Fahd A Rafiq: Miris, Negara Sebesar Indonesia Belum Punya Pembalap yang Bermain Reguler di MotoGP
Fahd A Rafiq menyoroti minimnya pembalap Indonesia di MotoGP, membahas tantangan finansial, infrastruktur, dan dukungan yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan internasional.

BaperaNews - Setelah sepak bola, olahraga yang sangat digandrungi di Indonesia adalah dunia balap motor. MotoGP menjadi topik pembicaraan yang tak ada habisnya di kalangan Gen Z dan Gen Y, bahkan para remaja rela mengeluarkan uang untuk memodifikasi motor mereka agar bisa balapan. Hal ini diungkapkan oleh Fahd A Rafiq di Jakarta pada Jumat (24/1/2025).
Ketua Umum DPP Bapera ini menjelaskan, “Olahraga balap motor sangat digemari di Indonesia karena masyarakat kita memang suka memacu adrenalin dengan kecepatan tinggi di atas sepeda motor. Bisnis modifikasi mesin motor hingga mobil ramai dikunjungi generasi muda yang ingin meningkatkan kapasitas motor mereka. Mereka memilih untuk bore up dan stroke up motor mereka ketimbang membeli motor baru secara kredit. Gen Z ini cenderung tidak ingin pusing soal cicilan motor."
Fenomena maraknya balapan liar dan banyaknya konten di media sosial yang membahas tentang sepeda motor untuk meningkatkan kecepatan mesin menunjukkan betapa gandrungnya generasi muda Indonesia terhadap dunia balap.
ersaingan antar bengkel dalam hal kecepatan mesin dan keahlian para pembalap (joki) menjadi tontonan yang tidak pernah sepi meskipun berisiko karena balapan ilegal.
Ini menandakan bahwa banyak bakat terpendam dalam dunia balap motor yang sangat digemari oleh anak muda Indonesia.
Selain itu, banyak Gen Z yang sangat suka memodifikasi motor mereka sendiri, yang menjadi fenomena langka dari generasi ke generasi. Hal ini juga diakui oleh banyak montir sepeda motor di Indonesia.
Bahkan, beberapa dari mereka rela meninggalkan sekolah untuk mengejar hobi balap mereka. Keberadaan geng motor di Indonesia juga menjadi tempat bagi mereka untuk menyalurkan kecintaan terhadap "kuda besi".
Mereka rela mengeluarkan uang yang besar untuk memiliki motor sesuai ekspektasi, bahkan kadang modifikasi motor bisa tiga kali lipat lebih mahal dari harga motor itu sendiri.
Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah kapan Indonesia akan memiliki pembalap yang tampil secara reguler di MotoGP, Moto2, Moto3, atau Superbike? Walaupun pembalap Indonesia seperti Doni Tata sempat tampil di Moto2, dia gagal naik ke MotoGP karena kendala finansial.
Begitu juga dengan Rio Haryanto yang sempat menjadi pembalap F1, namun hanya bertahan kurang dari satu musim akibat masalah serupa.
Saat ini, Indonesia baru bisa menjadi tuan rumah MotoGP dan Superbike, namun pertanyaannya adalah, mana pembalapnya? Mengapa Indonesia hanya menjadi penonton dan tim pendukung negara lain?
Fakta mencatat bahwa Indonesia sudah lama dikenal sebagai penonton terbanyak di MotoGP. Bahkan, masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan dunia balap motor dan menjadi bahan obrolan hangat di kalangan pecinta sepeda motor.
Dari motor kelas 250cc hingga 1000cc, hingga motor bebek 110cc-200cc, modifikasi motor sudah menjadi budaya populer.
Sebutan "motor oprekan" sangat familiar di telinga generasi muda Indonesia, menandakan bahwa Indonesia sesungguhnya sangat gandrung dengan kecepatan.
Fahd A Rafiq melihat, "Pemuda Indonesia sangat mendalami dunia balap motor, namun wadah untuk menyalurkan bakat mereka sangat terbatas dan tidak terstruktur untuk mengikuti ajang MotoGP."
Untuk bisa menjadi pembalap MotoGP, seorang pembalap harus melewati perjalanan panjang yang terencana sejak kecil. Namun, Indonesia hingga saat ini belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk mencetak pembalap MotoGP.
Negara-negara seperti Spanyol, Italia, dan Jepang memiliki jalur karir yang terstruktur dengan jelas, mulai dari kejuaraan kompetitif hingga level regional seperti FIM, CEV, atau Red Bull Rookies Cup, sebelum akhirnya menuju Moto3, Moto2, dan MotoGP.
Sayangnya, Indonesia belum memiliki jalur karir seperti itu. Pembalap muda berbakat di Indonesia hanya berlaga di kompetisi lokal, seperti one prix atau balapan motor bebek, yang tidak memberikan pengalaman relevan dengan balapan internasional.
Karakteristik motor yang digunakan di kompetisi lokal sangat berbeda dengan motor prototipe Moto3 atau Moto2, sehingga pembalap harus memulai lagi dari nol jika ingin berkompetisi di ajang internasional.
Kesempatan untuk tampil di ajang-ajang bergengsi seperti Red Bull Rookies Cup atau Asia Talent Cup sangat terbatas dan hanya sedikit pembalap yang lolos seleksi. Bahkan, meski lolos, seringkali mereka harus melanjutkan kariernya ke level yang lebih tinggi karena kurangnya dukungan. Di sisi lain, fasilitas latihan yang memadai sangat penting.
Pembalap muda di negara-negara Eropa sudah terbiasa berlatih di sirkuit internasional sejak dini, menggunakan motor prototipe yang mirip dengan motor balap Moto3, sedangkan di Indonesia, sirkuit berstandar internasional masih sangat terbatas, dengan sebagian besar sirkuit lebih cocok untuk balapan motor bebek atau drag race.
Tidak hanya infrastruktur, tetapi faktor ekonomi juga mempengaruhi. Dunia balap adalah dunia yang sangat mahal. Banyak anak muda yang hobi memodifikasi motor rela menghemat pengeluaran mereka untuk motor yang cepat, meskipun hanya dengan makan nasi dan tempe.
Di sisi lain, dengan keterbatasan ekonomi, banyak orang Indonesia yang lebih fokus pada kebutuhan dasar daripada mengurus balap motor, apalagi jika ingin berkompetisi di level yang lebih tinggi, seperti Moto3, yang memerlukan anggaran 5 hingga 8 miliar rupiah per musimnya.
Sayangnya, sponsor lokal lebih tertarik untuk mendanai olahraga dengan daya tarik massa yang lebih besar, seperti sepak bola, daripada mendukung balap motor.
Menurut Doni Tata, seorang pembalap internasional, seorang pembalap hanya bisa bertahan jika mendapat dukungan penuh dari sponsor. Tanpa dukungan tersebut, bakat sebesar apapun tidak akan cukup untuk membuat seorang pembalap Indonesia sukses di ajang internasional.
Di sisi lain, sponsor di Indonesia cenderung menuntut hasil langsung. Sponsor ingin pembalap yang mereka danai langsung juara, tanpa memberi kesempatan bagi mereka untuk berproses.
Tekanan yang terlalu besar membuat pembalap sulit fokus pada tujuan jangka panjang, yaitu konsistensi dan perbaikan berkelanjutan. Konsistensi dalam satu musim yang penuh tantangan akan membawa hasil yang baik jika dilakukan dengan penuh dedikasi.
Untuk memungkinkan pembalap Indonesia tampil di ajang MotoGP dalam waktu singkat, dukungan penuh dari sponsor dan pemerintah sangat dibutuhkan.
Jangan terlalu menuntut juara di awal, fokuslah pada konsistensi. Di level MotoGP, rintangan dan dinamika yang ada sangat berbeda dan lebih kompleks.
Indonesia dikenal sangat politik, dan hasrat politik ini bisa disalurkan untuk mendukung dunia balap motor. Pemerintah dan pihak terkait harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pembalap Indonesia dapat tampil reguler di ajang MotoGP, Moto2, Moto3, dan Superbike, meskipun dengan berbagai kekurangan yang ada.
Fahd A Rafiq mengutip kalimat Presiden Prabowo Subianto, "Kita jangan mau terus-terusan jadi bangsa kalah, kita harus jadi bangsa pemenang." Kalimat ini seharusnya menjadi inspirasi bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia balap motor di Indonesia. Indonesia harus segera mencetak sejarah di ajang MotoGP dalam waktu yang singkat, agar merah putih dapat berkibar di level internasional.
Baca Juga : Fahd A Rafiq Dukung Penuh Kebijakan Presiden, Soroti Inflasi Dolar yang Mengglobal