Fahd A Rafiq Bicara Tentang Filosofi Ketupat, Janur, dan Turunan Sunan Kalijaga

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq kali ini akan membahas tentang filosofi ketupat, janur, dan turunan Sunan Kalijaga. 

Fahd A Rafiq Bicara Tentang Filosofi Ketupat, Janur, dan Turunan Sunan Kalijaga
Filosofi Ketupat, Janur, dan Turunan Sunan Kalijaga. Gambar : Unsplash.com/Dok. Mufid Majnun

Ahmad Sofyan (Kontributor) - Halal Bi Halal menjadi budaya bangsa Indonesia khususnya di bulan Syawal, kebiasaan indah tersebut perlu dipelihara sebagai unsur landasan persatuan.

Sunan Kalijaga mempromosikan hal tersebut yang berarti bahwa setiap manusia tidak luput dari salah dan dosa. 

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq kali ini akan membahas tentang filosofi ketupat, janur, dan turunan Sunan Kalijaga. 

Ketupat berasal dari kata “Ngaku Lepat (mengakui salah)” dan “Laku lapat” yang merupakan empat perilaku lebaran, leburan, dan larutan. 

“Siapa yang membuat makanan bersimbol dan berfilosofi tersebut? Ya, Sunan Kalijaga. Raden Mas Syahid adalah salah satu dari 9 wali yang membuat simbol tersebut, beliau membuat makanan bernama ketupat yang kita kenal hingga saat ini,” ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Minggu (23/4). 

Sunan Kalijaga memperkenalkan ketupat secara tradisi sebagai bentuk akulturasi budaya. Akulturasi budaya ialah campuran dua budaya atau lebih yang saling mempengaruhi agar diterima menjadi budaya baru yang lebih cocok dengan kehidupan lokal.

Sementara “Ngaku Lepat” artinya adalah mengakui kesalahan yang diwujudkan dengan tradisi sungkeman. Laku papat memiliki empat makna yakni lebaran (telah usai menjalankan ujian iman atau selesai puasa, luberan (berkelimpahan yang disimbolkan dengan berbagai zakat fitrah dan mal, leburan (melebur semua dosa dengan puasa), laburan (melabur, membuang, dan menutupi masa lalu yang sudah bersih). 

“Sunan Kalijaga mengingatkan kalimat panjang filosofi Jawa pada makna kata ketupat yaitu “Kiblat Papat Limo Pancer” punya banyak arti salah satunya adalah 4 arah mata angin dan yang kelima bersatu pusat menuju Gusti Allah,” jelas Fahd A Rafiq. 

Lalu kapan acara kupatan tersebut dilaksanakan? yaitu ketika awal bulan Syawal (Sebulan setelah Ramadhan penuh berpuasa) kembali fitrah suci di awal Syawal. 

Membuat ketupat menggunakan daun kelapa muda atau dikenal dengan sebutan daun janur. Kata “Janur” merupakan singkatan dari bahasa Arab “Jaa a Al Nur” yang memiliki arti telah datang cahaya hidayah. Daun janur di rebus dan ketika dihidangkan seringnya dicampur dengan makanan yang dimasak dengan santan, seperti opor. 

“Kita dalami lagi kata santan, santan itu menyimbolkan kata dalam bahasa Jawa ngapunten yang berarti minta maaf. Ketupat daun janur ini dianyam bersilang silang adalah simbol harapan penguatan jiwa dan raga, bersilang silang agar kuat yang kemudian direbus dan nanti kita makan saat Syawal. Kita potong dua, di tengahnya putih sebuah simbol sucinya iman yang telah dibersihkan selama Ramadhan,” pungkas Fahd A Rafiq. 

Semua makanan yang diciptakan oleh para wali memiliki falsafah, bahkan sebelum puasa tradisi sesama tetangga kita saling memberikan kue apem yang berasal dari kata bahasa Arab “Mafhum” yakni saling memahami. 

Pada awal puasa masing-masing memahami dirinya akan masuk ke bulan spiritual untuk kemudian meminta maaf dan izin dengan saling memberikan mafhum dan saling paham satu sama lain. 

Terdapat sebuah kalimat yang hampir diucapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia saat menyambut hari Lebaran ialah “Minal Aidin Wal Faidzin”. Kalimat tersebut dipopulerkan oleh Presiden RI ke-1 yakni Ir. Soekarno pada tahun 1958. 

Kalimat tersebut berarti bukan mohon maaf lahir dan batin, namun artinya adalah semoga Allah menerima amalan yang telah dilakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali fitrah dan mendapatkan kemenangan.

Dari ucapan Soekarno tersebutlah kalimat “Minal Aidin Wal Faidzin” menjadi kalimat wajib kaum muslimin di Indonesia dan populer sejak tahun 1958 dan diucapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia hingga saat ini. 

Juga kalimat halal bi halal yang telah menjadi bagian budaya Indonesia di bulan Syawal, tidak cukup hanya saling mengucapkan Minal Aidin Wal Faidzin, kebiasaan indah tersebut terpelihara hingga saat ini.

“Tradisi Syawal bersilaturahmi ke sesama handai taulan dan saudara, salam alaika,” tutup Fahd A Rafiq. 

Penulis : Ahmad Sofyan (Bapera Pusat).