendatang yang ingin tinggal di Swiss, iuran asuransi wajib ini menjadi penghalang utama karena membebani anggaran bulanan mereka secara signifikan.
4. Biaya Tol yang Tinggi
Swiss juga terkenal dengan biaya tol yang tinggi, yang semakin menambah pengeluaran transportasi bagi penduduknya.
Berdasarkan data dari Budget Direct pada 2021, Swiss tercatat sebagai negara dengan biaya tol termahal di dunia, yakni sekitar USD26,52 atau sekitar Rp381 ribu per perjalanan (berdasarkan kurs 5 Maret 2021).
Dengan tingginya biaya ini, mobilitas menggunakan kendaraan pribadi menjadi semakin mahal, terutama bagi mereka yang harus sering bepergian antar kota.
Akibatnya, banyak orang Swiss lebih memilih menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.
Namun, bagi penduduk yang tinggal di wilayah jauh dari pusat transportasi umum, biaya tol tetap menjadi beban yang tidak bisa dihindari.
5. Sistem Pajak dan Iuran yang Ketat
Selain asuransi kesehatan wajib, Swiss menerapkan sistem pajak dan iuran yang cukup ketat bagi seluruh warganya.
Setiap penduduk diharuskan membayar berbagai iuran, termasuk dana pensiun hari tua.
Besarnya tunjangan pensiun yang bisa diperoleh pun bervariasi, tergantung pada besarnya iuran yang dibayarkan sepanjang masa kerja.
Sistem pajak dan iuran yang tinggi ini sering kali memengaruhi daya beli serta kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama ketika sudah memasuki masa pensiun.
6. Banyak Lansia yang Pilih Pindah Negara
Meski Swiss memiliki sistem pensiun, jumlah tunjangan yang diterima sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi biaya hidup.
Rata-rata tunjangan pensiun berkisar antara CHF 1.225 hingga CHF 2.450 atau sekitar Rp19,8 juta hingga Rp39,7 juta per bulan.
Dengan mahalnya biaya hidup, jumlah tersebut dianggap kurang memadai bagi sebagian besar lansia.
Baca Juga: 7 Sisi Gelap Dunia Model, Ternyata Tak Seglamor yang Terlihat
Akibatnya, tidak sedikit lansia di Swiss yang memilih pindah ke negara dengan biaya hidup lebih rendah untuk menjaga kondisi finansial mereka.
Negara-negara di Eropa dengan biaya hidup lebih murah menjadi tujuan populer bagi para lansia Swiss yang kesulitan mencukupi kebutuhan hidup di tanah air.
7. Utang Asuransi 'Diwariskan'
Jika orang tua tidak mampu membayar premi asuransi kesehatan, di Swiss utang tersebut bisa dialihkan kepada anak-anak mereka yang telah berusia 18 tahun.
Kondisi ini membuat banyak anak muda di Swiss menanggung beban utang yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka, sering kali berjumlah antara CHF 10.000 hingga CHF 24.000 atau Rp162 juta hingga Rp389 juta.
Menurut ahli hukum Swiss, Claudia Odermatt, masalah ini membuat banyak anak muda terjebak dalam kondisi finansial sulit sejak dini.
Beban utang ini bahkan dapat menghambat mereka mencari pekerjaan atau menyewa rumah, karena status utang dipertimbangkan oleh pihak berwenang.
8. Pendatang Sulit Dapat Tempat Tinggal
Selain biaya hidup yang tinggi, pendatang yang ingin tinggal di Swiss sering dihadapkan pada tantangan besar dalam mencari tempat tinggal.
Tingkat persaingan untuk mendapatkan hunian sangat ketat, terutama di kota-kota besar, sehingga menyulitkan pendatang bersaing dengan warga lokal.
Mayoritas warga Swiss tinggal di apartemen yang disewa dalam jangka waktu lama, yang membuat kesempatan untuk mendapatkan hunian semakin terbatas bagi orang asing.
Tingginya biaya sewa rumah, yang berkisar antara CHF 1.200 hingga CHF 2.500 atau sekitar Rp19,4 juta hingga Rp40,5 juta per bulan, juga menambah beban bagi pendatang yang ingin menetap di Swiss.
9. Orang Swiss Sulit Menjalin Relasi dengan Pendatang
Orang Swiss dikenal lebih tertutup dalam pertemanan dan sering kali menjaga jarak dengan pendatang.
Sebagian besar warga Swiss lebih suka mempertahankan lingkaran sosial yang sudah lama terjalin dibanding membentuk pertemanan baru dengan orang asing.
Hal ini bukan masalah bagi mereka yang tumbuh besar di Swiss, tetapi menjadi tantangan bagi pendatang yang ingin berintegrasi di masyarakat.
Baca Juga: 11 Sisi Gelap Filipina: Fakta Tersembunyi di Balik Keindahan Alamnya yang Memukau
Hambatan sosial ini membuat banyak pendatang merasa kesepian atau sulit menyesuaikan diri.
Meskipun Swiss ramah bagi turis, bagi yang ingin tinggal jangka panjang, tantangan sosial ini menjadi sisi kelam yang cukup sulit diatasi.
10. Bahasa Jermannya Sulit Dipahami
Meskipun bahasa Jerman adalah salah satu bahasa resmi di Swiss, dialek Jerman yang digunakan berbeda dari bahasa Jerman standar.
Bahkan bagi penutur asli bahasa Jerman, memahami bahasa Jerman Swiss bisa menjadi tantangan.
Hal ini menyebabkan pendatang, termasuk yang sudah menguasai bahasa Jerman, tetap mengalami kesulitan berkomunikasi.
Meskipun banyak warga Swiss bisa berbicara bahasa Inggris, kondisi ini membuat pendatang tidak sepenuhnya nyaman karena perbedaan bahasa lokal.
Bagi yang ingin tinggal dalam jangka panjang, kendala bahasa ini dapat menghambat mereka terintegrasi dalam budaya Swiss.
11. Memiliki Masalah Rasisme Sistemik
Meskipun Swiss dikenal sebagai negara yang makmur dan damai, insiden rasisme masih terjadi di beberapa kesempatan.
Salah satu contoh yang menonjol adalah pengalaman Oprah Winfrey pada tahun 2013, di mana ia mengaku diperlakukan secara diskriminatif di sebuah toko mewah di Zurich.
Penolakan Winfrey ini terjadi saat perdebatan politik mengenai rencana beberapa kota di Swiss untuk membatasi akses pencari suaka ke fasilitas umum seperti kolam renang, taman bermain, dan perpustakaan.
Selain itu, laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2022 mengatakan bahwa Swiss masih memiliki masalah rasisme sistematik pada orang-orang keturunan Afrika.
Menurut laporan rasisme yang disusun oleh Komisi Federal terhadap Rasisme bekerja sama dengan organisasi Hak Asasi Manusia dan Jaringan Penasihat Rasisme, ada 876 kasus rasisme yang dilaporkan pada 2023 di Swiss. Angka ini 24% lebih banyak dibandingkan tahun 2022.
Terdapat peningkatan signifikan dalam kasus rasisme anti-Arab (69 laporan), Islamofobia (62 laporan), dan anti-Semitisme (46 laporan).
Namun, angka-angka ini masih jauh di bawah jumlah kasus rasisme anti-Kulit Hitam (327 kasus yang dilaporkan).
Swiss memang dikenal dengan standar hidup tinggi, pemandangan alam yang luar biasa, dan keamanan yang terjamin.
Namun, sisi gelap Swiss ini mengungkap berbagai tantangan yang sering kali tidak terlihat dari luar.
Dari mahalnya biaya hidup, tingginya iuran wajib, hingga tekanan sosial dan bahasa, hidup di Swiss ternyata tidak sesempurna yang terlihat di luar.
Bagi orang asing yang bercita-cita tinggal di Swiss, memahami tantangan ini menjadi langkah penting agar bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik.
Swiss tetap menarik, tetapi penting memahami bahwa di balik keindahannya, ada sisi kelam yang juga perlu diperhitungkan.