MK Kabulkan Sebagian Gugatan Buruh Terkait UU Cipta Kerja, Apa Saja yang Berubah?

MK setujui revisi UU Cipta Kerja untuk perlindungan pekerja Indonesia, termasuk batas PKWT, outsourcing, dan sistem upah minimum.

MK Kabulkan Sebagian Gugatan Buruh Terkait UU Cipta Kerja, Apa Saja yang Berubah?
MK Kabulkan Sebagian Gugatan Buruh Terkait UU Cipta Kerja, Apa Saja yang Berubah?. Gambar : Liputan6/Putu Merta

BaperaNews - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Putusan yang diumumkan pada Jumat (1/11) ini menjadi tonggak penting bagi serikat buruh yang telah mengadvokasi revisi sejumlah aturan dalam UU tersebut.

Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), serta beberapa konfederasi buruh lainnya.

MK menyetujui beberapa perubahan yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan lebih baik bagi pekerja.

Uji materiil UU Cipta Kerja berlangsung hampir satu tahun, dimulai sejak 21 Desember 2023.

Gugatan diajukan terhadap 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU ini. MK menemukan sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakharmonisan dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Menanggapi hal ini, MK memutuskan bahwa ketentuan ketenagakerjaan perlu dipisahkan dari UU Cipta Kerja guna menghindari konflik dengan regulasi lainnya.

Baca Juga: MK Putuskan Batas Maksimal PKWT dalam UU Cipta Kerja: Tak Lebih dari 5 Tahun

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa revisi ini dapat mengatasi ketidakharmonisan aturan ketenagakerjaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta potensi ketidakadilan dalam penerapannya.

Pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru diharapkan dapat memperjelas hak dan perlindungan bagi pekerja.

Perubahan Utama dalam UU Cipta Kerja

MK membagi putusan ini dalam enam klaster berdasarkan dalil permohonan. Beberapa perubahan utama di antaranya mencakup aturan terkait tenaga kerja asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), outsourcing, waktu istirahat, serta pengupahan.

1. Pembatasan Tenaga Kerja Asing (TKA)

MK menyoroti Pasal 42 ayat (4) UU Cipta Kerja yang mengatur perekrutan TKA di Indonesia. MK menyatakan bahwa aturan tersebut tidak secara tegas membatasi jabatan dan jangka waktu kerja TKA, sehingga berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.

MK menekankan perlunya pembatasan ketat untuk jenis pekerjaan dan masa kerja TKA guna mencegah penyalahgunaan.

2. Batasan Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

MK menetapkan bahwa durasi maksimal PKWT adalah lima tahun, termasuk perpanjangan kontrak.

Sebelumnya, UU Cipta Kerja memberi kelonggaran hingga 10 tahun. Aturan ini diharapkan memberikan kepastian bagi pekerja terkait peralihan status dari pekerja kontrak menjadi pegawai tetap setelah lima tahun.

3. Kepastian dalam Sistem Outsourcing

Buruh mengajukan gugatan terkait ketidakjelasan jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui sistem outsourcing.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan bahwa kementerian terkait harus menetapkan daftar pekerjaan yang bisa dialihdayakan, sehingga perjanjian outsourcing memiliki standar yang jelas dan mengurangi potensi konflik.

4. Penegasan Waktu Istirahat

MK menegaskan aturan waktu istirahat bagi pekerja yang bekerja lima hari dalam sepekan, menetapkan hak istirahat dua hari. Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian waktu istirahat bagi pekerja yang bekerja lima hari.

5. Pengembalian Penjelasan Terkait Pengupahan

MK memutuskan bahwa penjelasan terkait frasa "penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak" dalam Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus dikembalikan.

MK menilai bahwa penjelasan tersebut memberikan kepastian terkait pemenuhan kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya, termasuk pangan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

6. Perubahan dalam Sistem Upah Minimum

MK mendukung pengembalian sistem penentuan upah minimum provinsi (UMP) berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Melibatkan dewan pengupahan daerah, sistem ini bertujuan menyesuaikan UMP dengan kondisi daerah masing-masing, mempertimbangkan inflasi, serta kebutuhan pokok pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menyambut baik putusan ini sebagai kemenangan bagi buruh Indonesia.

Ketua Umum DPP KSPSI Mohammad Jumhur Hidayat juga menyatakan bahwa putusan MK memperbaiki ketentuan mengenai PKWT dan sektor upah minimum sektoral.

Namun, ia menilai bahwa perbaikan ini hanya menguatkan beberapa aspek tanpa mengubah keseluruhan UU Cipta Kerja.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan bahwa pemerintah menghormati putusan MK dan akan menindaklanjuti revisi UU Cipta Kerja melalui dialog bersama serikat buruh, asosiasi pengusaha, dan pemangku kepentingan terkait. Dialog ini akan difasilitasi melalui lembaga kerja sama tripartit dan forum lainnya.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menyatakan bahwa keputusan MK dapat menimbulkan ketidakpastian regulasi di sektor ketenagakerjaan, yang berpotensi memengaruhi iklim investasi.

Menurutnya, ketidakpastian regulasi dan kenaikan biaya produksi dapat memengaruhi daya saing, terutama bagi sektor padat karya. Apindo memperingatkan bahwa beban tambahan dari perubahan regulasi ini dapat membatasi kemampuan perusahaan untuk mempertahankan stabilitas produksi.

Baca Juga: Warga Jakarta Ajukan Uji Materi UU ke MK, Minta Bisa Hidup di RI Tanpa Beragama