Ini Alasan Warga Aceh Tolak Kedatangan Imigran Rohingya
Penolakan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh, khususnya di Bireuen, menuai kritik terhadap kurangnya mekanisme penanganan yang komprehensif dari pemerintah.
BaperaNews - Setelah aksi patroli oleh TNI Angkatan Laut untuk mencegah kapal pengangkut imigran Rohingya masuk ke Aceh sebulan yang lalu, kini muncul laporan tentang penolakan terhadap imigran Rohingya yang mendarat di Bireuen.
Kapal pengangkut puluhan imigran Rohingya memasuki gelombang ketiga kedatangan dalam sepekan ini, penolakan terjadi di antara warga setempat.
Pada Kamis (16/11), kapal pengangkut tersebut berlabuh di Pantai Kuala Pawoen, Desa Pante Sukon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen.
Sebelumnya, gelombang pertama tiba pada Selasa (14/11) di Pantai Kulee, Kecamatan Muara Tiga, Pidie, dengan jumlah 200 imigran, diikuti gelombang kedua di Desa Pasie Meurandeh, Kecamatan Batee, Pidie, membawa 174 imigran Rohingya.
Warga setempat, awalnya, memberikan bantuan seperti makanan dan minuman kepada para imigran sebelum memerintahkan mereka kembali naik ke atas kapal.
Menurut Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna, penolakan tersebut dipicu oleh kurangnya mekanisme komprehensif dari pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi luar negeri di Aceh.
Baca Juga : Menarik, Bendahara Kelas di Aceh Tarik Uang Kas Pakai QRIS
Azharul mengkritik bahwa penanganan pengungsi di Aceh terkesan diabaikan tanpa supervisi, sejalan dengan Perpres 125/2016 yang seharusnya memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk akses mencari suaka.
Di dalam Perpres tersebut, terdapat pasal 17 sampai 18 yang menegaskan kewajiban Basarnas untuk memberikan pertolongan dan mengatur koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat ketika para pengungsi mendarat. Namun, penolakan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat belum sepenuhnya melibatkan diri dalam penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
Azharul menyatakan bahwa penolakan dan pengembalian para pengungsi ke perairan melanggar prinsip 'non-refoulement,' yang merupakan kewajiban internasional bagi setiap negara. Ia menilai bahwa Pemerintah Indonesia tampaknya membiarkan Aceh menangani situasi ini sendiri, bertentangan dengan semangat Perpres 125/2016.
Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh dipicu oleh kondisi sulit yang dihadapi oleh etnis Rohingya. Etnis ini adalah kelompok minoritas yang sebagian besar tinggal di bagian Rakhine (Arakan) di Myanmar. Mereka sering dianggap sebagai kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Perjuangan hidup di Bangladesh, tempat banyak Rohingya menumpang hidup setelah terusir dari Myanmar, membuat mereka mencari harapan hidup lebih baik. Kemiskinan dan membeludaknya populasi di Bangladesh menyebabkan pengungsi Rohingya tidak dapat diterima sebagai tamu terhormat di kamp-kamp pengungsian di sana.
Perahu-perahu pengangkut Rohingya kemudian melintasi perairan Laut Andaman dan Selat Malaka, tempat tiga negara, yakni Thailand, Malaysia, dan Indonesia, bertemu. Sejak beberapa tahun lalu, Aceh menjadi tempat yang sering dilabuhinya perahu-perahu imigran ini.
Meskipun Aceh dikenal sebagai daerah dengan "tangan terbuka" dalam menangani pengungsi Rohingya, belakangan ini terdapat jejak penolakan. Azharul Husna menyoroti perlunya ratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi untuk memberikan pedoman yang jelas dalam penanganan imigran Rohingya di Aceh.
"Otoritas di Provinsi Aceh perlu mengambil langkah maju dengan menerbitkan qanun terkait penanganan pengungsi," kata Azharul, mengingat Aceh adalah daerah keistimewaan dengan sejarah keramahtamahan terhadap pengungsi Rohingya.
Baca Juga : Makam Dibongkar OTK di Aceh, Begini Faktanya