Warga Gaza Tolak Evakuasi, Pilih Mati dengan Terhormat
Lebih dari satu juta warga Gaza menghadapi keputusan sulit akibat konflik terbaru. Simak selengkapnya di sini!
BaperaNews - Lebih dari satu juta warga Palestina yang tinggal di Gaza utara saat ini menghadapi situasi yang tak tertahankan. Mereka diberi waktu kurang dari 24 jam oleh Israel untuk evakuasi ke wilayah selatan. Keputusan ini dipicu oleh serangan tak terduga oleh milisi Hamas pada Sabtu, 7 Oktober 2023, yang memicu retaliasi Israel.
Konflik ini telah menyebabkan puluhan ribu warga Gaza bergerak ke selatan sesuai perintah Israel. Namun, sebagian besar dari mereka telah mengungsi beberapa hari sebelumnya, menghindari serangan terus-menerus oleh militer Israel.
Meskipun sejumlah warga telah mematuhi perintah tersebut, ada yang memilih untuk tetap tinggal, menghadapi risiko dan ketidakpastian. Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, mendesak untuk segera memberikan akses kemanusiaan di seluruh Gaza, memastikan bahwa bahan bakar, makanan, dan air tersedia bagi semua yang membutuhkannya.
"Kami membutuhkan akses kemanusiaan segera di seluruh Gaza, sehingga kami bisa mendapatkan bahan bakar, makanan, dan air bagi semua orang yang membutuhkan. Bahkan perang pun ada aturannya," kata Guterres.
Namun, kendala yang sangat besar terjadi kepada penduduk sipil Gaza yang mencoba untuk pindah ke selatan. Gaza adalah salah satu daerah terpadat di dunia, dan dalam waktu kurang dari 24 jam, menggerakkan lebih dari satu juta orang melintasi zona konflik yang sangat padat penduduknya adalah tugas yang hampir mustahil dilakukan.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, memperingatkan bahwa pemindahan paksa ini bisa mengulangi peristiwa 1948, yang disebut Naqba, di mana ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dan diusir dari wilayah yang sekarang menjadi milik Israel. Lebih dari 60 persen penduduk Gaza sudah menjadi pengungsi dari wilayah lain di Palestina.
Namun, banyak warga Gaza yang menolak untuk berpisah, mengingatkan dunia akan sejarah kelam yang pernah mereka alami. Salim Ayoub, seorang penduduk Gaza berusia 65 tahun, mengungkapkan keyakinannya.
Baca Juga: Makin Mencekam, Israel Minta 1,1 Juta Warga Palestina Pergi dalam 24 Jam
"Apa yang terjadi sekarang adalah pengulangan dari apa yang terjadi pada 1948," katanya.
"Saya duduk dan mendiskusikan hal ini dengan anak-anak saya, dan kami memutuskan untuk tidak pergi. Kami tidak akan meninggalkan Gaza utara dan pergi ke selatan karena kami tidak ingin kehilangan tempat tinggal lagi," tambahnya.
Peristiwa 1948, yang juga dikenal sebagai Naqba, mengakibatkan lebih dari 700.000 warga Palestina diasingkan dan hingga hari ini mereka serta keturunan mereka tidak pernah diizinkan kembali. Pengungsi Naqba banyak yang berakhir di Gaza, dan perintah untuk meninggalkan Gaza akan membawa kembali kenangan bersejarah tentang pembersihan etnis.
Abeer Z Barakat adalah salah satu warga Gaza yang bersikeras untuk tidak pergi. Ia memberikan kesaksian tentang keadaan mengerikan yang dialami warga Gaza saat ini, dalam pertemuan telekonferensi virtual. Meskipi rumahnya sudah menjadi target bom, ia memilih untuk mengungsi di salah satu rumah warga di Gaza bagian tengah.
Israel telah menggencarkan serangan militer terhadap Gaza, termasuk penghancuran pembangkit listrik, menyebabkan mereka hidup dalam kegelapan tanpa akses listrik. Tapi Abeer memiliki keberuntungan, karena rumah tempat dia mengungsi dilengkapi dengan listrik tenaga surya yang memungkinkannya untuk terhubung ke konferensi virtual.
Warga Gaza menghadapi pilihan sulit, meninggalkan rumah mereka dan mencoba bertahan hidup di tengah konflik yang tak berkesudahan atau bertahan di tempat, bahkan jika itu berarti berhadapan dengan bahaya yang sangat nyata. Abeer dan keluarganya telah memutuskan untuk tetap, dan mereka mencari ketenangan dalam doa, salat, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
"Ini untuk Masjidil Aqsa, ini untuk Allah SWT. Semoga kami termasuk dalam apa yang dikatakan dalam hadis Rasulullah SAW menjadi orang yang dirahmati," kata Abeer.
Meski warga Gaza yang bertahan berusaha menjalani kehidupan sebaik mungkin, serangan yang berkepanjangan telah menciptakan kondisi yang sangat sulit, terutama bagi anak-anak. Anak-anak yang belum pernah mengalami perang menjadi trauma, sementara yang pernah mengalaminya hidup dalam ketakutan konstan.
Di tengah semua penderitaan ini, panglima militer Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, mengumumkan bahwa sekarang adalah "waktunya perang". Israel telah menyerukan agar warga sipil Kota Gaza pindah ke selatan untuk alasan keamanan, karena mereka berencana untuk melakukan operasi besar-besaran di sana.
Sementara itu, pejabat Hamas mengatakan bahwa peringatan evakuasi adalah propaganda palsu dan mendesak warga Gaza untuk tidak meninggalkan rumah mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa perpindahan seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa menghadirkan konsekuensi kemanusiaan yang menghancurkan.
Saat ini, Gaza adalah tempat tinggal bagi 2,3 juta orang, yang telah dikepung oleh Israel selama beberapa waktu. Serangan Israel di wilayah ini telah menyebabkan korban jiwa di antara warga Palestina, kerusakan infrastruktur, dan penderitaan yang tak tertahankan.
Komunitas internasional terus menyerukan penghentian kekerasan dan mengurangi penderitaan warga sipil, namun situasinya tetap penuh ketidakpastian.
Keputusan warga Gaza yang memilih bertahan dalam kondisi yang sangat sulit ini adalah bentuk keteguhan dan perlawanan yang mengingatkan dunia bahwa mereka tidak ingin mengulangi sejarah kelam yang pernah mereka alami.
Baca Juga: Perang Israel Vs Hamas Melebar, Kini Israel Dapat Serangan Roket dari Suriah