Fahd A Rafiq Minta Pejabat Indonesia Tak Gaptek, Perang AI Sudah Dimulai
Perang AI global semakin memanas! Fahd A Rafiq soroti dominasi Tiongkok dan tantangan teknologi bagi Indonesia. Apakah RI siap bersaing?

BaperaNews - Perang kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di tingkat global memasuki babak baru. Setelah sebelumnya ramai perbincangan mengenai persaingan chipset global, antara Qualcomm Snapdragon (Amerika Serikat), Dimensity (Taiwan), versus Unisoc dan Kirin (Tiongkok), kini dunia teknologi memasuki fase baru dalam kompetisi AI. Hal ini disampaikan oleh Fahd A Rafiq di Jakarta pada Selasa, (2/2/2025).
Ketua Umum DPP Bapera tersebut mengungkapkan bahwa sebelum lebih jauh membahas startup AI Deepseek, perlu dipahami bahwa perang dagang di dunia gadget semakin ketat, khususnya di Indonesia.
Samsung masih memimpin dalam pengembangan AI, tetapi produk-produknya banyak dijiplak dan disempurnakan oleh merek lain seperti Vivo, Xiaomi, dan Oppo.
Selain itu, penetrasi merek asal Tiongkok di pasar Indonesia semakin agresif, termasuk Honor yang kembali masuk dengan inovasi teknologi yang mengancam kompetitornya.
“Saat ini, Indonesia hanya menjadi penonton dalam kerasnya persaingan pasar smartphone,” ujarnya.
Industri gadget saat ini telah memasuki era chipset dengan teknologi lebih canggih dan efisien untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Snapdragon 8 Elite menjadi chipset terbaru di tahun 2025, yang seharusnya diperuntukkan bagi laptop tetapi kini diintegrasikan ke dalam smartphone.
Teknologi ini mampu meredam panas dengan sangat baik, menjadikannya salah satu terobosan penting dalam industri gadget global.
Mantan Ketua Umum DPP KNPI ini menilai bahwa pasar Indonesia memiliki karakteristik unik, di mana konsumen menginginkan chipset berperforma tinggi, kamera canggih, fitur lengkap, tetapi dengan harga terjangkau.
Hanya merek asal Tiongkok yang berani menawarkan harga murah, sementara merek dari Amerika Serikat dan Korea Selatan semakin terdesak karena menjual produk dengan harga lebih tinggi.
“Samsung, yang tidak memiliki sub-brand, memasarkan produknya di semua segmen harga, dari kelas entry-level hingga flagship. Hal serupa juga dilakukan oleh Xiaomi, Vivo, Oppo, serta perusahaan Transsion Holdings yang membawahi merek seperti Infinix, Itel, dan Tecno. Mereka bersaing di kelas masing-masing untuk menarik minat konsumen dengan harga yang kompetitif namun tetap berkualitas,” tambahnya.
Sementara itu, startup AI Deepseek mengguncang pasar saham Amerika Serikat dengan menyebabkan anjloknya nilai saham hingga 1 triliun dolar hanya dalam satu hari perdagangan.
Hal ini membuat Donald Trump merasa terancam dan mengakui bahwa Amerika berada di ambang kekalahan dalam persaingan teknologi dengan Tiongkok.
Sebagai respons, Trump menggandeng tiga perusahaan raksasa untuk membentuk proyek Stargate, sebuah joint venture senilai 500 miliar dolar.
Proyek ini memiliki nilai 10 kali lipat dari estimasi biaya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 2045 yang mencapai 45 miliar dolar.
“Dunia saat ini telah memasuki perang AI. Dalam beberapa tahun ke depan, berbagai kebutuhan manusia akan dikendalikan oleh AI. Di Tiongkok dan Amerika Serikat, mobil tanpa pengemudi sudah mulai diproduksi secara massal, yang berarti pekerjaan sebagai sopir bisa hilang di masa depan,” jelasnya.
Baca Juga : Fahd A Rafiq: Bahaya Cultural War di Depan Mata, Pemerintah Wajib Lakukan Filter Ketat
Sebelum membahas lebih dalam mengenai Deepseek, Fahd A Rafiq menyoroti strategi Tiongkok dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat.
Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan adalah perang tarif, di mana Tiongkok memanfaatkan tiga negara, Vietnam, Meksiko, dan Kanada, sebagai proxy ekonomi mereka. Melalui strategi ini, Tiongkok membangun pabrik, pelabuhan, dan pergudangan di ketiga negara tersebut sehingga produk mereka dapat diakui sebagai buatan lokal.
“Bagi Trump, lebih baik mengakuisisi Meksiko dan Kanada ke dalam wilayah Amerika Serikat karena lokasi geografisnya yang berdekatan dan besarnya pengaruh Tiongkok di sana. Hal ini juga terlihat dalam kasus TikTok yang dimiliki oleh ByteDance, di mana pemerintah Amerika memaksa perusahaan tersebut untuk melepas 50% kepemilikannya kepada pihak Amerika hanya dalam 75 hari,” ujarnya.
Sebagai respons terhadap kebijakan Trump, Tiongkok meluncurkan AI Deepseek sebagai pesaing ChatGPT dan Gemini. Dampaknya sangat besar, hingga mengguncang pasar saham Silicon Valley pada 20 Januari 2025.
Deepseek, yang berbasis di Hangzhou, Zhejiang, Tiongkok, memperkenalkan Deepseek R1, model AI terbaru yang bersaing dengan ChatGPT, Gemini, Claude, dan Groq.
Dalam berbagai pengujian, Deepseek R1 terbukti memiliki kemampuan yang lebih unggul dibandingkan ChatGPT. Peluncuran ini mengguncang industri AI global, menyebabkan saham Nvidia anjlok hingga 17% dan kerugian sebesar 500 miliar dolar bagi para pemegang sahamnya.
Mengapa Deepseek mampu mengubah lanskap AI global? Menurut Fahd A Rafiq, ada beberapa alasan utama.
Pertama, biaya pengembangannya jauh lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Sebagai perbandingan, ChatGPT membutuhkan lebih dari 600 juta dolar untuk versi awalnya, sementara Google menghabiskan miliaran dolar untuk mengembangkan Gemini. Sebaliknya, Deepseek hanya memerlukan investasi 6 juta dolar untuk membangun infrastrukturnya.
Kedua, biaya penggunaannya jauh lebih murah. Jika ChatGPT memerlukan sekitar 100 dolar untuk penggunaan satu juta token, Deepseek hanya membutuhkan kurang dari 4 dolar untuk jumlah penggunaan yang sama.
Ketiga, Deepseek bersifat open source, memungkinkan pengembang AI di seluruh dunia untuk memodifikasi dan mengadaptasi teknologinya sesuai kebutuhan mereka.
“Deepseek adalah bentuk serangan balik Tiongkok terhadap proyek Stargate yang digagas Donald Trump. Ini adalah momentum bagi para pengembang teknologi informasi di Indonesia untuk belajar dan memanfaatkan peluang dalam pengembangan AI demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat Indonesia,” tutupnya.
Baca Juga : Fahd A Rafiq: Era Presiden Prabowo Subianto adalah Mode Racing, Bukan Lambat