Fahd A Rafiq Sarankan Pemerintah Harus Siapkan Counter Strategy Currency Warfare
Fahd A Rafiq menyarankan pemerintah Indonesia untuk segera menyiapkan Counter Strategy Currency Warfare dan berhati-hati jika suatu saat Amerika Serikat melakukan Reset Value terhadap dolar.
BaperaNews - Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq menyarankan pemerintah untuk berhati-hati jika suatu saat Amerika Serikat melakukan Reset Value terhadap dolar. Ia menyarankan bahwa pemerintah harus menyiapkan Counter Strategy Currency Warfare. Seperti yang kita ketahui, cadangan yang laku di dunia internasional selain emas adalah dolar.
Fahd A Rafiq mengatakan, “salah satu syarat menjadi negara besar adalah memiliki kekuatan uang (Currency Domination), pada tahun 1944 Bretton Wood conference menyatakan bahwa dolar adalah ‘World Currency’, dan terbukti hingga saat ini 65% pedagang dunia menggunakan dolar, kemudian 20% transaksi di dunia menggunakan Euro”.
Dolar dan Euro jika digabungkan merupakan 85% transaksi keuangan dunia dan sebagai pengingat Eropa plus bahwa Amerika adalah pemenang perang dunia ke-II.
Yuan China sekarang berusaha untuk mencari jalan agar bisa menyaingi dolar, namun masih jauh untuk menuju kesana. Transaksi dunia yang menggunakan Yuan China hanya 1,7% walaupun barang China menguasai sebesar 60%.
Apakah Yuan China sulit untuk mendominasi hal tersebut? Ini sebenarnya karena devisa China masih menggunakan dolar sebagai cadangannya. Oleh karena itu, China sangat ingin menguasai cadangan emas (metal berharga dunia).
Diketahui, cadangan yang laku di dunia internasional selain dolar adalah emas. Berdasarkan data yang Baperanews.com dapatkan, saat ini cadangan devisa di Tiongkok adalah 3 triliun dolar, sementara Indonesia 120 billion dolar dan yang kebanyakan di Indonesia dolarnya dipegang swasta. Dan 120 billion itu belum diketahui sudah dihitung dengan hutang nasional atau belum.
Di Baltimore (Amerika) sering melakukan simulasi Currency Warfare oleh Pentagon. Simulasi Currency Warfare itu banyak jurusnya. Misalnya, di tahun 1977-1981 dolar dipangkas nilainya hingga 60%.
Dalam taktik perang, dolar tersebut menggunakan strategi yang namanya Dolar Reset Value. Hak tersebut merupakan bagian dari Currency Warfare. Selain mereset valuenya, adalagi strategi lain yaitu dolar fisiknya diganti karena kalau fisik diganti otomatis nilainya juga diganti.
Fahd A Rafiq menjelaskan, “misalnya mata uang dolar sekarang diganti dengan mata uang baru, maka nilainya tinggal 50%. Amerika bisa lakukan hal tersebut dan bisa membuat dolar baru. Bagi Negeri Paman sam tidak ada masalah karena cadangannya 78% (kuat) untuk mencetak uang dolar baru,”
“Dicoba contohnya, dolar lama nilainya menjadi setengah dolar baru (Simulasi reset value 50%). Apa yang terjadi kalau dolar di reset sebesar 50%? Ya ambruk. Aset 120 billion Bangsa Indonesia jadi setengah billion yaitu 60 billion, yang tadinya bisa menghidupi 6 bulan jadi hanya 3 bulan kebutuhan Bangsa Indonesia, dan pasti chaos dimana-mana. Dan apa yang terjadi dengan Tiongkok? Ya sama seperti Indonesia, hanya saja impact-nya tidak sebesar Negeri kita,” lanjut Fahd A Rafiq.
Baca Juga : Fahd A Rafiq : BRI Itu Ide Bung Karno Yang Dimodifikasi Tiongkok
Tak hanya itu, Fahd A Rafiq juga memberikan contoh lain yaitu, “kalau kita hidup punya tabungan besar, kita bisa hidup dari dividen tanpa income bulanan. Tetapi, kita bisa hidup karena tabungan kita besar atau sebaliknya gaji bulanan kita besar, pendapatan lainnya besar dan kita letakkan itu di saham,”
“Properti kita punya Multi Streaming Of Income yang besar. Maka, walaupun tanpa tabungan yang besar, kita tetap hidup yang layak. Jadi, cadangan devisa itu seperti tabungan deposito dan surplus Trade Balance itu Multi Streaming Of Income. Yang menjadi pertanyaan adalah Indonesia memiliki cadangan devisa yang besar atau tidak? Indonesia perdagangannya surplus atau tidak?,” lanjut Fahd A Rafiq.
Saat itu, Currency Warfare ditetapkan oleh USA dengan mereset value dolar dan menerbitkan dolar baru sebesar 50%, maka cadangan devisa China tinggal setengahnya, tetapi karena Trade Balance, dampak surplus China tidak telak seperti Indonesia, kenapa? Karena defisit neraca perdagangan Indonesia minus dan cadangan nya juga kecil, Indonesia akan terpukul jika dolar 50% reset value apalagi dipotong sebesar 80%.
Oleh karena itu, Fahd A Rafiq menyarankan Bapak Ir. Airlangga Hartarto (Ketua Dewan Pembina DPP Bapera) selaku Menko Perekonomian RI untuk mengantisipasi hal ini dengan menyiapkan Counter Strategy Currency Warfare, karena kita tidak ingin hal ini terjadi. Maka dari itu, kita harus punya simulasi sendiri terhadap kekuatan Currency kita, kalau tidak maka bisa ambruk begitu saja.
Fahd A Rafiq juga menyarankan bahwa Indonesia harus lakukan Rupiah Currency Warfare untuk mengantisipasi jika negara lain melakukan Currency Warfare terhadap Indonesia. Intinya, jika Amerika melakukan Currency Warfare, Indonesia harus selamat.
Jika hal ini tidak dijalankan atau disiapkan maka Indonesia bisa terpecah, masyarakat bisa chaos, terjadi konflik horizontal dan Indonesia bisa masuk negara gagal.
“Kita semua masih ingat tahun 1997/1998, ketika itu 1 dolar = 2.500 dan akhirnya dibuat 1 dolar menjadi 20.000 rupiah. Jadi, Indonesia yang punya hutang 250.000 million dolar bengkak menjadi 9000 triliun rupiah. Saat itu Indonesia bangkrut dalam sekejap dan kala itu dolar nilainya dinaikkan 30%,” imbuh Fahd A Rafiq.
Dalam layar simulasi ada nilai Currency Dollar terhadap 190 negara. Bagaimana dengan negara Singapura, Jepang, Tiongkok dan Negara Eropa jika terjadi serangan terhadap mata uang negara mereka masing - masing?
Kembali ke Tiongkok, ketika dolar dinaikkan 30% Tiongkok tidak rubuh. Cadangan yang mereka punya berupa emas sangat banyak dan Yuan China dipakai di beberapa Negara mitra mereka.
Saat nilai dolar dijatuhkan sebesar 50% dan di cut sebesar 80%, ternyata Tiongkok tidak lumpuh di harga dolar. Tiongkok sangat kuat bahkan Amerika saat itu yang rugi besar. Dan Indonesia saat 1 dolar naik 18.000 atau 20.000 yang rusak pemerintahannya, bukan negaranya.
Jadi, Counter Strategy Currency Warfare harus segera disiapkan oleh pemerintah, karena jika USA nekat melakukan hal itu, Persatuan Indonesia bisa menjadi taruhannya.
“Jika kita ingin Indonesia tetap ada sampai hari kiamat. Maka dari itu, tagline Nusantara Bersatu harus menjadi tagline yang kuat dan selalu mengantisipasi ancaman dari luar demi Indonesia tercinta,” tutup Fahd A Rafiq.
Penulis : ASW