Fahd A Rafiq Dukung Penuh Kebijakan Presiden, Soroti Inflasi Dolar yang Mengglobal

Fahd A Rafiq dukung penuh kebijakan Prabowo Subianto untuk ekonomi RI, soroti pentingnya solusi inflasi dolar dan tantangan APBN demi pertumbuhan 8%.

Fahd A Rafiq Dukung Penuh Kebijakan Presiden, Soroti Inflasi Dolar yang Mengglobal
Fahd A Rafiq Dukung Penuh Kebijakan Presiden, Soroti Inflasi Dolar yang Mengglobal. Gambar : BaperaNews/Dok. Istimewa

BaperaNews - Salah satu alasan Indonesia bergabung dalam kelompok BRICS adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS sekaligus keluar dari jebakan kelas menengah (middle-income trap).

"Indonesia terus dibodohi negara-negara asing. Hal tersebut harus segera diakhiri," ujar Ketua Umum DPP BAPERA, Fahd A Rafiq, di Jakarta, Rabu (22/1/2025).

Fahd menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto membutuhkan anggaran sebesar Rp8.000 triliun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.

Target tersebut, menurutnya, merupakan bagian dari grand design ekonomi yang telah dicanangkan oleh presiden kedelapan Republik Indonesia ini.

Namun, International Monetary Fund (IMF) menyatakan pesimisme terhadap rencana tersebut dan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 5% pada periode 2024–2029.

“Target 8% itu sulit dicapai selama masalah keuangan utama Indonesia belum diselesaikan. Keuangan merupakan kunci, namun hingga kini belum ada pihak yang kredibel membongkar akar masalahnya,” lanjut Fahd, mantan Ketua Umum PP-AMPG.

Ia menegaskan, keterbatasan jumlah uang yang dimiliki negara membuat perekonomian sulit bergerak secara optimal, sehingga menghambat ekspansi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Fahd menyarankan agar pemerintah meningkatkan daya beli masyarakat dengan menggandakan rata-rata uang yang dipegang rakyat Indonesia saat ini. Selain itu, jika APBN menjadi instrumen utama penggerak ekonomi, maka nilai APBN juga harus meningkat dua kali lipat dari posisi saat ini.

"Menurut data Bank Indonesia, jumlah uang kartal yang diterbitkan negara hanya Rp954,4 triliun. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kapasitas ekonomi Indonesia," ungkap Fahd.

Baca Juga : Fahd A Rafiq Ungkap 3 Skenario Kondisi Bumi Pasca Perang Dunia III, Gimana Nasib Indonesia?

Ia juga merujuk pada data Kementerian Keuangan yang menyebutkan total belanja negara pada 2025 mencapai Rp3.600 triliun. Namun, Fahd mempertanyakan ketersediaan dana sebesar itu.

"Apakah benar uang APBN itu ada dan bisa digunakan untuk belanja masyarakat? Nyatanya, itu hanya rencana belanja yang belum tentu terealisasi karena keterbatasan uang negara," tambahnya.

Untuk mencapai target Rp7.000–8.000 triliun yang dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, diperlukan terobosan dan pemikiran mendalam.

Fahd mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki niat baik untuk mengentaskan kemiskinan, menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak, membangun 3 juta rumah, menciptakan lapangan kerja, dan melunasi utang rakyat.

Fahd mengajak masyarakat untuk belajar dari Amerika Serikat yang pernah menghadapi krisis lebih parah pada 2008–2009.

Saat itu, Amerika mencetak uang sebesar USD2.000 miliar atau sekitar Rp30.000 triliun untuk menyelesaikan krisis subprime mortgage. Namun, langkah ini tidak terlepas dari risiko inflasi.

“Amerika mengandalkan negara-negara di bawah pengaruhnya untuk menanggung inflasi dolar tersebut. Negara seperti Indonesia dijadikan proyek underlying untuk mendukung pencetakan dolar Amerika,” jelas Fahd.

Ia menyebut praktik ini sudah berlangsung sejak 1971 dan menjadi alasan mengapa negara-negara berkembang seperti Indonesia dilarang mencetak uang dalam jumlah besar.

Menutup pernyataannya, Fahd menyatakan keyakinannya terhadap kemampuan Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya untuk bekerja sama menghadirkan solusi.

“Saat ini, Presiden Prabowo Subianto bersama kabinetnya sedang berjuang menarik investor asing dan melibatkan pihak swasta secara penuh untuk membangun Indonesia di berbagai sektor,” tutup Fahd, yang juga merupakan dosen di salah satu universitas di Malaysia.

Baca Juga : Fahd A Rafiq Analisis Kebakaran Los Angeles: Perang Politik hingga Teknologi Militer