MK Kabulkan Gugatan Buruh, PHK Harus Lewati Proses Hukum Tetap
Mahkamah Konstitusi (MK) setujui gugatan buruh, aturan PHK UU Cipta Kerja diperketat. Kini PHK wajib lewat proses hukum tetap, tidak dapat dilakukan sepihak oleh pengusaha.
BaperaNews - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan buruh terkait Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mencakup aturan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam keputusan tersebut, MK memperketat aturan PHK yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023, yang merupakan hasil dari perubahan UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, setiap PHK harus melewati proses hukum yang jelas dan tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pengusaha.
Putusan ini mengacu pada tiga pasal dalam UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Frasa dalam Pasal 151 ayat 3 yang menyebutkan bahwa PHK dapat dilakukan setelah perundingan bipartit dengan pengusaha dan serikat pekerja dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika diartikan sebagai kewajiban untuk melaksanakan perundingan secara musyawarah untuk mufakat.
Selain itu, frasa dalam Pasal 151 ayat 4 yang menyebutkan PHK dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk mendapatkan keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang menjelaskan bahwa MK melihat adanya perhimpitan norma antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja.
Norma-norma yang ada dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah tersebut dinilai sulit dipahami oleh kalangan buruh atau masyarakat umum. Oleh karena itu, MK meminta pemerintah dan DPR segera menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja.
Baca Juga : MK Kabulkan Sebagian Gugatan Buruh Terkait UU Cipta Kerja, Apa Saja yang Berubah?
Keputusan ini datang setelah buruh mengajukan gugatan terhadap UU Cipta Kerja, yang dianggap mengurangi hak-hak pekerja, termasuk soal PHK, pesangon, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Sebelumnya, MK juga telah mengabulkan 21 gugatan lainnya yang berkaitan dengan aturan-aturan dalam UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh.
Sementara itu, data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2024 hingga Oktober, sekitar 59.796 pekerja telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah PHK terbanyak, yakni 14.501 orang, yang naik 94% dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara Jawa Tengah mengalami penurunan angka PHK sebesar 23,8%, dengan total 11.252 orang yang terkena PHK. Banten juga mengalami kenaikan PHK sebesar 15,47%, dengan 10.524 pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Indah Anggraini, Direktur Jenderal Ketenagakerjaan Kemenaker, menyebutkan bahwa ada beberapa faktor penyebab tingginya angka PHK.
Antara lain, banjirnya barang impor di pasar lokal, efisiensi bisnis, dampak perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI), serta kondisi geopolitik global yang semakin memburuk.
Meskipun begitu, Indah menegaskan bahwa PHK harus dilaksanakan dengan alasan yang jelas dan sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan manajemen.
Ia juga mengingatkan pentingnya dialog antara manajemen dan pekerja untuk menghindari keputusan sepihak yang merugikan pekerja.
Baca Juga : Presiden Prabowo Beri Perintah 4 Menteri untuk Selamatkan Karyawan Sritex dari PHK