DPR Sahkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Sidang Paripurna

DPR RI resmi mengesahkan RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang. Baca selengkapnya di sini!

DPR Sahkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Sidang Paripurna
DPR Sahkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Sidang Paripurna. Gambar : Dok. DPR

BaperaNews - Dalam rapat paripurna ke-19 masa persidangan V tahun sidang 2023-2024, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi Undang-Undang (RUU KIA).

Pengesahan dilakukan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (4/6), dengan Ketua DPR Puan Maharani mengetukkan palu sebagai tanda persetujuan. RUU ini membawa sejumlah perubahan signifikan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, menjelaskan bahwa ada lima pokok pengaturan yang disepakati parlemen dengan pemerintah dalam RUU tersebut. Pertama, perubahan judul dari RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Kehidupan.

Perubahan judul ini mencerminkan fokus utama undang-undang baru tersebut pada seribu hari pertama kehidupan anak yang dianggap sebagai periode krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Kedua, penetapan definisi anak khusus dan definisi anak pada seribu hari kehidupan. Definisi ini penting untuk memberikan kerangka yang jelas tentang siapa yang termasuk dalam kategori anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sehingga kebijakan dan program yang disusun dapat tepat sasaran.

Ketiga, perumusan cuti bagi ibu pekerja yang melahirkan. Dalam aturan baru ini, ibu pekerja bisa mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama enam bulan apabila terdapat kondisi khusus yang disertai dengan surat keterangan dokter.

Ini merupakan peningkatan dari aturan sebelumnya dalam Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yang hanya memberikan cuti bersalin maksimal tiga bulan. Dengan aturan baru ini, ibu pekerja diharapkan bisa mendapatkan waktu lebih panjang untuk pemulihan dan perawatan anak setelah melahirkan, khususnya bagi mereka yang membutuhkan perhatian medis lebih intensif.

Baca Juga: Calvin Verdonk dan Jens Raven Disetujui Komisi III DPR untuk Dinaturalisasi

Keempat, perumusan cuti bagi suami yang mendampingi istri dalam persalinan. Suami kini berhak mendapatkan cuti dua hari untuk mendampingi istri melahirkan, dan dapat diberikan tambahan tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja.

Selain itu, suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran juga berhak mendapat cuti dua hari. Aturan ini merupakan peningkatan dari Pasal 93 ayat (4) huruf e UU Ketenagakerjaan, yang hanya memberikan cuti dua hari untuk suami yang mendampingi istri melahirkan atau mengalami keguguran.

Kelima, perumusan tanggung jawab ibu, ayah, dan keluarga pada fase seribu hari pertama kehidupan. RUU ini juga menetapkan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut.

Ini diharapkan dapat memastikan implementasi yang efektif dan berkelanjutan dari berbagai program yang mendukung kesejahteraan ibu dan anak.

Pengesahan RUU ini merupakan langkah penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia. Dengan perubahan signifikan dalam aturan cuti bagi ibu dan suami, serta penetapan tanggung jawab yang jelas bagi semua pihak terkait, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan anak pada seribu hari pertama kehidupannya.

DPR dan pemerintah kini memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengembangkan berbagai program dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan ibu dan anak.

RUU ini juga mencerminkan komitmen DPR dan pemerintah dalam memberikan perhatian khusus pada fase kritis kehidupan anak. Seribu hari pertama kehidupan, yang mencakup periode dari kehamilan hingga anak berusia dua tahun, adalah masa penting yang menentukan kualitas kesehatan, pertumbuhan fisik, dan perkembangan kognitif anak.

Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan akan ada peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, gizi, dan pendidikan yang berkualitas bagi ibu dan anak.

Selain itu, RUU ini juga menunjukkan pentingnya peran keluarga dalam mendukung kesejahteraan anak. Dengan memberikan cuti yang lebih panjang bagi ibu dan cuti tambahan bagi suami, undang-undang ini mengakui pentingnya keterlibatan kedua orang tua dalam mendampingi anak pada fase awal kehidupannya.

Hal ini diharapkan dapat mendorong partisipasi aktif dari ayah dalam pengasuhan anak dan membantu menciptakan keseimbangan peran dalam keluarga.

Baca Juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Gubernur Jakarta Dipilih Lewat Pilkada