Libur 1 Hari dalam 6 Hari Kerja Dibatalkan MK, Dianggap Tak Sesuai UUD 1945

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Libur 1 Hari dalam 6 Hari Kerja Dibatalkan MK, Dianggap Tak Sesuai UUD 1945
Libur 1 Hari dalam 6 Hari Kerja Dibatalkan MK, Dianggap Tak Sesuai UUD 1945. Gambar : Dery Ridwansah/ JawaPos.com

BaperaNews - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/10) menyatakan bahwa Pasal 79 ayat 2 huruf b dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. 

Ketentuan yang memperbolehkan waktu istirahat mingguan satu hari setelah enam hari kerja ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip UUD 1945 dan kehilangan kekuatan hukum. 

MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut harus diubah menjadi "dua hari istirahat untuk lima hari kerja dalam satu minggu."

Putusan ini disampaikan dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, sebagai hasil uji materi UU Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah organisasi pekerja lainnya. 

Dengan putusan ini, aturan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, khususnya ketentuan istirahat mingguan, harus disesuaikan agar tidak lagi bertentangan dengan UUD 1945.

Baca Juga : MK Putuskan Batas Maksimal PKWT dalam UU Cipta Kerja: Tak Lebih dari 5 Tahun

Tujuh Isu Besar dalam Putusan MK terkait UU Cipta Kerja

Dalam sidang uji materi UU Cipta Kerja ini, MK juga menyampaikan pandangannya terhadap tujuh isu besar dalam klaster ketenagakerjaan yang diangkat oleh pemohon, yakni terkait tenaga kerja asing (TKA), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), cuti, pengupahan, pesangon, dan pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Partai Buruh bersama aliansi pekerja menilai bahwa beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja melanggar hak konstitusional pekerja.

  1. Tenaga Kerja Asing (TKA)

MK mengabulkan sebagian permohonan terkait penggunaan TKA. Putusan MK menyebutkan bahwa penggunaan TKA harus memprioritaskan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tidak boleh dilakukan tanpa aturan yang ketat. 

Dengan demikian, frasa “tenaga kerja asing” dalam Pasal 42 ayat 4 harus diubah untuk tetap mengutamakan penggunaan TKI.

  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam Pasal 56 ayat 3 bahwa jangka waktu untuk suatu pekerjaan tertentu tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk jika ada perpanjangan. 

Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pekerja agar tidak terjebak dalam perjanjian kerja tanpa batas waktu yang jelas.

  1. Alih Daya atau Outsourcing

MK menekankan bahwa ketentuan alih daya dalam Pasal 64 ayat 2 harus diatur oleh menteri yang bertanggung jawab untuk memastikan alih daya sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan tertentu. 

Hal ini untuk memastikan bahwa alih daya tidak mengabaikan perlindungan pekerja.

  1. Pengupahan

MK juga mengubah ketentuan terkait pengupahan, termasuk Pasal 88 ayat 1 yang menjamin hak pekerja untuk hidup layak. 

MK menyatakan bahwa penghasilan pekerja harus mencukupi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi. 

Kebijakan pengupahan juga perlu melibatkan dewan pengupahan daerah.

  1. Pesangon dan PHK

Dalam aturan PHK, Mahkamah Konstitusi menegaskan pentingnya perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja untuk menyelesaikan masalah PHK. 

MK menekankan bahwa PHK tidak bisa dilakukan tanpa musyawarah mufakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat 3 dan 4. 

Untuk pesangon, MK menyatakan bahwa Pasal 156 ayat 2 harus memberikan kepastian dengan menentukan besaran minimum hak pekerja.

  1. Ketentuan Baru dalam UU Cipta Kerja

MK juga mengatur ulang sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. 

Beberapa perubahan mencakup aturan tentang upah minimum sektoral, penggunaan indeks tertentu dalam perhitungan upah yang memperhitungkan kontribusi tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi, serta peran aktif dewan pengupahan dalam merumuskan kebijakan pengupahan.

Dalam hal PHK, MK mewajibkan adanya perundingan bipartit yang dilakukan secara musyawarah antara pengusaha dan pekerja. 

Jika musyawarah gagal, PHK hanya dapat dilanjutkan setelah persetujuan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

  1. Implikasi dan Langkah Selanjutnya

Dengan perubahan ini, UU Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja di Indonesia. 

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak konsep “satu hari libur untuk enam hari kerja” mengarah pada penerapan waktu kerja yang lebih sejalan dengan prinsip perlindungan hak pekerja. 

Aturan baru dalam UU Cipta Kerja kini mengatur waktu istirahat mingguan dua hari dalam satu minggu untuk sistem lima hari kerja.

MK juga menginstruksikan agar putusan ini segera dicatat dalam Berita Negara Republik Indonesia, sehingga setiap perubahan ini dapat menjadi panduan bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam menjalankan hubungan ketenagakerjaan yang sesuai dengan konstitusi.

Baca Juga : MK Putuskan Jaksa Tak Bisa Lakukan PK!