Fahd A Rafiq : Kita Bisa Contoh Negara Malta, Solusi Regulasi Perizinan Pembiayaan UMKM yang Rumit di Indonesia
Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq kita bisa menjadikan Negara Malta sebagai contoh untuk solusi regulasi perizinan pembiayaan UMKM di Indonesia yang selama ini sangat rumit.
Ahmad Sofyan (Kontributor) - Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq menyampaikan bahwa Negara Malta cocok dijadikan sebagai alternatif usaha baru Global Company menggunakan basis administrasi perizinan yang super simple, berbasis global yang berada di Eropa Selatan menjadi solusi ringkes, jika bisnis di Indonesia tidak dapat dicerna oleh para regulator sebuah Negara.
“Di Malta mengurus perizinan usaha hanya membutuhkan waktu tidak sampai 5 jam bisa selesai. Hal tersebut harus dibuka ke publik, sebab masih banyak menemukan kesulitan dan aturan kaku tentang regulasi yang niat kita tadinya adalah solusi pembiayaan UMKM dengan kemudahan bisnis, cepat dan tidak memerlukan proses yang begitu rumit,” ucap Fahd A Rafiq.
Seperti dua pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam dua pidatonya di tempat yang terpisah yaitu, ia merasa heran perizinan usaha di Indonesia sangat rumit dan berkepanjangan. Padahal, yang terpenting adalah proses penyelesaian dari perizinan tersebut.
Jokowi minta para Kepala Daerah untuk mendorong pelaku usaha mikro, kecil dan menengah agar mempunyai izin usaha atau nomor induk berusaha (NIB). Jokowi juga menargetkan pada tahun 2023 ini pemerintah dapat mengeluarkan 100.000 izin usaha/hari, dari angka 7.000-8.000/hari di tahun 2022.
Sebab, dalam waktu dekat pusat usaha dunia akan beralih ke benua Asia dan Indonesia perlu menjadi Centre of Gravity tesnya. Namun, izin usaha tersebut untuk global tidak lagi lokal.
Sebagai informasi, kini batas setiap Negara untuk berdagang tidak lagi memiliki batasan karena sudah memasuki era globalisasi, jika perizinan usaha dan modal sering bertabrakan dengan regulasi yang kaku, tua dan administratif, maka dipastikan urusan ekonomi Indonesia akan kalah jauh dengan Negara lain.
Fahd A Rafiq menjelaskan, “Masih banyak keluhan dari pelaku usaha khususnya UMKM tentang perizinan dan akses modal yang rumitnya bukan main, tidak heran jika dunia memberi level tingkat kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia adalah rangking 70 dunia, rendah sekali. Menjalankan bisnis baru di Indonesia lebih susah dibandingkan dengan bisnis yang sudah ada.”
Perlu diketahui bersama, untuk kemudahan berusaha di ASEAN masih ditempati oleh Singapura, bahkan Negeri Lion City ini mendapat rangking pertama di dunia tentang urusan kemudahan regulasi dalam menjalankan bisnis atau usaha.
“Jadi Indonesia ada diperingkat berapa? kita hanya di peringkat ke 6, jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand dan Vietnam. Keluh kesah para pelaku usaha khususnya UMKM yang susah mendapatkan kemudahan izin usaha, apalagi tentang bisnis yang mendisrupsi, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dipahami pemegang regulasi tersebut,” ungkap Fahd A Rafiq dengan nada heran.
“Bisnis harus menyesuaikan zaman karena modelnya sudah canggih, sementara di Indonesia harus ada modelnya terlebih dahulu yang sudah terbukti berhasil dan sukses. Kalau cara mainnya begitu, kita lihat Google, Facebook, WhatsApp, Apple Pay, Pc Komputer tidak ada referensinya semuanya disruptor. Detailnya di Indonesia lain lagi harus sama dengan yang ada pokoknya tidak boleh beda. Model bisnis harus ikut aturan regulator dan pemahamannya itu salah karena sudah tidak sesuai zaman,” pungkas Fahd A Rafiq.
“Kita semua tahu, pasar itu selalu bergeser, bisnis itu sifatnya fluktuatif, tidak ikut perkembangan zaman ya tergilas lah, maka bisnis modelnya harus di geser tapi faktanya tidak semudah itu. Artinya kita ketinggalan jauh. Disrupsi itu no rule yang penting tidak ada pihak yang dirugikan, harga semakin murah, mutu semakin tinggi, pasar semakin kompetitif, less for more model bisnisnya. Harga murah mutu semakin tinggi, benefit sebesar besarnya ditangan konsumen dan menguntungkan dari sisi pengusaha,” tutup Fahd A Rafiq.
Penulis : Ahmad Sofyan (Bapera Pusat).