Part 1, Fahd A Rafiq: Papua Kembali Memanas, Begini Cara melihat Konflik di Papua
Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq kali ini membahas tentang bagaimana Freeport dapat digunakan sebagai alat tekan politik dan faktor kemanusiaan dalam situasi Papua.
Ahmad Sofyan (Kontributor) - Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq mengajak kita untuk membahas sebuah isu yang sedang hangat dibicarakan, yaitu Papua. Seperti yang kita ketahui, belakangan ini Papua kembali memanas karena gerakan separatis yang bersenjata menyerang markas TNI dan Polisi.
Namun, sebelum membahas lebih lanjut mengenai hal ini, Fahd A Rafiq mengajak kita untuk melihat siapa pemain global yang terlibat, siapa konco-konconya, dan apa kepentingannya. Hal ini penting agar kita bisa memiliki pemahaman yang lebih utuh tentang situasi di Papua.
Perlu diketahui bahwa dalam mengelola suatu negara, kita harus memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang geopolitik dunia. Kita juga harus memiliki tim pemikir kelas dunia yang solid agar dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi yang kompleks seperti yang terjadi di Papua saat ini.
Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengelola Papua adalah melihat Freeport dari kacamata geopolitik. Jika kita hanya melihat Freeport sebagai faktor ekonomi semata, maka kita akan kehilangan pandangan yang lebih utuh tentang Freeport sebagai alat tekan politik, kacamata geostrategi dunia, dan dari sisi kemanusiaan.
Saat ini, senjata yang paling banyak digunakan oleh pemberontak adalah AR 15 buatan Armalite. Meskipun ukuran pelurunya mirip dengan M16 buatan pabrik colt, namun AR 15 buatan Armalite bukanlah jenis senjata melainkan manufakturnya dan penjualannya yang bermarkas di Phoenix, Arizona. Hal ini menjadi data kunci dalam menganalisis situasi di Papua saat ini.
Namun, perlu diingat bahwa senjata apapun jenisnya, baik itu pistol P1 Pindad ataupun rifle (senjata laras panjang), tidak bisa sembarangan ditembakkan.
Diperlukan latihan dan pembiasaan agar bisa menguasai senjata tersebut. Selain itu, semakin besar kaliber peluru, semakin besar pula hentakannya yang bisa memberikan after effect yang cukup besar.
Seseorang yang mahir dalam analisis memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan dari data dan informasi yang tersedia. Seperti yang diungkapkan oleh Fahd, kemahiran ini bisa didapatkan melalui latihan dan pengalaman yang tidak murah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, kemahiran ini sangat diperlukan dalam berbagai bidang, termasuk di dunia bisnis.
Di sisi lain, penangkapan seorang pilot anggota Gobay di Filipina pada Januari 2023 menunjukkan adanya keberadaan separatis Papua yang masih aktif. Selain membeli senjata AR 15, terdapat fakta lain yang mengindikasikan adanya masuknya senjata dari perbatasan Papua New Guinea melalui jalur tikus yang bercabang dari kepulauan Bougenville.
Hal ini menjadi sangat menarik karena di Bougenville terdapat pangkalan militernya Amerika yang terbesar di Asia Tenggara, dan juga Filipina yang merupakan negara sekutu Amerika. Apakah hal ini hanya kebetulan semata?
Dalam konteks yang lebih luas, Fahd A Rafiq mengungkapkan asal muasal dari perusahaan tambang Freeport yang kini dimiliki oleh Mcmoran yang berkantor pusat di Arizona dan Phoenix sebagai ibu kotanya.
Pada masa lalu, Freeport dijaga oleh Senator Arizona John Mccain, yang merupakan pahlawan perang Amerika. Mcmoran sendiri merupakan salah satu perusahaan penyumbang pajak terbesar di Arizona yang harus dilindungi secara khusus baik melalui politik maupun militer. Menariknya, senjata AR 15 juga diproduksi di Phoenix, di mana Mcmoran memiliki saham Freeport. Apakah ada keterkaitan antara semuanya?
Dalam konteks bisnis, Freeport memegang kontrak dengan Indonesia selama 40 tahun dari tahun 1967 hingga 2017, yang kemudian diperpanjang selama 20 tahun lagi hingga 2037. Emas hasil olahan tembaga dari Freeport diproduksi di Okinawa dan Rio Tinto Spanyol, yang catatan keuangannya dicatat di Kementerian Keuangan Amerika hingga tahun 2037. Semua fakta ini sangat menarik dan perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam konteks bisnis dan politik internasional.
Dalam dunia geopolitik, tidak ada yang sederhana. Setiap tindakan yang diambil oleh suatu negara, baik itu berupa intervensi atau kebijakan ekonomi, pasti memiliki dampak yang sangat signifikan bagi negara lain di sekitarnya. Salah satu contoh yang dapat kita lihat saat ini adalah upaya pengambilalihan tambang tembaga Freeport dan pengolahannya di Indonesia. M
eskipun terlihat sebagai langkah yang menguntungkan bagi Indonesia, namun di balik itu semua terdapat ketidakseimbangan dalam neraca cadangan emas Amerika yang dapat menentang hegemoni Amerika di kawasan ini.
Namun, tak hanya masalah ekonomi yang harus kita perhatikan di kawasan ini. Indonesia juga harus menghadapi tantangan dari dua kelompok yang sangat berbeda, yaitu terorisme berbasis agama dan kelompok separatis bersenjata. Dalam konteks ini, perlu kita pahami bahwa kelompok terorisme tersebut memiliki kaitan erat dengan CIA, sedangkan kelompok separatis bersenjata memiliki kaitan dengan Amerika.
Tentu saja, Amerika tidak akan melakukan intervensi dengan cara yang terang-terangan. Mereka akan menggunakan berbagai cara dan strategi yang tidak dapat dilihat secara langsung, seperti yang dilakukan oleh Blackwater (private army) dan triple canopy yang berbasis di Portugal. Hal ini juga dilakukan oleh Rusia melalui Wagner group yang bermarkas di Argentina dan beroperasi di Afrika, serta memiliki 50.000 tentara di Ukraina.
Oleh karena itu, Indonesia harus memahami dengan baik anatomi musuhnya dan siapa yang memayunginya. Tidak hanya itu, Indonesia juga harus melakukan lobi-lobi yang efektif ke berbagai negara, seperti Amerika, Australia, dan New Zealand, terutama terkait dengan peristiwa sandera kapten Philip pilot Susi Air yang berasal dari New Zealand yang masih belum dibebaskan oleh Tentara Indonesia.
Namun, persoalan yang lebih serius adalah kelompok separatis bersenjata yang terus melakukan serangan di Papua. Bahkan, tentara terlatih (TNI) dapat diserang oleh kelompok tersebut.
Ini menunjukkan bahwa kelompok tersebut memiliki pelatihan dan strategi perang yang sangat baik. Oleh karena itu, Indonesia harus benar-benar memahami musuhnya dan berupaya untuk mengambil tindakan yang tepat.
Di permukaan, kita sering melihat para pejabat antar negara saling sapa dan saling jabat tangan, namun dibalik itu semua, ada bayangan-bayangan yang saling hujat dan saling tusuk. Oleh karena itu, kita harus memiliki kebijakan luar negeri yang bijaksana dan strategis agar dapat menghadapi berbagai tantangan di kawasan ini.
Dalam konteks ini, Indonesia harus mampu mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi kelompok separatis bersenjata dan terorisme berbasis agama. Tidak hanya itu, Indonesia juga harus mampu memperkuat pertahanan dan keamanan negaranya agar dapat menghadapi berbagai ancaman dari luar.
Dalam dunia geostrategi global, terdapat banyak pertarungan hegemoni yang saling berlomba untuk memperebutkan sumber daya alam yang berharga. Tak terkecuali Indonesia, yang memiliki tambang tembaga Freeport yang menjadi incaran banyak negara besar seperti Amerika Serikat dan China.
Namun, ketika ada gerakan untuk mengambil alih tambang tersebut dan mengolahnya di Indonesia, pasti ada ketidakseimbangan dalam neraca cadangan emas Amerika. Hal ini secara tidak langsung menantang hegemoni negeri Paman Sam.
Namun, masalah yang dihadapi Indonesia bukan hanya sekedar isu ekonomi semata. Fahd, seorang analis yang memiliki daya analisa yang luar biasa, memperingatkan bahwa Indonesia akan menghadapi dua masalah besar, yaitu terorisme berbasis agama dan kelompok separatis bersenjata. Kedua masalah ini merupakan ancaman serius yang harus diatasi dengan tegas dan cerdas.
Amerika dan Rusia memiliki pasukan bayaran mereka sendiri, seperti Blackwater dan Wagner Group, yang mungkin saja terlibat dalam konflik Papua. Oleh karena itu, Indonesia harus benar-benar memahami anatomi musuh dan siapa yang memayunginya, serta menjalankan strategi diplomasi yang tepat agar dapat memenangkan pertarungan ini.
Dalam hal ini, lobi bukan hanya dilakukan ke Amerika, tetapi juga ke Australia dan New Zealand jika perlu. Hal ini dilakukan agar Indonesia memiliki dukungan internasional yang kuat dalam menangani masalah Papua.
Kapten Philip, seorang pilot Susi Air yang disandera, adalah warga negara New Zealand yang belum juga dibebaskan oleh Tentara Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki hubungan dengan negara-negara tersebut agar dapat memperoleh dukungan yang diperlukan.
Selain itu, masalah separatisme di Papua juga harus ditangani dengan tegas dan cerdas. Separatis bersenjata melakukan gerakan secara masif menjelang pemilu, sementara pemerintah pusat sibuk dengan urusan politik dalam negeri. Hal ini bisa menjadi celah bagi kelompok separatisme untuk mengambil kesempatan dan menciptakan kekacauan di Papua.
Namun, langkah yang diambil haruslah elegan dan diplomatis, bukan hanya dengan kekerasan semata. Penggunaan kekerasan hanya akan menimbulkan lebih banyak tumpah darah dan mengganggu keamanan masyarakat Papua. Sebaliknya, langkah pragmatisme yang dibungkus dalam narasi yang baik dapat menjadi cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah Papua.
Dalam kesimpulannya, Indonesia perlu memperbaiki diplomasi internasionalnya dan memperkuat posisinya dalam arena geostrategi global. Dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dan cerdas, Indonesia dapat mempertahankan keutuhan wilayahnya serta meraih keberdaulatan yang sesungguhnya.
Penulis : Ahmad Sofyan (Bapera Pusat)