Infeksi Bakteri Pemakan Daging Meningkat di Jepang, Puluhan Orang Tewas

Infeksi bakteri pemakan daging atau Streptococcal Toxic Shock Syndrome meningkat pesat di Jepang dan memakan korban jiwa. Baca selengkapnya di sini!

Infeksi Bakteri Pemakan Daging Meningkat di Jepang, Puluhan Orang Tewas
Infeksi Bakteri Pemakan Daging Meningkat di Jepang, Puluhan Orang Tewas. Gambar : Ilustrasi Canva

BaperaNews - Infeksi bakteri pemakan daging atau Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) tengah meningkat pesat di Jepang, menelan puluhan korban jiwa. Hingga 2 Juni 2024, tercatat 977 kasus STSS, sebuah lonjakan signifikan yang terjadi dalam 48 jam terakhir setelah pelonggaran protokol kesehatan pasca pandemi COVID-19.

STSS merupakan infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri *Staphylococcus aureus*, dan saat ini telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat dan tenaga kesehatan di Jepang.

Ken Kikuchi, seorang profesor penyakit menular dari Universitas Kedokteran Wanita Tokyo, menyebut bahwa jumlah kasus bisa mencapai 2.500 pada akhir tahun ini jika tingkat infeksi tetap tinggi.

"Dengan tingkat infeksi saat ini, jumlah kasus di Jepang bisa mencapai 2.500 kasus pada tahun ini, dengan tingkat kematian sebesar 30%," ujar Kikuchi, dikutip dari The Japan Times pada Rabu (19/6).

"Sebagian besar kematian terjadi dalam waktu 48 jam," lanjutnya.

Pada awal tahun 2024, pemerintah Jepang mencatat 145 kasus STSS, kebanyakan menimpa orang dewasa di atas usia 30 tahun. Angka ini menunjukkan peningkatan 2,8 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut laporan NHK.

Kikuchi menjelaskan bahwa lonjakan kasus STSS masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi melemahnya sistem kekebalan tubuh masyarakat pasca pandemi kemungkinan besar berperan dalam peningkatan tersebut.

Penyakit ini dipicu oleh bakteri pemakan daging, Staphylococcus aureus, yang dapat menembus jaringan tubuh dan masuk ke aliran darah, melepaskan racun berbahaya yang memicu respons kekebalan tubuh yang berlebihan.

Baca Juga: Ini Alasan Jepang Sengaja Tutupi Pemandangan Gunung Fuji dengan Kain

Akibatnya, sirkulasi darah terganggu dan organ-organ tubuh tidak berfungsi dengan baik. 

"Kita bisa meningkatkan kekebalan jika terus-menerus terpapar bakteri. Namun, mekanisme itu tidak ada selama pandemi virus Corona," tambah Kikuchi.

Gejala STSS meliputi demam, menggigil, nyeri otot, mual dan muntah, tekanan darah rendah, kegagalan fungsi organ, detak jantung lebih cepat, dan pernapasan tidak normal. Kondisi ini berkembang dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 48 jam setelah gejala pertama muncul.

“Segera setelah seorang pasien merasakan pembengkakan di kaki di pagi hari, pembengkakan tersebut akan meluas hingga ke lutut pada siang hari, dan mereka dapat meninggal dalam waktu 48 jam,” jelas Kikuchi.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengidentifikasi bahwa selain faktor usia, individu dengan luka terbuka atau yang baru saja menjalani operasi memiliki risiko tinggi terkena infeksi STSS. Faktor risiko lainnya termasuk diabetes dan konsumsi alkohol, yang memperbesar kemungkinan infeksi dan komplikasi serius.

Untuk menekan angka kasus STSS, Kikuchi menekankan pentingnya masyarakat beradaptasi dengan keberadaan bakteri Staphylococcus aureus. Namun, adaptasi ini membutuhkan kajian lebih lanjut oleh para ahli agar tidak menimbulkan masalah kesehatan lainnya.

Saat ini, Jepang tengah menghadapi tantangan besar dalam mengendalikan penyebaran infeksi bakteri pemakan daging ini. 

Melonjaknya kasus STSS di Jepang memunculkan kekhawatiran akan potensi penyebaran yang lebih luas, terutama dengan pelonggaran protokol kesehatan.

Kikuchi menggarisbawahi bahwa meningkatkan kekebalan tubuh melalui paparan berkelanjutan terhadap bakteri mungkin menjadi salah satu solusi, tetapi ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif lainnya.

Infeksi STSS, meskipun langka, memiliki tingkat kematian yang tinggi. Dalam kondisi parah, infeksi ini menyebabkan kerusakan jaringan yang signifikan, dan tidak jarang berujung pada amputasi atau kematian mendadak.

Di Jepang, infeksi ini telah menyebabkan kepanikan di kalangan masyarakat, terutama karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan mematikan dalam waktu singkat.

Kebijakan kesehatan masyarakat di Jepang kini difokuskan pada peningkatan kesadaran akan gejala STSS dan pentingnya penanganan medis segera.

Rumah sakit dan fasilitas kesehatan disarankan untuk memperketat langkah-langkah kebersihan dan memantau kasus infeksi dengan lebih saksama. Pasien dengan gejala infeksi harus segera mendapatkan perawatan intensif untuk mengurangi risiko komplikasi fatal.

Baca Juga: Bandara Kansai di Jepang Berhasil Cetak Rekor 30 Tahun Tanpa Kasus Kehilangan Bagasi