Fahd A Rafiq: Bahaya Cultural War di Depan Mata, Pemerintah Wajib Lakukan Filter Ketat
Fahd A Rafiq peringatkan bahaya cultural war yang mengancam identitas bangsa. Pemerintah diminta segera lakukan filter ketat budaya asing.
BaperaNews - Selain perang ekonomi, teknologi, dan kesehatan, ada satu bentuk peperangan yang jarang dibahas oleh publik Indonesia, yaitu perang budaya atau cultural war. Jika dibiarkan begitu saja, ekspansi budaya asing dapat menggerus identitas bangsa dan menyebabkan devisa negara mengalir ke luar negeri.
Oleh karena itu, pemerintah harus menerapkan filter budaya yang ketat agar Indonesia tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa yang besar. Hal ini disampaikan oleh Fahd A Rafiq di Jakarta pada Sabtu (1/2/2025).
Ketua Umum DPP Bapera menekankan bahwa sebelum membahas lebih jauh mengenai perang budaya yang dilancarkan negara lain terhadap Indonesia, penting untuk memahami konsep School of Thought (sekolah pikiran).
"Kita tidak mengartikan ini dalam konteks akademik, tetapi sebagai perjalanan hidup yang membentuk cara berpikir seseorang. Buku yang dibaca, lingkungan pergaulan, informasi dari media, pengalaman hidup, doktrin agama, serta budaya lokal semuanya berperan dalam membentuk cara berpikir seseorang sebelum ia bertindak," ujarnya.
Lebih lanjut, mantan Ketua Umum DPP KNPI ini menjelaskan bahwa meskipun informasi yang diterima oleh setiap individu mungkin sama, reaksi dan tindakannya akan berbeda tergantung pada latar belakang pemikiran yang dimilikinya.
Ia mencontohkan perbedaan pandangan antara mereka yang hidup di era Cold War (Perang Dingin) dengan generasi masa kini.
Mereka yang mengalami Perang Vietnam atau memahami pentingnya Nation Right (hak bangsa) cenderung memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi yang lebih muda, yang lebih mengutamakan Human Right (hak asasi manusia) karena dipengaruhi oleh doktrin budaya Barat dalam 20 tahun terakhir.
Fahd A Rafiq menyoroti bahwa generasi muda saat ini lebih mengutamakan hak asasi manusia, sementara generasi yang lebih tua, terutama yang berusia di atas 50 tahun, lebih mengedepankan hak bangsa dan keberlanjutan negara.
"Bagi generasi X dan baby boomers, keutuhan negara dan kelangsungan hidup bangsa hingga ribuan tahun ke depan adalah hal yang sangat penting," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa salah satu langkah untuk menjaga budaya nasional adalah dengan mengurangi konsumsi budaya asing seperti K-Pop dan drama Korea (Drakor).
"Mereka bisa saja melarang anak-anak mereka menonton tayangan televisi dari Turki agar devisa negara tidak tersedot ke sana. Mereka juga bisa menghindari budaya seperti Barongsai agar budaya Tiongkok tidak tertanam di benak generasi muda," lanjutnya.
Menurut Fahd, banyak negara menggunakan strategi perang budaya untuk mempengaruhi masyarakat negara lain.
Korea Selatan, misalnya, menyediakan ribuan judul film dan drama secara gratis ke televisi nasional berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal yang sama dilakukan oleh Turki dan China dengan membanjiri televisi nasional dengan tayangan gratis.
Baca Juga : Fahd A Rafiq: Era Presiden Prabowo Subianto adalah Mode Racing, Bukan Lambat
"Akibatnya, jumlah wisatawan Indonesia ke Korea Selatan dan Turki meningkat hingga 100% pada 2016 dan 2017, serta pembelian produk dari negara-negara tersebut juga mengalami lonjakan signifikan," ujarnya.
China saat ini juga aktif memberikan film gratis ke TVRI sebagai bagian dari strategi memperkenalkan budaya Tiongkok kepada masyarakat Indonesia.
"Dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, doktrin cultural war ini akan secara perlahan masuk ke dalam pola pikir generasi muda Indonesia. Banyak yang tidak memahami bahwa ini adalah bagian dari perang budaya dan perang informasi," jelas Fahd.
Ia menyoroti bahwa generasi muda saat ini, khususnya generasi milenial dan Gen Z, sering kali menganggap remeh ancaman cultural war.
"Ketika generasi di atas 50 tahun memperingatkan bahaya perang budaya, generasi muda justru menanggapinya dengan santai dan menganggapnya sebagai sesuatu yang kuno. Mereka menganggap China sebagai teman, tenaga kerja Tiongkok sebagai hal yang wajar, dan budaya asing sebagai sesuatu yang harus diterima," ungkapnya.
Fahd juga mengkritik para pejabat yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ketahanan budaya bangsa.
"Ada sebagian pejabat yang oportunis dan lebih melihat China sebagai peluang bisnis pribadi mereka. Mereka mengabaikan kepentingan bangsa demi memperkaya diri sendiri. Ini adalah tindakan yang tidak pancasilais," tegasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana budaya musyawarah, yang selama ini menjadi ciri khas Indonesia, mulai tergeser oleh budaya voting ala Barat.
"Budaya musyawarah dalam adat istiadat seperti ninik mamak di Minangkabau, musyawarah keluarga di Aceh, serta tradisi musyawarah di Bali dan Papua perlahan mulai menghilang. Kini, semuanya digantikan oleh sistem voting ala Amerika. Apakah ini akibat terlalu banyak menonton film Hollywood?" katanya.
Sebagai penutup, Fahd A Rafiq mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah tegas dalam menghadapi ancaman cultural war.
"Pemerintah harus segera melakukan tindakan dalam tempo sesingkat-singkatnya agar bangsa ini tidak semakin kehilangan identitasnya," ujarnya.
Ia juga mengingatkan para pejabat bahwa menjalankan pemerintahan bukan sekadar bisnis biasa.
"Generasi baby boomers dan generasi X hanya sekitar 35% dari populasi, sementara generasi di bawah 40 tahun mencapai 55-60%. Artinya, siapa yang mengendalikan pola pikir generasi muda saat ini, maka dia yang menentukan masa depan bangsa ini. Dari sini, kita harus memahami bagaimana dunia bekerja dan bagaimana menjaga bangsa ini tetap kuat," tutupnya.
Baca Juga : Fahd A Rafiq: Ekonomi Indonesia dalam 20 Tahun Terakhir Bergantung pada Perspektif dan Kedalaman Analisis