Memperingati Hari Pers Nasional 9 Februari 2022, Simak Sejarah Lengkapnya!
Mengulik lebih dalam sejarah lahirnya Hari Pers Nasional menjelang peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2022. Simak informasi lengkapnya dibawah!
BaperaNews - Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional atau yang terkenal dengan sebutan HPN, momen tersebut juga bertepatan dengan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Sebagai informasi, PWI sendiri dibentuk pada 9 Februari 1946 di Surakarta yang kemudian menjadikan Tanggal 9 Februari juga diperingati sebagai Hari Pers Nasional atau HPN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.
Keputusan mengenai Hari Pers Nasional tersebut disahkan langsung oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985 yang menyuarakan bahwa pers nasional Indonesia memiliki sejarah perjuangan sekaligus peranan penting dalam pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Simak artikel ini sampai selesai untuk informasi lebih lengkap mengenai sejarah Hari Pers Nasional.
Dalam catatan sejarah dalam mencapai Indonesia merdeka, para wartawan di Indonesia dikenal sebagai pahlawan bangsa beserta para perintis pergerakan di berbagai penjuru tanah air yang memperjuangkan kemerdekaan dan menghapuskan penjajahan.
Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, para wartawan tetap menjalankan peran ganda sebagai aktivis pers sekaligus aktivis politik.
Hingga akhirnya aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia mendapatkan wadah serta wahana yang berada dalam lingkup nasional tepat di tanggal 9 Februari 1946 yang ditandai dengan lahirnya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersamaan dengan Hari Pers Nasional.
Hadirnya PWI di tengah perjuangan Indonesia untuk mempertahankan Republik Indonesia dari berbagai ancaman luar, menggambarkan kebersamaan sekaligus kesatuan wartawan Indonesia dengan tekad dan semangat patriotiknya maju dan membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa Indonesia.
Selain Hari Pers Nasional, Sejarah dari surat kabar dan pers tentu berkaitan satu sama lain dan menjadi hal yang tidak terpisahkan dengan sejarah hadirnya idealisme perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Pada zaman revolusi fisik, sangat terlihat seberapa pentingnya peranan serta eksistensi pers sebagai alat perjuangan.
Yang kemudian terjadinya perkumpulan tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional, guna mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS berkumpul) yang berlokasi di Yogyakarta tepat pada tanggal 8 Juni 1946.
Sebenarnya SPS sendiri terbentuk empat bulan sebelum tanggal 6 Juni 1946, tepat bersamaan dengan terbentuknya PWI dan Hari Pers Nasional di Surakarta 9 Februari 1946.
Hal inilah yang menyebabkan banyak orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”.
Hingga akhirnya tepat pada tanggal 9-10 Februari wartawan dari seluruh Indonesia melakukan perkumpulan yang diadakan di balai pertemuan “Sono Suko” Surakarta.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh berbagai wartawan, seperti tokoh-tokoh pers yang memimpin surat kabar atau majalah, serta wartawan pejuang sekaligus pejuang wartawan, antara lain:
1. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
2. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
3. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
4. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
5. Sudjono (Berdjuang, Malang),
6. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
7. . Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).
8. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
Ke-8 tokoh tersebut didampingi dan dibantu oleh Mr. Sumanang serta Sudarjo Tjokrosisworo.
Mereka memiliki tugas untuk merumuskan hal-ihwal terkait persuratkabaran nasional saat itu serta merencanakan untuk mengkoordinasinya ke dalam satu linkup barisan pers nasional. Dimana surat kabar dan majalah yang terbit pada hari itu memiliki tujuan yang sama yakni menghapuskan sisa-sisa kekuasaan penjajah, mengobarkan semangat revolusi, dengan memberi semangat perlawanan pada seluruh rakyat Indonesia akan bahaya penjajahan, memupuk persatuan nasional, demi keabadian kemerdekaan bangsa sekaligus penegakan kedaulatan rakyat.
10 tokoh di atas juga disebut sebagai “Panitia Usaha” yang Kongres PWI bentuk di Surakarta pada 9-10 Februari 1946.
Pada kesempatan lain tidak jauh dari momen tersebut, Panitia usaha melakukan pertemuan kembali di kota tersebut yang bertepatan dengan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang akan dihadiri oleh para anggota. Sidang komite tersebut berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946.
Setelah 26 tahun berlalu menyusul terbentuknya Serikat Grafika Pers (SGP), yang hadir karena adanya kesulitan yang dialami oleh pengalaman pers nasional pada sektor percetakan di pertengahan tahun 1960-an.
Kesulitan kesulitan yang dialami oleh pengalaman pers nasional usai lahirnya Hari Pers Nasional terus meningkat hingga tahun 1968 yang disebabkan terjadinya penurunan peralatan cetak yang ada di dalam negeri, Dimana di luar Indonesia sendiri sudah menerapkan teknologi grafika mutakhir, yang dimana sistem cetak offset menggantikan sistem cetak letterpress atau yang dikenal dengan proses ‘timah panas’.
Kemudian pada Januari 1968 nota permohonan dengan dukungan SPS dan PWI, dinaikan ke Presiden Soeharto saat itu yang bertujuan agar pemerintah ikut membantu untuk memperbaiki kondisi pers nasional, salah satunya adalah mengatasi pengadaan alat cetak sekaligus bahan baku pers.
Kemudian diadakan Seminar Grafika Pers Nasional ke-1 pada Maret 1974 yang berlokasi di Jakarta.
Hingga akhirnya mimpi untuk membentuk wadah grafika pers SGP dapat terwujud di 13 April 1974. Susunan pengurusnya terdiri ketua yaitu H.G. Rorimpandey, bendahara M.S.L. Tobing, serta anggota-anggota Soekarno Hadi Wibowo dan P.K. Ojong.
terbentuknya SGP juga dikukuhkan dalam kongres pertamanya yang berlokasi di Jakarta, 4-6 Juli 1974.
Sedangkan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) ditunjuk sebagai anggota organisasi pers nasional yang tertera pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 terkait ketentuan Pokok Pers.
Sebelumnya, bidang periklanan diwadahi oleh Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI) yang terbentuk sejak September 1949 serta didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang merupakan milik Belanda.
Kemudian, di tahun 1953 dibentuklah organisasi saingan dengan nama Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) yang berlokasi di Jakarta. Pada tahun selanjutnya kedua organisasi ini memilih bergabung menggunakan nama PBRI.
Kemudian di tahun 1956 F. Berkhout digantikan oleh Muhammad Napis sebagai ketua.
Pada Desember 1972 rapat anggota PBRI digelar dan memilih A.M. Chandra untuk dijadikan ketua yang baru untuk menggantikan posisi Napis. pada kesempatan yang bersamaan nama organisasi pun mengalami perubahan menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Berdasarkan yang tertera pada UU pers tahun 1982, menyebut organisasi periklanan ditetapkan sebagai komponen dari keluarga pers nasional.