12 Sisi Gelap Jepang, Ada Komunitas dan Dunia Malam Remaja
Di balik kemajuan Jepang, terdapat sisi gelap seperti budaya kerja ekstrem, diskriminasi, dan tingginya angka bunuh diri. Simak faktanya di sini.
BaperaNews - Jepang dikenal dunia sebagai negara dengan kemajuan pesat di bidang teknologi dan ekonomi, serta keindahan alamnya yang memikat. Negeri Sakura ini tidak hanya menyuguhkan pemandangan gunung yang megah dan kuil-kuil bersejarah, tetapi juga kota-kota modern yang gemerlap seperti Tokyo dan Osaka.
Tak heran, Jepang menjadi salah satu destinasi wisata paling populer di Asia, menarik jutaan turis dari berbagai negara yang ingin menikmati keindahan dan keunikannya. Banyak orang pun bermimpi untuk tinggal di Jepang, terpikat oleh etos kerja yang tinggi dan peluang karier yang menjanjikan.
Namun, di balik kemajuan dan pesona yang terlihat, Jepang juga menyimpan sejumlah sisi gelap yang jarang diketahui oleh para wisatawan.
Dari tekanan kerja yang ekstrem hingga tingkat bunuh diri yang tinggi, realita kehidupan di Jepang sering kali mengejutkan pendatang yang tidak terbiasa dengan budaya dan tantangan sosialnya.
Lantas, apa saja sisi gelap Jepang yang tersembunyi di balik keindahannya? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
1. Komunitas “Toyoko Kids” dan Dunia Malam Remaja Jepang
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Di Tokyo, terutama di kawasan Shinjuku, terdapat fenomena yang dikenal dengan “Toyoko Kids.” Ini adalah sekelompok remaja yang sering berkumpul di sekitar TOHO Cinema, membentuk komunitas jalanan untuk menghindari pelecehan atau masalah di rumah.
Awalnya, mereka berkumpul demi keselamatan, tetapi seiring waktu, banyak dari mereka justru terjerumus dalam dunia malam. Mereka mengonsumsi alkohol, menggunakan narkoba, bahkan terlibat dalam prostitusi dan organisasi kriminal seperti Yakuza.
Para remaja ini sering terlihat mengenakan pakaian “Jirai Kei,” gaya yang dikenal dengan tampilan kawaii tetapi berunsur gelap. Masyarakat sekitar merasa khawatir dengan kehadiran Toyoko Kids ini karena sering kali mereka mabuk, tertidur di jalanan, dan menimbulkan kerumunan.
Meskipun kepolisian sering melakukan razia, mereka tetap kembali ke lokasi tersebut, menunjukkan betapa sulitnya mengatasi masalah ini.
2. Budaya Gila Kerja dan Fenomena “Karoshi”
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Budaya kerja di Jepang sangat berbeda dengan banyak negara lain, di mana waktu kerja yang panjang dan dedikasi penuh menjadi standar yang dihormati. Banyak pekerja menghabiskan waktu hingga 12-14 jam sehari di kantor untuk menyelesaikan berbagai target dan deadline.
Semangat bekerja keras dan maksimal ini sering kali membuat pekerja Jepang mengabaikan keseimbangan hidup, atau work-life balance, yang justru dianggap sebagai kelemahan.
Tekanan kerja yang ekstrem ini telah melahirkan fenomena “karoshi,” atau kematian akibat kelelahan bekerja. Kasus karoshi menjadi perhatian serius di Jepang, dengan sejumlah pekerja meninggal karena tekanan fisik dan mental yang berlebihan.
Di berbagai tempat umum, bukan hal asing melihat pekerja tertidur di transportasi umum atau beristirahat di stasiun karena baru pulang kerja dini hari. Bagi wisatawan atau orang asing yang baru pertama kali ke Jepang, budaya kerja keras ini mungkin terlihat mengejutkan.
3. Harga Hunian yang Tinggi dan Diskriminasi Terhadap Orang Asing
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Mencari tempat tinggal di Jepang bukanlah perkara mudah. Harga rumah dan apartemen di kota besar seperti Tokyo atau Osaka sangat tinggi, bahkan untuk ukuran kamar yang kecil sekalipun.
Tantangan ini semakin berat bagi orang asing yang ingin tinggal di Jepang. Banyak pemilik properti enggan menyewakan hunian mereka kepada orang asing dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kekhawatiran atas perbedaan budaya dan bahasa.
Bagi mereka yang akhirnya berhasil menemukan hunian, biasanya akan menghadapi harga sewa yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyewa lokal.
Diskriminasi semacam ini membuat banyak orang asing kesulitan menemukan tempat tinggal, sehingga biaya hidup di Jepang pun menjadi semakin mahal dan sulit diakses.
4. Tingginya Angka Bunuh Diri di Jepang
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Budaya Jepang yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat telah menciptakan tekanan besar di kalangan masyarakatnya. Tekanan kerja, tuntutan sosial, dan masalah personal menjadi beberapa faktor utama yang mendorong tingginya angka bunuh diri di Jepang.
Banyak orang Jepang memilih mengakhiri hidup mereka daripada menanggung rasa malu atau kegagalan yang dianggap akan mencoreng nama baik mereka.
Jepang memiliki angka bunuh diri yang tinggi, terutama di kalangan pekerja dan pelajar yang mengalami tekanan berlebihan. Fenomena ini mencerminkan sisi gelap Jepang yang jarang disorot oleh media wisata, tetapi sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat Jepang.
5. Sikap Individualistis dan Menjaga Jarak dengan Orang Asing
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Bagi wisatawan atau pendatang yang ingin menetap di Jepang, ada baiknya untuk mengetahui bahwa masyarakat Jepang memiliki sifat individualistis yang tinggi. Banyak orang Jepang yang lebih memilih untuk menjaga jarak dengan orang asing, terutama karena kendala bahasa dan perbedaan budaya.
Hal ini bukan berarti mereka tidak ramah, tetapi mereka cenderung lebih nyaman berinteraksi dengan sesama orang Jepang.
Tingkat individualisme yang tinggi ini juga membuat Jepang memiliki lingkungan yang sangat tertutup, di mana orang asing sering kali merasa kesulitan untuk berbaur.
Di beberapa lingkungan, pendatang bahkan dianggap “mengganggu” jika tidak memahami aturan atau adat setempat, yang bagi mereka adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari.
6. Tingginya Kasus Pelecehan Seksual
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Jepang memang dikenal aman dari segi kejahatan umum, tetapi sayangnya, pelecehan seksual masih menjadi masalah yang sangat tinggi di negara ini. Kasus pelecehan di transportasi umum, terutama di kereta api pada jam sibuk, menjadi masalah serius.
Meskipun terdapat aturan yang melindungi perempuan, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban merasa malu atau takut.
Pihak kepolisian juga sering kali dianggap tidak memberikan penanganan yang serius terhadap laporan pelecehan seksual, yang mengakibatkan banyak korban memilih diam. Dampak dari sikap ini membuat banyak perempuan Jepang merasa tidak nyaman dan cenderung berhati-hati saat berada di tempat umum.
7. Bullying di Sekolah dan Kampus
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Kasus bullying atau “ijime” sangat umum di sekolah dan universitas, menyebabkan banyak anak dan remaja mengalami tekanan psikologis berat hingga beberapa di antaranya memilih untuk bunuh diri.
Tekanan sosial yang sangat tinggi di Jepang membuat bullying sering kali sulit untuk dihentikan. Pihak sekolah pun kerap gagal melindungi korban atau memberikan tindakan tegas kepada pelaku.
Bullying yang sering kali terjadi secara fisik maupun verbal ini menjadi salah satu masalah yang serius dan berdampak panjang pada mental korban.
Bagi para pelajar Jepang, bullying ini sering kali merupakan masalah sehari-hari yang sulit diatasi.
8. Industri Seks yang Meluas
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Selain dikenal dengan film dewasa, Jepang memiliki bisnis prostitusi yang disebut “joshi kosei” yang melibatkan remaja dan anak sekolah. Fenomena ini cukup mengejutkan banyak orang asing, karena di beberapa wilayah kota, pelajar perempuan bisa ditemui membagikan brosur sebagai bagian dari promosi bisnis.
Industri ini menjadi sisi gelap Jepang yang sering kali menimbulkan keprihatinan bagi para wisatawan.
9. Budaya Minum Alkohol yang Intens
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Budaya “nomikai” atau kebiasaan minum bersama sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Jepang. Pemandangan orang mabuk di jalan bukanlah hal asing di kota besar seperti Tokyo.
Banyak dari mereka yang selesai bekerja hingga larut malam sering melepas penat dengan minum alkohol bersama rekan-rekannya, dan tak jarang terlihat tertidur di jalan.
10. Budaya Onsen atau Pemandian Umum yang Unik
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Budaya mandi di onsen tanpa busana sudah menjadi tradisi di Jepang, yang mungkin mengejutkan bagi orang asing. Meski demikian, kini banyak onsen yang membedakan area mandi antara pria dan wanita. Meski sebagian wisatawan merasa kurang nyaman, budaya ini tetap dilestarikan sebagai bagian dari tradisi Jepang yang unik.
11. Tunawisma yang Jarang Tampak di Siang Hari
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Meski Jepang negara maju, tunawisma masih menjadi masalah. Para gelandangan lebih banyak keluar malam hari untuk mencari makan dan beristirahat di tempat umum. Mereka biasanya bersembunyi di siang hari, dan memilih tempat seperti taman, stasiun, atau jembatan sebagai tempat tinggal sementara.
12. Sensitivitas Terhadap Kebisingan di Lingkungan
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Masyarakat Jepang sangat tidak menyukai kebisingan, dan tak jarang pendatang baru mendapat peringatan dari tetangga jika dianggap terlalu berisik. Bahkan, kebisingan kecil sekalipun sering kali dianggap mengganggu dan dapat menimbulkan konflik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang asing yang tinggal di Jepang.
Di balik citra modern dan budaya unik yang terlihat dari Jepang, banyak sisi gelap yang jarang diketahui oleh wisatawan maupun pendatang baru. Tantangan-tantangan seperti budaya kerja ekstrem, diskriminasi terhadap orang asing, hingga tingginya angka bunuh diri mencerminkan kompleksitas kehidupan di Negeri Sakura.
Meski sisi gelap Jepang ini jarang diangkat dalam promosi wisata, mengenalnya dapat membantu kita memahami negara ini lebih dalam dan mempersiapkan diri untuk menghadapi realitas yang mungkin jauh dari ekspektasi.
Pada akhirnya, Jepang tetap menjadi destinasi wisata yang menarik dan memukau. Namun, seperti negara lainnya, Jepang memiliki tantangan sosial yang perlu diperhatikan.
Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai sisi tersembunyi Jepang, kita bisa lebih menghargai keindahan dan keunikan negara ini dengan pandangan yang lebih realistis.