Fahd A Rafiq: Ekonomi Indonesia dalam 20 Tahun Terakhir Bergantung pada Perspektif dan Kedalaman Analisis

Fahd A Rafiq analisis perkembangan ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir, tantangan global, dan strategi "Economic War" hadapi persaingan AS-Tiongkok. Baca selengkapnya!

Fahd A Rafiq: Ekonomi Indonesia dalam 20 Tahun Terakhir Bergantung pada Perspektif dan Kedalaman Analisis
Fahd A Rafiq: Ekonomi Indonesia dalam 20 Tahun Terakhir Bergantung pada Perspektif dan Kedalaman Analisis. Gambar : Instagram/@fahdarafiq

BaperaNews - Perkembangan ekonomi dan keuangan Indonesia dalam dua dekade terakhir bergantung pada cara pandang dan strategi yang diterapkan oleh tim ekonomi negara. 

Bagaimana Indonesia menyikapi dinamika ekonomi global, terutama persaingan dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, menjadi faktor penentu dalam menghadapi tantangan ekonomi.

Hal ini disampaikan oleh Fahd A Rafiq di Jakarta, pada Jumat (31/1/2025).

Ketua Umum DPP Bapera ini menjelaskan bahwa ekonomi di era Presiden Soeharto dapat dikategorikan sebagai ekonomi normal sebelum mengalami guncangan akibat serangan "economic hitman" pada 1997.

“Dalam ekonomi normal, ada siklus boom dan bust, di mana ekonomi bisa naik dan turun. Jika terlalu panas, maka diperlukan pengendalian melalui berbagai instrumen keuangan seperti kenaikan suku bunga, penerbitan surat utang, serta strategi pengetatan kuantitatif lainnya,” ungkapnya.

Fahd menilai bahwa cita-cita Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7-8% akan membawa perubahan strategi dibandingkan era sebelumnya.

Dengan tagline utama "Ekonomi yang Pro Rakyat Kecil", Kabinet Merah Putih diharapkan mampu menghadirkan kebijakan yang lebih inklusif dan berdampak luas.

Dalam situasi ekonomi yang mengalami penurunan berkepanjangan atau lambat, strategi quantitative easing sering digunakan, yakni dengan menurunkan suku bunga dan mempermudah pinjaman guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, Fahd menekankan bahwa penerapan teori ekonomi normal tidak selalu efektif, baik di Indonesia maupun di negara lain. 

“Negara yang dikelola dengan strategi ekonomi normal berpotensi mengalami kelesuan ekonomi jika tidak menyesuaikan pendekatan dengan situasi global,” tambahnya.

Ia juga membandingkan kondisi ekonomi di era Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, meskipun ada kemiripan, strategi SBY masih bergantung pada kebijakan Amerika Serikat.

“Untungnya, saat itu ada boom komoditas yang menyelamatkan ekonomi, terutama di sektor properti dan bisnis lainnya pada periode 2010-2014,” jelas Fahd.

Baca Juga : Fahd A Rafiq: Rakyat Kecil Berharap Presiden Prabowo Jadi Manusia Setengah Dewa dan Amalkan Sila Ke-5 Pancasila Secara Utuh

Tantangan terbesar, menurutnya, muncul setelah era tersebut ketika boom komoditas tidak lagi terjadi. Untuk menggerakkan ekonomi, pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode pertama mengandalkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai motor penggerak ekonomi.

“Fakta mencatat utang BUMN meningkat lima kali lipat dalam empat tahun karena aset yang awalnya hanya digunakan 30% akhirnya meningkat hingga 80%, sehingga hampir habis sumber pendanaannya,” ungkap Fahd.

Pada periode kedua Presiden Joko Widodo, ruang gerak BUMN semakin terbatas, hingga akhirnya meminta bantuan dari McKinsey untuk menyusun strategi baru. Fahd menilai bahwa saat ini, perlu adanya perubahan dalam cara memandang masalah ekonomi Indonesia.

“Sekarang kita bisa menilai kinerja tim ekonomi sebelumnya dalam skala 1 hingga 5. Bagi yang memahami ekonomi, tentu bisa memberikan penilaian,” ujarnya.

Dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini, Fahd menekankan bahwa pertanyaannya bukan sekadar mencari solusi, tetapi memahami apakah kondisi saat ini tergolong normal atau tidak.

“Amerika Serikat dan Tiongkok masih terlibat dalam perang dagang. Dari perspektif intelijen pertahanan, ini tetap dikategorikan sebagai perang, sehingga pendekatan yang digunakan haruslah strategi ‘Economic War’,” jelasnya.

Strategi ‘Economic War’, menurut Fahd, berbeda dengan ekonomi normal. Oleh karena itu, Indonesia harus menerapkan pendekatan luar biasa dan berbasis ilmu yang sudah terbukti.

“Sayangnya, banyak pejabat di masa lalu memiliki pemahaman yang berbeda, sehingga sulit untuk duduk bersama dan membuat perubahan besar bagi negara. Namun, saya yakin Presiden Prabowo Subianto mampu mengatasi hal ini, dan rakyat Indonesia siap melihat gebrakan kebijakan selanjutnya,” tutup Fahd yang juga mengajar di salah satu universitas negeri di Malaysia. 

Baca Juga : Fahd A Rafiq: Miris, Negara Sebesar Indonesia Belum Punya Pembalap yang Bermain Reguler di MotoGP