Fahd A Rafiq: Kita Harus Bisa Ambil Kembali Pulau Pasir Yang Dirampok Australia

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq mengajak seluruh anak bangsa untuk bisa ambil kembali hak pulau pasir yang sudah dirampok oleh Australia.

Fahd A Rafiq: Kita Harus Bisa Ambil Kembali Pulau Pasir Yang Dirampok Australia
Fahd A Rafiq mengajak seluruh anak bangsa untuk bisa ambil kembali hak pulau pasir yang sudah dirampok oleh Australia. Gambar : Unsplash.com/Dok. Gaddafi Rusli

Ahmad Sofyan (Kontributor) - Sejak adanya MoU antara Indonesia dengan Australia pada tahun 1974, membuat Australia langsung mengklaim pulau pasir sebagai properti Australia. Hal tersebut baru tersadar saat ini tentang kesalahan MoU pada tahun 1974 yang dilakukan oleh Indonesia. 

Kesalahan MoU tersebut harus di lobby secara bilateral antara Indonesia dengan Australia, namun dilakukan dengan cara keras dan harus siap menanggung resikonya. Sudah enam presiden yang menjabat di Indonesia, namun pulau pasir masih belum masuk ke dalam Wilayah Indonesia. 

Sebagai anak bangsa, harus dapat mengambil balik pulau pasir dari tangan Australia. Bahkan, Australia memberikan ancaman berupa tindakan keras yaitu tindakan militer apabila Indonesia macam-macam dengan pulau pasir. 

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq bertanya, “Apakah Indonesia punya nyali diancam seperti itu sama Australia?”

Fahd A Rafiq menjelaskan bahwa hingga saat ini Indonesia belum melakukan tindakan apapun, bahkan latihan perang seperti Rusia yang telah mengelilingi perbatasan Ukraina selama 6 bulan sebelum perang pun Indonesia belum bisa melakukan, atau seperti Tiongkok yang saat ini sedang melangsungkan latihan di tujuh titik untuk mengelilingi Taiwan dengan sasaran roketnya dan dril pasukannya juga belum dilakukan oleh bangsa Indonesia. 

Perlu diketahui, Australia telah meletakkan banyak pasukan di Port of Darwin, di wilayah Australia bagian Utara, hanya untuk latihan. Bahkan, pasukan Amerika juga ada di wilayah tersebut dan diisukan pesawat pembom B 52 milik Amerika sudah berada di Port of Darwin dengan code name; “Latihan gabungan untuk laut China Selatan”. 

“Tapi pastinya, itu untuk ngetes Indonesia juga punya nyali dan kekuatan atau engga untuk mengambil alih pulau pasir yang kaya akan minyak, tapi belum tentu Indonesia berani ambil balik,” ucap Fahd A Rafiq. 

Hal tersebut membuat sebagian masyarakat Indonesia gelisah, sebab pengelolaan negara tentang hubungan luar negeri kurang canggih. 

Baca Juga : Fahd A Rafiq Sarankan Pemerintah Maksimalkan Selat Malaka

Diketahui, Australia memberi nama untuk pulau pasir tersebut adalah Ashmore Reef. Masyarakat Indonesia memang tidak semua tahu tentang pulau pasir, sebab polemik pulau pasir tidak sebesar sipadan dan ligitan yang telah diambil oleh Malaysia dan blok ambalat yang juga konflik dengan Malaysia. 

Letak pulau pasir berjarak sekitar 320 KM dari utara daratan Australia dan hanya memiliki jarak sekitar 140 KM dari selatan pulau Rote, NTT. Berdasarkan catatan dari pre colonial history atau sejarah sebelum colonial, pulau pasir merupakan wilayah yang tergabung dalam Nusantara Indonesia. 

Dalam catatan tersebut juga tertulis pulau pasir menjadi bagian dari traditional fishing area. Tidak hanya pulau pasir, wilayah broome Australia adalah traditional fishing groundnya orang Indonesia, Timor, Ambon dan Makassar yang dikenal sebagai nelayan dan pelaut ulung di zaman pra kolonial hingga saat ini. 

Buktinya adalah banyak artefak sisa dari peradaban penduduk disana, dan itu semua merupakan peninggalan sejarah bangsa Indonesia. Pulau pasir adalah tempat rest areanya para nelayan setelah memancing dan menangkap ikan di perairan di kepulauan pasir tersebut. Kepulauan rote juga sebagai tempat transit perjalanan sisi selatan wilayah Nusa Tenggara oleh warga Indonesia. 

Sebagai informasi, isi dari nota kesepahaman (MoU) tahun 1974 tersebut adalah pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada Australia untuk memonitor pulau pasir sebagai wilayah cagar alam kelautan. 

Namun, terdapat sesuatu hal yang tidak mengenakkan yaitu terjadi alih tangan untuk mengambil hak atas pulau pasir, dan tanpa basa-basi pulau pasir langsung beralih ke tangan Australia. Lalu, pada 1976 pemerintah Australia langsung mengklaim pulau pasir sebagai wilayah resmi milik Australia, termasuk juga wilayah zona ekonomi eksklusifnya. 

“Loh ini ngawur kalau kita diamkan, kezaliman di depan mata kok didiamkan saja,” tegas Fahd A Rafiq. 

Telah tercatat pada 2004 sampai 2010, lebih dari 3.000 nelayan Indonesia ditangkap oleh pihak Australia karena telah sudah berani masuk ke dalam wilayah pulau pasir. 

Menurut Fahd, seharusnya hal tersebut menjadi senjata untuk Indonesia karena tidak memiliki nyali untuk negaranya sendiri, sehingga saat ini para nelayan Indonesia tidak berani untuk melaut dan menangkap ikan di wilayah Indonesia sendiri. 

Pada 2021 kemarin, para nelayan tidak hanya ditangkap, namun kapal milik nelayan Indonesia juga ditenggelamkan oleh polisi coast guardnya Australia karena dianggap sudah melanggar batas negara Australia. 

“Ini bukan hanya menantang langsung. Tapi ini adalah pernyataan perang yang belum ditanggapi secara serius oleh Indonesia, atau belum ditanggapi secara berani. Kita harus ngotot ambil pulau pasir, karena cadangan minyak dan gas yang disedot oleh Australia itu tidak bisa didiamkan. Cadangannya besar sekali disana, bahkan dengan ini kita menyatakan kepada Australia untuk menyetop mengeksplorasi minyak dan gas bumi di perairan dan wilayah zona ekonomi pulau pasir, karena salah satunya di tahun 2009 ada ledakan besar di perusahaan bernama montana oil refinery yang merusak ratusan hektar petani rumput laut yang juga merusak ekosistem sampai wilayah Nusa Tenggara Timur,” tegas Fahd A Rafiq. 

“Hasil laut berkurang drastis, karenanya cadangan minyak bumi di pulau pasir diperkirakan sejumlah 5 juta barel dan ini harus kita ambil balik, jangan mau digoblokin musuh dari selatan Indonesia yaitu pemerintah Australia. Yang jadi pertanyaan berani gak perang sama Australia?” tutup Fahd A Rafiq. 

Baca Juga : Fahd A Rafiq: Kita Harus Teruskan Perjuangan Mochtar Kusumaatmadja

Penulis : Ahmad Sofyan (Bapera Pusat).