China Rancang Undang-undang Baru, Permudah Pernikahan dan Persulit Perceraian
China mengesahkan undang-undang baru yang memperkenalkan periode "tenang" 30 hari sebelum pasangan dapat mengajukan gugatan cerai.
BaperaNews - Pemerintah China telah merancang undang-undang baru yang memperkenalkan periode "tenang" 30 hari sebelum pasangan dapat mengajukan gugatan cerai, sebuah langkah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah perceraian.
Undang-undang ini, yang disahkan pada Mei 2023 dan mulai berlaku tahun ini, mewajibkan pasangan yang ingin bercerai untuk melewati periode ini, selama salah satu pihak dapat membatalkan perceraian.
Jika pembatalan terjadi, pasangan yang ingin bercerai harus mengajukan gugatan lagi dan memasuki periode "tenang" tambahan 30 hari.
Cheng Xiao, Wakil Presiden dan Profesor Fakultas Hukum Universitas Tsinghua, menjelaskan bahwa undang-undang ini dirancang untuk mengatasi perceraian.
"Mereka mungkin bertengkar tentang urusan keluarga dan bercerai karena kemarahan. Setelah itu, mereka mungkin menyesali keputusan mereka. Kita perlu mencegah perceraian impulsif semacam ini," ujar Cheng kepada The Guardian.
Pihak berwenang berharap bahwa peraturan baru ini dapat menurunkan tingkat perceraian yang telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, beberapa pengamat menilai bahwa undang-undang ini mungkin tidak akan mengatasi masalah mendasar yang menyebabkan perceraian, seperti ketidakbahagiaan dalam pernikahan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Baca Juga: China Buat Drone Jenis Baru, Bentuknya Disamarkan Mirip Burung Kecil
Selama lima belas tahun terakhir, tingkat perceraian di China telah mengalami lonjakan signifikan. Pada tahun 2003, tercatat ada sekitar 1,3 juta perceraian, sedangkan pada tahun 2018, jumlah tersebut meningkat menjadi 4,5 juta.
Meskipun pemerintah berharap undang-undang ini dapat menurunkan angka tersebut, data dari South China Morning Post (SCMP) menunjukkan bahwa calo online justru meraup keuntungan dengan menawarkan slot janji temu dengan pengacara perceraian selama pandemi.
Undang-undang baru ini juga dikatakan memberikan pengecualian dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tetapi sejumlah pengacara berpendapat bahwa praktik ini malah dapat memperburuk situasi bagi korban KDRT.
Zhong Wen, seorang pengacara perceraian di Sichuan, menyatakan bahwa banyak wanita, terutama ibu rumah tangga penuh waktu, mungkin tidak memiliki sumber daya atau dukungan untuk menuntut cerai.
Jika seorang wanita ingin bercerai tetapi pasangan laki-lakinya menolak, wanita tersebut harus mengajukan tuntutan hukum, yang sering kali melibatkan biaya tinggi dan proses yang rumit.