Jokowi Minggu Depan Umumkan Kenaikan Pertalite, Lembaga Riset Ekonomi Peringatkan Pemerintah!
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menanggapi sinyal kenaikan Pertalite oleh Jokowi. Dampak ngeri bisa timbul, Pemerintah harus benar-benar cermat!
BaperaNews - Presiden RI Jokowi disebut akan umumkan kenaikan harga BBM jenis Pertalite minggu depan. Menkomarives Luhut Binsar mengungkap kenaikan ini terpaksa dilakukan untuk mengurangi beban APBN yang selama ini telah menahan kenaikan harga BBM Pertalite dengan subsidi.
"Nanti mungkin minggu depan Presiden akan mengumumkan mengenai apa bagaimana kenaikan harga ini," ujar Luhut Binsar di Universitas Hasanuddin, Makassar, seperti dikutip dalam video YouTube pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Luhut berujar presiden sudah mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mungkin mempertahankan besarnya subsidi energi. Sebab, menurutnya harga BBM di Indonesia adalah yang termurah. "Kita jauh lebih murah dari yang lain dan itu beban APBN yang besar kita," ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah harus benar - benar cermat untuk rencana ini.
“Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap menghadapi kenaikan harga BBM setelah inflasi bahan pangan hampir sentuh 11% secara tahunan per Juli 2022?” ujarnya (19/8).
Celios merupakan Lembaga riset yang fokus dibidang ekonomi dan kebijakan publik untuk mendorong pemerataan ekonomi, ekonomi yang berkelanjutan dan kualitas inovasi digital
Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Indonesia Menurut Bhima Yudhistira
Menurutnya, masyarakat kelas menengah juga akan terdampak akibat kenaikan harga BBM, mungkin yang sebelumnya kuat beli pertamax, sekarang migrasi ke pertalite dan kalau harga pertalite naik maka kelas menengah juga akan korbankan belanja lainnya.
Bhima menambahkan, masyarakat yang semula bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga menyisihkan uang untuk usaha akhirnya harus teralihkan uangnya untuk beli bensin.
Baca Juga : Pertalite Dianggap Langka, Pertamina Sebut Masih Kirim Sesuai Kebutuhan
Imbasnya, permintaan industri manufaktur terpukul dan serapan tenaga kerja terganggu yang akhirnya target pemulihan ekonomi pemerintah berantakan.
“Jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul Negara lain yang masuk fase stagflasi, membuat daya beli masyarakat turun tajam dan 3 - 5 tahun recovery terganggu” paparnya.
Bhima Yudhistira kemudian mengungkap data berdasarkan APBN, dari Januari - Juli 2022, serapan subsidi energi baru Rp 88,7 Triliun dan surplusnya Rp 106,1 Triliun atau 0,57% dari PDB Juli. Artinya, pemerintah juga mengalami kenaikan harga minyak mentah untuk meningkatkan penerimaan Negara.
“Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk menambal subsidi energi? Jangan ada indikasi pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgent dan korbankan subsidi energi” bebernya.
Menurut Bhima, solusi terbaik selain kenaikan harga BBM ialah pemerintah merevisi aturan solar subsidi yang dinikmati industri skala besar, perkebunan besar, dan pertambangan. Dengan demikian, pengeluaran subsidi bisa lebih hemat karena 93% dari subsidi ialah untuk solar.
Seharusnya subsidi solar hanya boleh dinikmati rakyat kecil, UMKM kecil, atau perusahaan kecil, bukan untuk perusahaan berskala besar.
“Atur dulu kebocoran solar subsidi hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk pertalite. Kalau pemerintah menaikkan harga pertalite, inflasi akan terdorong lebih tinggi di atas 6% bahkan bisa di atas 8%” tandasnya.
Baca Juga : Menhub Buka Suara Usai Harga Tiket Pesawat Naik