Klarifikasi BMKG Soal Heboh Gempa Megathrust yang Disebut 'Tinggal Menunggu Waktu'
BMKG mengklarifikasi kekhawatiran tentang gempa Megathrust setelah insiden Nankai.
BaperaNews - Belakangan ini, publik dikejutkan dengan perbincangan yang ramai mengenai potensi gempa Megathrust yang dianggap dapat terjadi sewaktu-waktu. Kehebohan ini bermula dari insiden gempa Megathrust Nankai yang mengguncang Jepang pada Kamis (8/8) dengan kekuatan magnitudo 7,1.
Kejadian tersebut memicu kekhawatiran di Indonesia, terutama terkait potensi gempa serupa di wilayah Indonesia, yang dikenal dengan istilah gempa Megathrust.
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa itu gempa Megathrust. Gempa Megathrust terjadi di zona subduksi, yaitu wilayah di mana dua lempeng tektonik bertemu dan salah satunya bergerak ke bawah lempeng lainnya.
Zona Megathrust ini sangat berbahaya karena bisa memicu gempa besar dan tsunami raksasa, yang dapat menimbulkan kerusakan besar.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyatakan bahwa kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai juga dirasakan oleh para ilmuwan di Indonesia.
Di Indonesia, ada dua zona Megathrust yang perlu diwaspadai, yaitu Megathrust Selat Sunda dengan potensi gempa berkekuatan M 8,7 dan Megathrust Mentawai-Suberut dengan potensi gempa berkekuatan M 8,9. Kedua wilayah ini telah lama tidak mengalami gempa besar, yang disebut sebagai seismic gap, atau kekosongan zona gempa.
Daryono menyebut bahwa gempa di kedua segmen Megathrust ini bisa dikatakan "tinggal menunggu waktu" karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar. Namun, pernyataan ini bukan berarti gempa Megathrust akan terjadi dalam waktu dekat.
Dalam klarifikasinya, Daryono menegaskan bahwa penggunaan kata "tinggal menunggu waktu" tidak berarti gempa Megathrust akan segera terjadi di Indonesia.
Menurut Daryono, "Tinggal menunggu waktu" di sini lebih merujuk pada fakta bahwa segmen-segmen sumber gempa di sekitar Megathrust sudah melepaskan energi mereka, sementara segmen yang disebutkan belum melepaskan energinya.
Daryono juga mengingatkan bahwa hingga saat ini, belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan dan di mana gempa akan terjadi. Oleh karena itu, BMKG tidak bisa memastikan kapan tepatnya gempa Megathrust ini akan terjadi.
"'Tinggal menunggu waktu' bukan berarti segera akan terjadi dalam waktu dekat," ungkap Daryono.
Meskipun potensi gempa Megathrust ada, Daryono menekankan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan. BMKG telah mempersiapkan berbagai sistem untuk menghadapi kemungkinan tersebut.
Salah satunya adalah Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), yang memungkinkan BMKG untuk memodelkan dampak tsunami secara cepat dan menyebarluaskan informasi gempa bumi serta peringatan dini tsunami ke seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, Daryono juga menekankan pentingnya upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami untuk meminimalisir dampak yang mungkin terjadi. Misi BMKG adalah menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana hingga mencapai "zero victim," atau tidak ada korban jiwa.
Daryono juga menyebut bahwa potensi gempa Megathrust sudah terlihat, tetapi belum bisa diprediksi wilayah mana saja yang akan terdampak. Salah satu wilayah yang disebut-sebut berpotensi merasakan dampak gempa Megathrust adalah Jakarta, karena hanya berjarak sekitar 170 kilometer dari pusat Megathrust Selat Sunda.
Selain Jakarta, beberapa daerah lain seperti Banten, Jawa Barat, dan Lampung juga berpotensi merasakan getaran gempa Megathrust ini.
BMKG mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan melanjutkan aktivitas sehari-hari sambil terus memantau informasi yang disediakan oleh BMKG.
Daryono juga menekankan bahwa kemunculan kembali pembahasan soal potensi gempa Megathrust ini bukanlah bentuk peringatan dini yang berarti gempa besar akan segera terjadi. Sebaliknya, ini adalah pengingat agar kita semua lebih serius dalam mempersiapkan upaya mitigasi.
Baca Juga: BMKG Beri Klarifikasi Soal Megathrust Bakal Lumpuhkan Jakarta