PM Thailand Sretta Thavisin Dilengserkan dari Jabatan Usai Angkat Eks Napi jadi Menteri
Mahkamah Konstitusi Thailand mencopot Srettha Thavisin dari jabatan perdana menteri karena pelanggaran konstitusi.
BaperaNews - Pada Rabu, (14/8), Mahkamah Konstitusi Thailand membuat keputusan yang menghebohkan dengan mencopot Perdana Menteri Srettha Thavisin dari jabatannya.
Keputusan ini diambil setelah Srettha mengangkat seorang mantan pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara ke dalam kabinetnya. Pencopotan ini bukan hanya mengejutkan publik, tetapi juga memperburuk kondisi politik yang sudah tidak stabil di Thailand.
Mahkamah Konstitusi Thailand menjadi sorotan setelah keputusan tegasnya untuk memberhentikan Srettha Thavisin dari jabatan perdana menteri. Srettha, yang sebelumnya merupakan taipan real estate, baru menjabat sebagai perdana menteri kurang dari satu tahun.
Keputusan ini diambil karena Srettha dianggap melanggar konstitusi dengan menunjuk Pichit Chuenban, seorang mantan pengacara yang pernah dipenjara karena kasus suap, ke dalam kabinetnya.
Pemecatan ini menambah panjang daftar perdana menteri Thailand yang diberhentikan oleh keputusan pengadilan dalam 16 tahun terakhir. Mengutip sumber dari The Sundaily, Srettha menjadi perdana menteri Thailand keempat yang mengalami nasib serupa.
Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pengamat politik tentang stabilitas pemerintahan Thailand ke depan.
Baca Juga: Dijanjikan Gaji Rp 150 Juta di Thailand, WNI Malah Disekap di Myanmar
Pencopotan Srettha Thavisin dari jabatannya tidak hanya berpengaruh pada pemerintahan saat ini, tetapi juga memperburuk situasi politik di Thailand yang sudah tidak stabil selama dua dekade terakhir.
Dalam kurun waktu tersebut, Thailand kerap diguncang oleh kudeta militer dan keputusan pengadilan yang menjatuhkan berbagai pemerintahan dan partai politik. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini semakin menambah ketidakpastian, terutama setelah pada pekan sebelumnya, partai oposisi populer, Move Forward, dibubarkan oleh pengadilan.
Pembubaran partai Move Forward dilakukan karena kampanye mereka yang bertujuan mereformasi undang-undang yang dianggap menghina kerajaan.
Hal ini dinilai berisiko merusak monarki konstitusional yang menjadi dasar pemerintahan Thailand. Meskipun demikian, partai tersebut berhasil bergabung kembali dengan nama baru hanya beberapa hari setelah pembubaran.
Partai Pheu Thai, yang dipimpin oleh Srettha Thavisin, telah menjadi korban utama dari gejolak politik di Thailand.
Dalam catatan sejarah politik Thailand, dua pemerintahan partai ini telah digulingkan oleh kudeta. Perseteruan panjang antara keluarga pendiri partai, Shinawatra, dengan saingan mereka di kalangan konservatif dan militer terus berlanjut hingga hari ini.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencopot Srettha juga berpotensi mengguncang gencatan senjata yang rapuh antara Thaksin Shinawatra, tokoh politik utama Thailand, dengan musuh-musuhnya di kalangan elite konservatif dan militer.
Gencatan senjata ini sebelumnya memungkinkan kembalinya Thaksin dari pengasingan selama 15 tahun pada tahun 2023 dan penunjukan sekutunya, Srettha, sebagai perdana menteri pada hari yang sama.
Dengan diberhentikannya Srettha Thavisin, Thailand harus bersiap untuk memilih perdana menteri baru.
Beberapa nama telah muncul sebagai kandidat potensial, termasuk Putri Thaksin yang berusia 37 tahun, Paetongtarn Shinawatra, yang juga merupakan pemimpin partai. Jika terpilih, Paetongtarn akan menjadi perdana menteri ketiga dari keluarga Shinawatra, melanjutkan jejak ayahnya, Thaksin, dan bibinya, Yingluck Shinawatra.
Selain Paetongtarn, nama-nama lain yang muncul sebagai kandidat adalah Menteri Dalam Negeri Anutin Charnvirakul, Menteri Energi Pirapan Salirathavibhaga, dan mantan kepala angkatan darat, Prawit Wongsuwan, yang terlibat dalam dua kudeta terakhir di Thailand.
Baca Juga: Ini Alasan Elon Musk Gagal Buat Pabrik Tesla di Thailand