Fenomena Global: Di Percaya Jadi Awal Tanda Kiamat, 40% Permukaan Bumi Kini Alami Kekeringan Ekstrem
Kekeringan ekstrem melanda 40% permukaan Bumi, mempengaruhi 2,3 miliar orang, dengan dampak besar pada lingkungan, ekonomi, dan kehidupan manusia.
BaperaNews - Kekeringan ekstrem kini melanda 40% permukaan Bumi, menurut laporan terbaru dari UN Convention to Combat Desertification (UNCCD) yang dirilis oleh PBB.
Laporan tersebut mengungkap dampak serius kekeringan terhadap lingkungan, ekonomi, dan kehidupan manusia, menjadi peringatan besar terkait perubahan iklim dan pemanasan global.
Kekeringan Meluas dalam Tiga Dekade
UNCCD melaporkan bahwa sejak 1990-an hingga 2020, lebih dari 77% daratan Bumi mengalami peningkatan kekeringan.
Selama periode tersebut, area tanah kering bertambah sekitar 4,3 juta kilometer persegi. Saat ini, 40% permukaan dunia, tidak termasuk Antartika, diklasifikasikan sebagai daratan kering.
Kondisi ini berdampak pada lebih dari 2,3 miliar orang, setara dengan 25% populasi global, yang tinggal di wilayah tersebut. Jika tren ini berlanjut, jumlah populasi terdampak diperkirakan mencapai 5 miliar orang pada 2100.
“Ketika iklim menjadi lebih kering, kemampuan untuk kembali ke kondisi sebelumnya hilang. Krisis ini adalah ancaman eksistensial bagi miliaran orang di seluruh dunia,” ujar Ibrahim Thiaw, Sekretaris Eksekutif UNCCD.
Dampak Kekeringan di Wilayah Global
Kekeringan telah memengaruhi berbagai wilayah di dunia dengan cara yang berbeda. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, ketersediaan air telah menurun lebih dari 75% sejak 1950-an, memicu badai pasir dan debu yang lebih sering terjadi.
Degradasi ekosistem di kawasan tersebut memperburuk kerawanan pangan akibat turunnya produktivitas lahan pertanian.
Hotspot kekeringan lainnya meliputi Amerika Serikat bagian barat, Brasil, Afrika tengah, dan Eropa, di mana 95% daratannya mengalami pengeringan permanen.
Tren serupa juga tercatat di Asia Timur, sebagian besar wilayah Mediterania, dan Australia selatan. Kondisi ini turut meningkatkan risiko kebakaran hutan serta memperburuk kelangkaan air, terutama di AS bagian barat.
UNCCD memperingatkan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global mempercepat degradasi lahan. Dalam skenario terburuk, jika emisi gas rumah kaca tidak ditekan, sekitar 3% wilayah lembap di dunia dapat berubah menjadi daratan kering pada akhir abad ini.
Baca Juga : Fenomena Langka, Salju Turun di Gurun Al-Jawf Arab Saudi untuk Pertama Kalinya
Konsekuensi Lingkungan dan Ekonomi
Kekeringan ekstrem membawa dampak signifikan bagi ekosistem alami dan manusia. Lahan yang semakin kering menjadi kurang produktif untuk pertanian, mengancam pasokan pangan dunia.
Selain itu, degradasi lahan mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap karbon, yang pada akhirnya memperburuk perubahan iklim.
Barron Orr, Kepala Ilmuwan UNCCD, menyebut kekeringan ini sebagai "titik kritis bencana" yang dapat membahayakan keberlanjutan kehidupan manusia.
Akses terhadap air semakin terancam, mendesak perlunya aksi global untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan memperbaiki pengelolaan sumber daya air.
Solusi untuk Mengurangi Dampak
Laporan PBB menyerukan tindakan segera untuk mengatasi masalah ini. Negara-negara diharapkan meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan air melalui teknologi seperti irigasi tetes serta penanaman tanaman yang membutuhkan lebih sedikit air.
Menekan emisi gas rumah kaca juga menjadi langkah kunci untuk mencegah pengeringan lebih lanjut.
Krisis kekeringan global ini menggarisbawahi pentingnya kerja sama internasional dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global.
Jika langkah pencegahan tidak segera diambil, kekeringan yang semakin meluas dapat membawa konsekuensi tak terbayangkan bagi kehidupan di Bumi, sebuah ancaman yang mengingatkan kita pada kemungkinan "kiamat" ekologis di masa depan.
Baca Juga : Warga Tabanan Bali Dihebohkan Fenomena Langka Hujan Es