Ranny Fahd A Rafiq: Memperjuangkan Kesehatan Mental untuk Masa Depan Indonesia
Ranny Fahd A Rafiq menyoroti krisis kesehatan mental di Indonesia, mengajak pemerintah untuk serius menangani gangguan mental demi kesehatan bangsa.
BaperaNews - Lebih dari 970 juta orang di seluruh dunia menderita dalam keheningan akibat gangguan mental, yang sering kali tidak terlihat secara fisik. Di Indonesia, data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hampir 20 juta orang dewasa, atau sekitar 7% dari populasi, berjuang dengan masalah kesehatan mental. Hal ini disampaikan oleh Ranny Fahd A Rafiq di Gedung DPR RI pada Senin, (28/10).
Anggota DPR RI yang mewakili Dapil Jawa Barat ini menegaskan, “Sangat mengerikan ketika kita menyadari besarnya angka ini. Itu bukan sekadar statistik, melainkan individu yang menanggung derita di tengah minimnya dukungan dan stigma negatif. Mereka adalah rakyat Indonesia yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah.”
Ranny menambahkan, berdasarkan data WHO tahun 2020, satu dari delapan orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, dan angka tersebut melonjak drastis selama pandemi COVID-19.
"Dampak dari situasi ini sangat mencengkeram. Depresi dan kecemasan semakin marak, menyerang semua kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan, pada tahun 2022, WHO melaporkan bahwa jumlah penderita depresi dan kecemasan global meningkat hingga 25% selama masa pandemi, menunjukkan betapa rentannya manusia di masa sulit ini," ujarnya.
Lebih lanjut, Ranny menyebutkan bahwa satu dari sepuluh orang Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, yang merupakan masalah serius bagi kesehatan bangsa.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hanya ada 773 rumah sakit yang menyediakan layanan kesehatan mental, sementara jumlah psikiater terbatas, sekitar satu psikiater untuk setiap 300.000 orang.
“Realitas ini memaksa banyak orang bertahan dengan pengobatan yang minim, yang justru menambah rasa putus asa. Menurut penelitian WHO, hampir 80% penderita gangguan mental di negara berkembang tidak mendapatkan perawatan yang memadai,” ungkapnya.
Tak hanya itu, sekitar 450.000 orang di Indonesia mengalami gangguan mental berat. Namun, pemahaman masyarakat sering kali mendorong praktik-praktik kuno seperti pemasungan, yang hingga kini masih ada. Laporan Human Rights Watch mencatat lebih dari 57.000 kasus pemasungan di Indonesia pada tahun 2019.
“Angka ini adalah noda hitam yang menunjukkan lemahnya sistem kesehatan mental di negara kita, seolah pemasungan menjadi tontonan,” jelas Ranny.
Di tengah kekayaan budaya Indonesia, terdapat luka yang tersembunyi dan krisis kesehatan mental yang terus menggerogoti jutaan jiwa. Ranny mengungkapkan, “Di mana posisi negara dalam menangani masalah ini?”
Di balik senyum ramah masyarakat, terdapat beban mental yang tak terkatakan, seperti bom waktu yang siap meledak. Gangguan mental di Indonesia bukan lagi masalah kecil yang bisa diabaikan.
“Ini adalah bencana yang perlahan-lahan melumpuhkan, berdampak pada seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Ranny juga menekankan bahwa data Riskesdas 2018 mencatat lebih dari 20 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental, termasuk depresi, kecemasan, dan skizofrenia.
“Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat kesehatan mental, dengan jumlah penderita yang tak kalah mengerikan dibandingkan penyakit fisik,” imbuhnya.
Mirisnya, stigma sosial semakin membuat penderita gangguan mental terjebak dalam ketakutan. Banyak yang memilih bersembunyi dan enggan mencari bantuan karena takut dikucilkan atau dianggap “gila.”
Sebagai saran, Ranny meminta pemerintah, khususnya yang menangani masalah kesehatan jiwa, untuk menangani isu ini dengan serius dan memperbanyak tenaga psikolog dan psikiater.
“Kita tidak akan mampu membangun Indonesia Raya jika jiwanya (mental) sakit,” tutup Ranny.
Baca Juga : Ranny Fahd A Rafiq Soroti Permasalahan Kesehatan dan Penyakit Mematikan di Indonesia
Penulis : ASW