Pemerintah Berencana Larang Pedagang Jualan Rokok di Jarak 200 Meter dari Sekolah

Rencana larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak menuai penolakan dari pedagang kecil.

Pemerintah Berencana Larang Pedagang Jualan Rokok di Jarak 200 Meter dari Sekolah
Pemerintah Berencana Larang Pedagang Jualan Rokok di Jarak 200 Meter dari Sekolah. Gambar : Bungkusrokok

BaperaNews - Pemerintah sedang merencanakan larangan bagi pedagang untuk menjual rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Wacana ini tertuang dalam draf Pasal 434 Huruf e Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Aturan ini langsung menuai penolakan dari berbagai pihak, terutama para pedagang pasar dan warung kelontong yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut.

Ketua Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro, menyatakan bahwa aturan ini akan berdampak besar pada pedagang kecil yang mengandalkan pendapatan harian dari penjualan rokok.

"Di dalamnya mereka juga menjual bahan pokok, ada juga barang-barang yang perputarannya tinggi salah satunya rokok. Jadi kalau RPP ini bicara tentang jarak 200 meter baru boleh jualan, bagaimana mereka bisa hidup?" ungkapnya di Jakarta, Rabu (10/7).

Menurut Suhendro, larangan ini akan mematikan pendapatan sekitar 9 juta pedagang pasar anggota APARSI, dengan potensi kerugian hingga Rp 2,7 triliun.

"Sekarang dengan 9 juta pedagang saja itu omzetnya sudah sangat triliunan. Jadi bisa dibayangkan, hampir 30 persen dari situ. Jadi luar biasa omzet akan besar banget yang akan nge-drop. Buat pedagang ini jualan rokok idolanya, karena cukup laku," lanjutnya.

Wakil Ketua Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI), Hamdan Maulana, juga mengungkapkan kekhawatirannya. Menurutnya, aturan ini bisa membuat 70 persen pedagang warung kelontong tutup lapak karena sekitar 60 persen dari omzet mereka berasal dari penjualan rokok.

Baca Juga: Penjual Bensin Eceran Terbakar Saat Tuangkan Bensin Sambil Merokok

"Ini bisa 70 persen warung kelontong tutup, kalau ini diterapkan. Itu di Indonesia ada sekitar 800 ribu warung kelontong yang masuk di kita, belum yang kemudian tidak kita data karena ada di tempat yang jauh. Jadi dampaknya luar biasa, itu kerugiannya triliunan," tuturnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, mengkritik draf RPP Kesehatan ini karena dianggap mengandung pasal karet yang tidak jelas dalam penghitungan zonasi 200 meter. 

"Bagaimana cara menghitung 200 meternya? Mau pakai meteran? Terus kiblatnya mengarah kemana? Utara, timur, selatan?" katanya di Kantor Aprindo, Jumat (28/6).

Selain itu, Roy juga mempertanyakan definisi pusat pendidikan yang dimaksud dalam aturan ini, yang bisa multitafsir.

"Ada sekolah balet, ada sekolah Bahasa Ingggris, ada sekolah mengemudi, ada bimbel. Pusat pendidikannya apa? Ini juga ambigu, pasal karet," tambahnya.

Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Tutum Rahanta, juga menolak aturan ini karena dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan usaha ritel.

Pada tahun 2023, estimasi total nilai penjualan produk tembakau nasional pada ritel modern mencapai Rp 40 triliun. Aturan ini diperkirakan bisa menghilangkan pendapatan hingga Rp 20 triliun. 

"Jika aturan ini disahkan, maka diperkirakan lebih dari setengah jumlah pendapatan tersebut akan lenyap," kata Tutum, Rabu (3/7).

Tutum juga menyayangkan adanya polemik aturan tembakau di RPP Kesehatan yang dinilai sudah baik dari sisi peraturan dan implementasinya. 

"Aturan yang berlaku saat ini untuk tata cara penjualan rokok itu sudah komprehensif. Dengan memperketat aturan tembakau di RPP Kesehatan, seperti aturan zonasi 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak, ini akan menjadi sangat bias dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan," tegasnya.

Tutum juga melihat aturan ini berpotensi memicu munculnya pasar gelap untuk produk tembakau.

"Kalau diganggu pasti akan berdampak terhadap timbulnya kesempatan lain. Saya kira nanti (akan) timbul (penjualan produk tembakau) di pasar gelap dan membludak. Sehingga pemerintah nanti akan sulit untuk mengontrol peredarannya," imbuhnya.

Dengan berbagai penolakan dan kekhawatiran dari berbagai pihak, terlihat bahwa aturan zonasi 200 meter untuk penjualan rokok masih membutuhkan kajian lebih lanjut.

Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan dampak ekonomi dan keberlangsungan usaha para pedagang kecil sebelum mengambil keputusan akhir. 

Baca Juga: Merokok di Area Terlarang, HRD Marahi dan Sebut Karyawan 'Sampah'