Mengungkap 7 Sisi Gelap Pesantren, Realita Tersembunyi yang Terang Benderang

Di balik peran positifnya, terdapat sisi gelap pesantren yang jarang terekspos, terutama terkait isu kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan verbal.

Mengungkap 7 Sisi Gelap Pesantren, Realita Tersembunyi yang Terang Benderang
Sisi Gelap Pesantren. Gambar : BaperaNews/ Achmad Rifai

BaperaNews - Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama yang telah lama hadir di Indonesia, pesantren memiliki peran signifikan dalam membentuk generasi muda yang berkarakter dan berakhlak.

Namun, di balik peran positifnya, terdapat sisi gelap pesantren yang jarang terekspos, terutama terkait isu kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan verbal.

Meski tak terjadi di semua pesantren, namun fenomena ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak.

Artikel ini akan membahas sepuluh sisi gelap pesantren yang jarang diungkap. So, check this out!

1. Relasi Kuasa antara Pengajar dan Santri

Relasi Kuasa antara Kiai dan SantriGambar: BaperaNews/ Achmad Rifai

Di pesantren, pengajar atau pemimpin pesantren memiliki peran yang sangat dihormati dan dihargai oleh santri. 

Relasi kuasa ini sering menciptakan ikatan yang kuat antara pengajar dan santri, tetapi bisa saja menjadi boomerang.

Dalam beberapa kasus, santri merasa takut atau segan untuk mengungkapkan keluhannya karena khawatir dianggap tidak menghormati pengajarnya.

Relasi yang terlalu dominan ini dapat membuat santri terjebak dalam kondisi yang sulit diakses oleh orang luar, termasuk orang tua mereka.

Ketidakseimbangan relasi ini membuat santri rentan terhadap intimidasi, sehingga perlu adanya batas-batas dan aturan yang melindungi hak santri agar terhindar dari perlakuan tidak adil.

2. Kasus Kekerasan Seksual 

Kasus Kekerasan Seksual yang TertutupGambar : BaperaNews/ Achmad Rifai

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, adalah bukan isu yang baru lagi.  

Banyak kasus jarang terekspos karena ketatnya lingkungan pesantren serta relasi kuasa yang kuat.

Santri yang menjadi korban sering kali takut melaporkan kejadian tersebut karena khawatir akan tekanan atau ancaman dari pelaku.

Stigma sosial juga menjadi penghalang bagi korban untuk mencari bantuan. 

Oleh sebab itu, membangun sistem yang memungkinkan korban mendapatkan dukungan dan perlindungan sangat penting untuk menghilangkan sisi gelap ini dari lingkungan pesantren.

3. Kekerasan Fisik dan Perundungan Antar Santri

Kekerasan Fisik dan Perundungan Antar SantriGambar : BaperaNews/ Achmad Rifai

Kekerasan fisik, termasuk perundungan oleh senior terhadap junior, sering terjadi di lingkungan pendidikan, tak terkecuali di pesantren.

Budaya senioritas yang mengakar membuat santri junior cenderung takut untuk menolak permintaan seniornya.

Kasus perundungan ini tidak jarang berujung pada kekerasan fisik yang dapat mengakibatkan trauma jangka panjang bagi korban atau bahkan kematian. 

Sudah ada banyak kasus-kasus kematian di pesantren karena senioritas ini. 

Oleh sebab itu, untuk mengurangi kasus serupa, penting adanya aturan tegas yang melarang kekerasan fisik dan perundungan di pesantren. 

Edukasi terkait pentingnya saling menghormati di antara santri, tanpa memperhatikan senioritas, bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi perundungan.

4. Keterbatasan Akses Orang Tua ke Kehidupan Santri

Keterbatasan Akses Orang Tua ke Kehidupan SantriGambar : BaperaNews/ Achmad Rifai

Di pesantren, banyak orang tua tidak dapat selalu memantau perkembangan anaknya secara langsung.

Hal ini menjadi masalah ketika pesantren membatasi akses bagi orang tua untuk mengunjungi atau berkomunikasi dengan santri.

Keterbatasan akses ini menyulitkan orang tua untuk mengetahui kondisi fisik dan mental anak mereka secara menyeluruh.

Oleh sebab itu, pesantren perlu memberikan ruang bagi orang tua untuk berperan aktif dalam memantau perkembangan anak.

Dengan akses komunikasi yang baik, orang tua bisa berkontribusi dalam menjaga kesejahteraan anak mereka di lingkungan pesantren, menciptakan rasa aman bagi santri, dan memastikan proses pendidikan berjalan dengan nyaman.

5. Rendahnya Pengawasan Pihak Eksternal

Rendahnya Pengawasan Pihak EksternalGambar : BaperaNews/ Achmad Rifai

Pesantren sebagai institusi pendidikan swasta terkadang memiliki keterbatasan pengawasan dari pihak luar.

Hal ini bisa berakibat pada kurangnya pemantauan dari eksternal terhadap kesejahteraan santri dan kebijakan yang diterapkan di pesantren.

Rendahnya pengawasan eksternal juga membuat banyak kasus tidak terdeteksi sejak awal, sehingga risiko pelanggaran semakin besar.

Penting bagi pesantren untuk terbuka terhadap pengawasan eksternal, baik dari pemerintah maupun organisasi yang berfokus pada perlindungan anak.

Pengawasan ini bukan untuk mengganggu proses pendidikan, melainkan untuk memastikan standar keamanan dan kesejahteraan santri terpenuhi.

6. Marak Hubungan Sesama Jenis

Di beberapa pesantren, hubungan sesama jenis seolah telah menjadi rahasia umum. Hal ini diketahui berdasarkan penuturan dari mereka yang pernah tinggal di pesantren. 

Dikutip dari Mojok.co, hubungan sesama jenis di pesantren memiliki sebutannya sendiri, misalnya mairil dan nyampet.

Mairil adalah istilah hubungan sesama jenis di kalangan santri yang ditujukan pada seseorang dengan wajah tampan dan baby face. 

Sementara nyampet adalah aktivitas seksual yang dilakukan santri dengan cara mengimpitkan kelamin ke paha mairilnya.

Aktivitas ini kebanyakan dilakukan dalam ranah pelecehan, bukan secara konsensual. 

“Sebetulnya ini tergantung pribadi masing-masing, sih. Sejauh ini suka sesama jenis udah jadi rahasia umum di pondok,” kata salah satu narasumber di Mojok.co yang merupakan seorang santri di Ngawi.

7. Banyak Maling Bra 

Di pesantren, banyak terjadi kehilangan barang, salah satunya bra alias kutang perempuan. 

Salah satu perempuan yang pernah mondok di Ngawi mengatakan bahwa ia pernah kehilangan bra saat di pesantren. 

Setelah diusut, pelakunya adalah santri putra berjumlah 9-12 orang yang sedang jaga malam. 

Mereka masuk ke asrama putri saat semua orang terlelap. Dalam melancarkan aksinya, mereka hanya mencuri bra berbusa.

Sebagai institusi pendidikan, pesantren memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pembentukan karakter santri.

Tanggung jawab ini meliputi pencegahan segala bentuk kekerasan, pengawasan ketat, dan komunikasi yang terbuka dengan santri serta orang tua.

Pesantren perlu mengutamakan keamanan dan kesejahteraan santri dengan menerapkan kebijakan yang jelas dan tegas.

Dalam ekosistem yang aman dan sehat, santri dapat tumbuh menjadi individu yang kuat secara fisik, mental, dan spiritual, serta terhindar dari dampak negatif lingkungan yang tidak kondusif.

Uraian sisi gelap pesantren di atas tak bisa kita generalisir terjadi di semua pesantren yang ada di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. 

Masih banyak pesantren-pesantren yang memperhatikan kenyamanan dan keamanan para santrinya. 

Oleh sebab itu, jika kamu ingin memasukkan anak atau saudaramu ke pesantren, pastikan kamu memilih pesantren yang tepat, ya!

Referensi: 

  • Mojok.co. Sisi Gelap Pondok Pesantren, dari Maling Kutang hingga Menyukai Sesama Jenis. Tautan: https://mojok.co/liputan/sisi-gelap-pondok-pesantren/2/
  • JabarEkspres.com. 7 Sisi Gelap Pesantren dari LGBT hingga Perbudakan Seksual. Tautan: https://jabarekspres.com/berita/2023/01/23/7-sisi-gelap-pesantren-dari-lgbt-hingga-perbudakan-seksual/2/