Fahd A Rafiq Singgung Soal Antropologi Dendam

Fahd A Rafiq mengajak kita semua untuk menghilangkan sikap ego dan saling memaafkan sesama anak bangsa. Supaya tak ada lagi "Antropologi Dendam" sesama anak bangsa

Fahd A Rafiq Singgung Soal Antropologi Dendam

BaperaNews - Majunya sebuah Bangsa dan Negara bisa dilihat dari kompak atau tidaknya sebuah kumpulan Suku, Etnis, dan Agama, khususnya yang ada di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Sejak pilkada DKI Jakarta 2017 terjadi perpecahan antara dua kubu etnis, ada yang mewakili Etnis keturunan Arab dan Etnis Tionghoa, hingga hari ini pun dua kubu tersebut masih mencaci maki dengan sebutan Kadrun dan Cebong. 

Hal tersebut masih berlangsung di dunia maya dan bisa memberikan efek buruk pada kehidupan nyata. 

Melihat perpecahan tersebut, Ketua Umum DPP Bapera, Fahd El Fouz Arafiq menyebut bahwa itu sama halnya dengan Antropologi Bangsa Indonesia, dalam studi yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan Cliver Geertz ada istilah lain yang bisa kita sebut “Antropologi Dendam”. Di dalam islam biasanya disebut dengan istilah Majority with Mentally and Minority. 

Antropologi merupakan ungkapan yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivis Islam di Indonesia, bahwa mereka adalah Mayoritas dengan Mentalitas Minoritas. Istilah itu berasal dari FW Wertheim, tapi aktivis bukanlah kata yang sebenarnya, terlebih seperti Muslim dengan kesadaran dan semangat identitasnya. Apapun intinya, hal tersebut adalah frasa yang sangat masuk akal,” ujar Fahd A Rafiq.

Seperti yang kita ketahui, penduduk Indonesia mayoritas Muslim dan menjadi negara Muslim terbesar di Dunia. Dan kesalehan dianggap sangat serius oleh Muslim dan non-Muslim. 

“Ada argumen di luar sana bahwa Islam di Indonesia tidak masuk hitungan, ini bersumber dari buku The Religion of Java karya Geertz. Namun demikian, meskipun mayoritasnya dominan, mentalitas di antara banyak Muslim Indonesia serupa dengan minoritas, bahwa aspirasi mereka diabaikan, mereka menghadapi diskriminasi sistematis, tidak memiliki politik (atau bahkan, sungguh, sosial ) yang layak,” lanjut Fahd A Rafiq. 

Lanjut Fahd A Rafiq, hal tersebut akan mengarah pada hasil yang aneh dari mayoritas yang dominan Muslim secara numerik dan menuliskan strategi politiknya dalam bahasa minoritas yang tertindas. 

Saat ini, Ilmuwan politik sedang dilatih untuk mencari pola kesamaan dari lintas Negara dan konteks. Menurut Fahd El Fouz Arafiq, konsep mayoritas dengan mentalitas minoritas sebenarnya sangat cocok dengan kasus kekristenan politik di Amerika. 

“Maksud saya ini adalah, sebagai proyek politik, kekristenan di Amerika serikat bergantung pada gagasan bahwa orang Kristen ditekan atau dikecam dengan cara tertentu. Ini terlepas dari adanya kenyataan bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang ekonomi industrinya paling maju di dunia, bahkan seorang Ithaca yang hippy-progresif memiliki lusinan gereja dari setiap denominasi,” imbuh Fahd  A Rafiq. 

“Tetapi tetap saja retorika yang kita dengar bahwa  di Amerika orang Kristen beserta hak-hak nya sedang diserang. Saya pikir iklan ini merangkumnya sempurna,” lanjut Fahd A Rafiq

Berdasarkan informasi di atas, kasus yang sedang terjadi di tanah air ialah adanya sebutan Kadrun dan Cebong. Hal tersebut merupakan strategis halus untuk menciptakan perpecahan sosial yang ditujukan untuk memaksa suatu kelompok agar bisa menyelesaikan suatu masalah dengan cara membentuk koalisi pemenang minuman dan inilah ujian yang sebenarnya “Revolusi Mental” dengan tema Nawacita pada pemerintahan Jokowi. 

Ilmuwan politik menyebutnya sebagai formasi pembelahan endogen. Ini adalah perspektif yang berbeda tentang bagaimana identitas dibentuk. Daniel Posner berargumen bahwa, identitas ganda ada di dalam masyarakat manapun (Agama, Ras, Budaya, Bahasa, dll.), dan identitas yang menonjol secara politis memungkinkan terbentuknya koalisi pemenang minimum. 

Fahd El Fouz Arafiq menyarankan ketika satu identitas tidak menjadi pemenang minimum karena mayoritas agama dominan secara numerik di Indonesia dan Amerika Serikat, maka identitas itu sendiri dibentuk atau disusun kembali sedemikian rupa sehingga menjadi pemenang minimum. 

Oleh karena itu, kita harus belajar memahami bagaimana kelompok-kelompok yang ingin menggunakan agama untuk mencapai kekuasaan politik, dalam pilihan strategi di antara kelompok-kelompok agama yang dominan secara numerik mencoba untuk memajukan platform melalui cara-cara politis. 

Baca Juga : Fahd A Rafiq Ucapkan Selamat Atas Kemenangan Daud Yordan

Saat ini, di USA pembingkaian isu pernikahan gay tidak memberikan hak kepada kelompok yang telah diingkarinya, melainkan mengambil hak dari kelompok yang selalu menikmatinya. 

“Intinya adalah saya pikir kita melihat strategi yang sama di sini.  Kelompok-kelompok yang dominan secara numerik harus menyampaikan tuntutan mereka dalam istilah-istilah yang membuat diri mereka tampak kecil atau berisiko untuk memobilisasi pendukung mereka demi mencapai tujuan. Saya pikir ini konsisten dengan apa yang kita ketahui tentang aksi kolektif dan gerakan sosial dan jenis kondisi yang membuatnya sangat reaktif,” ujar Fahd A Rafiq.

Tak hanya itu, Fahd A Rafiq juga memberikan usulan terkait kasus yang terjadi saat ini.

“Para petinggi negara sebaiknya kembali gelar rembuk dan silaturahmi nasional untuk menyelesaikan persoalan yang membahayakan persatuan Indonesia tersebut. Sikap Negarawan sejati harus di tunjukkan di hadapan publik, hilangkan sikap ego dan saling memaafkan sesama anak bangsa. Jika ada "Antropologi Dendam" sesama anak bangsa harus kita pecahkan bersama,” tegasnya. 

“Menjaga Persatuan Indonesia adalah tugas kita bersama tidak bisa dibebankan begitu saja kepada TNI dan Polri. Dari rangkaian uraian diatas kita kembali pelajari abstraksi social semen bangsa Indonesia. Jangan pernah lelah menjaga persatuan negeri yang  kita cintai ini,” tutup Ketum Bapera Fahd El Fouz Arafiq

Penulis : ASW