Fahd A Rafiq Sarankan Pemerintah Perhatikan Kesejahteraan Para Jurnalis
Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq menyarankan agar pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan para jurnalis media Indonesia.
Ahmad Sofyan (Kontributor) - Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq menyampaikan bahwa sari pati dari kebebasan pers itu self righting process (proses memperbaiki diri) yang dialami oleh setiap individu, yang ujungnya dapat menilai, memilih, dan menentukan yang disampaikan oleh media massa.
“Sisi mana yang kurang dan harus kita bisa perbaiki karena di Negara penganut Demokrasi, usulan dan saran itu sangat penting dan bisa melihat dari berbagai perspektif mana yang kurang rapi agar bisa diperbaiki,” ucap Fahd A Rafiq di Jakarta, pada Senin (13/3).
Perlu diketahui, setiap ide dan gagasan memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan sehingga yang benar dan dipercaya memiliki kesempatan untuk dikembangkan. Meningkatkan kualitas SDM instrumen paling baik adalah pencerahan yang menghangatkan karena kita sebagai makhluk rasional, moral dan sosial membutuhkan ide dan inovasi yang baru.
Pada kenyataannya, terdapat beberapa perbedaan dalam menyampaikan kritik dan saran, khususnya media massa. Hal tersebut sangat bergantung dengan kualitas dari SDM, soft atau hard dalam melihat isu dan situasi yang terjadi.
“Ada yang menggunakan kalimat sarkas dan mengkritik tanpa solusi, ada yang memberikan saran dengan narasi-narasi yang mencerdaskan berdasarkan data dan sejarah dengan bahasa yang mencerahkan, ada lagi yang memberikan saran dan kritik dengan terbawa suasana euphoria isu tersebut sehingga melihatnya lebih emosional,” jelas Fahd A Rafiq.
Fahd A Rafiq memahami bahwa menjadi seorang jurnalis bukanlah sebuah perkara mudah, sebab dibutuhkan passion yang hebat dalam hal kesungguhan menggali informasi bahkan ada yang mencari tanggapan dari para analis untuk dicari benang merahnya dari isu-isu aktual yang tengah ramai diperbincangkan oleh publik.
“Suka atau tidak suka profesi jurnalis lah yang dapat mengangkat seseorang dan media menjadi pilar ke 4 setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam kemajuan suatu Negara,” terang Fahd A Rafiq.
Fahd A Rafiq melihat, tiga masalah utama pers Indonesia yaitu soal kesejahteraan para jurnalis, kekerasan dan akses Informasi bagi kaum difabel. Fahd A Rafiq yakin tiga hal diatas tersebut pasti memiliki penyebab.
“Kesejahteraan para jurnalis menjadi kunci penting karena berkaitan dengan profesionalitas dan independensi. Jika para Jurnalis Sejahtera maka gerbang Untuk mencapai Indonesia maju itu sudah di depan mata, karena merekalah yang menulis informasi dan menyebarkannya ke publik. Menulis itu soal skill loh, butuh konsentrasi dan ketelitian,” ungkapnya.
Kekerasan terhadap Jurnalis diawali oleh tidak sejahteranya para kuli tinta ini sehingga agar dapurnya ngebul harus melawan kode etik jurnalistik yang telah ditentukan. saya searching di Google banyak oknum wartawan melakukan pemerasan dan nekat mencatut nama pers untuk memuluskan modusnya. Ini yang menjadi awal buruk profesi wartawan dalam tanda kutip “dicintai tapi dibenci”. Intinya Fahd mengatakan persoalan ini tidak jauh dari urusan ekonomi semata dan ini harus dicarikan solusinya.
Fahd A Rafiq juga melihat dilapangan adanya jarak antara wartawan Mainstream dan non Mainstream padahal kan mereka satu profesi kok berkubu seperti itu, kadang saling injak dan tikam sesama profesi untuk mencari segenggam berlian.
Fahd A Rafiq menambahkan lagi bahwa tidak semua pers memiliki gaji tetap dan harus bagi hasil perusahaan apalagi perusahaannya hanya mengandalkan dari iklan untuk pendapatan kantor. Ini menjadi PR besar untuk para pengusaha media baik yang besar, menengah dan kecil serta harus dicarikan solusinya.
Di lain sisi Fahd A Rafiq memberikan contoh Era Bapak Ali Sadikin setiap berita negatif tentang dirinya di Stabilo merah, sebagai seorang pemimpin dia memerlukan kontrol dan kritik sebagai masukan untuk melakukan kinerja. Dengan menghargai control dan kritik pers terbukti pemerintahan Ali Sadikin dipuji public sebagai success Story.
Di Amerika Serikat Era Bill Clinton ada unit kerja khusus yaitu National Security Agency dengan dibentuknya NSA pemerintah Amerika Serikat yang menjadi patokan negara penganut demokrasi wujud pengakuan negara terhadap pers sebagai kekuatan ke 4.
Fahd A Rafiq melihat data di lapangan ketika banyak orang yang mengkritik dan memberikan saran yang dikritik justru sosok individunya yang kena Black Campaign bukan soal kinerjanya. Ini yang menjadi faktor awal banyak pejabat, publik figur kurang respek dengan para jurnalis bahkan sampai urusan sangat privasi ditanyakan.
Jadi menurutnya jurnalis juga harus melihat dan mengenal objeknya terlebih dahulu dengan mencari tahu, menganalisa dan di strategikan karakter orang yang mau diwawancara.
“Segala sesuatu ada batasnya atau limitnya, kebebasan pers juga ada limitnya sesuatu yang berlebihan juga gak baik ditakutkan akan menimbulkan HOAX (fitnah) yang menyebabkan si objek pemberitaan jadi jengkel,” tutup Fahd A Rafiq.
Penulis : Ahmad Sofyan (Bapera Pusat).