7 Sisi Gelap Singapura, Masih Minat #KaburAjaDulu ke Negara Ini?
Di balik kemegahan dan keteraturan ini, ada sisi gelap Singapura yang jarang diketahui orang.

BaperaNews - Singapura adalah negara maju di Asia Tenggara yang sering menjadi pilihan wisata dan tempat tinggal bagi warga Indonesia.
Negara ini terkenal dengan kebersihan, keamanan, dan sistem transportasinya yang efisien.
Singapura juga memiliki standar hidup yang tinggi dan dikenal dengan berbagai ikon wisata seperti Merlion, Marina Bay Sands, dan Orchard Road.
Namun, di balik kemegahan dan keteraturan ini, ada sisi gelap Singapura yang jarang diketahui orang.
Ya, banyak dari kita mungkin berpikir bahwa hidup di Singapura sangat ideal, tetapi sebenarnya ada banyak tantangan dan sisi kelam di balik kemajuan negara ini.
Baca Juga: 7 Sisi Gelap Malaysia yang Perlu Kamu Tahu, Ternyata Gak Seindah yang Terlihat!
1. Budaya Kerja yang Keras dan Kompetitif
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Budaya kerja di Singapura terkenal sangat kompetitif. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, semua dituntut untuk selalu berprestasi dan memberikan yang terbaik.
Tekanan besar untuk bersaing ini menyebabkan banyak warga Singapura mengalami stres.
Anak-anak harus mengikuti sistem pendidikan yang sangat ketat, sementara orang dewasa menghadapi ekspektasi tinggi di dunia kerja.
Dampaknya, banyak orang merasa kelelahan dan tertekan karena selalu harus memenuhi ekspektasi yang tinggi.
Budaya yang disebut kiasu ini membuat banyak orang takut kalah dan selalu berusaha untuk tetap berada di atas.
Namun, tekanan besar ini tidak jarang berdampak negatif pada kesehatan mental masyarakat, yang membuat mereka merasa terkekang dalam kehidupan sehari-hari.
Meski budaya ini membantu membangun ekonomi yang kuat, namun sisi gelap dari mentalitas kompetitif ini tak bisa diabaikan.
2. Biaya Hidup yang Tinggi
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Standar hidup di Singapura mungkin tinggi, tetapi begitu juga biaya hidupnya.
Mulai dari harga bahan makanan hingga tempat tinggal, hampir semua kebutuhan dasar di Singapura memiliki harga yang mahal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi mereka yang berpenghasilan standar.
Sebagai contoh, harga makanan sehari-hari bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan harga di Indonesia.
Selain itu, biaya sewa tempat tinggal juga tinggi, dengan harga apartemen kecil yang bisa mencapai miliaran rupiah.
Bagi orang yang ingin pindah ke Singapura, ini adalah faktor penting yang perlu dipertimbangkan karena tingginya biaya hidup dapat menjadi beban besar.
Kendati demikian, banyak yang beranggapan bahwa biaya hidup tinggi ini selaras dengan standar minimum penghasilan di Singapura.
3. Persaingan dengan Imigran
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Singapura sangat bergantung pada tenaga kerja asing untuk mendukung perekonomian mereka.
Namun, ketergantungan ini menciptakan persaingan yang ketat antara warga lokal dan pekerja imigran.
Imigran yang datang dari berbagai negara Asia lainnya sering kali mengisi posisi-posisi pekerjaan yang juga diinginkan oleh warga lokal, sehingga membuat persaingan di lapangan kerja semakin ketat.
Baca Juga: 4 Sisi Gelap Hello Kitty, Benarkah Simbol Pemuja Setan?
Hal ini menyebabkan konflik sosial yang cukup terasa di Singapura, terutama karena banyak warga lokal yang merasa posisi mereka terancam.
Di sisi lain, pemerintah tetap membutuhkan imigran untuk mendukung tenaga kerja mereka, mengingat populasi Singapura yang semakin menua.
4. Beban pada Lansia untuk Tetap Bekerja
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Tingginya biaya hidup dan usia pensiun yang cukup tua menyebabkan banyak lansia di Singapura masih harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Meski standar upah di Singapura terbilang tinggi, tapi biaya hidup yang mahal membuat banyak lansia terpaksa bekerja di usia yang seharusnya sudah tenang menikmati masa pensiun.
Lansia di Singapura banyak bekerja sebagai petugas kebersihan, penjaga keamanan, atau pekerjaan lain yang biasanya membutuhkan tenaga fisik.
Melihat banyaknya lansia yang bekerja di tempat-tempat umum menjadi pemandangan biasa di Singapura.
Kondisi ini menunjukkan sisi lain dari standar hidup tinggi Singapura yang ternyata menyulitkan bagi sebagian penduduk, terutama bagi mereka yang sudah lanjut usia.
Kendati demikian, ada juga lansia yang bekerja karena ingin bersosialisasi sebab jenuh di rumah.
Pekerjaan lansia pun diatur hanya maksimal enam jam setiap harinya.
5. Kesenjangan Gender dalam Pendapatan
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Meski merupakan negara maju, Singapura masih mengalami kesenjangan gender dalam pendapatan.
Hal ini tentu mengundang banyak kritik, mengingat Singapura memiliki standar kerja dan pendidikan yang tinggi.
Pada tahun 2019, pendapatan pekerja wanita di Singapura tercatat 12,5% lebih rendah dibandingkan pria.
Baca Juga: 6 Sisi Gelap Mangga Besar, 'Surga' di Jakarta Barat bagi Pria Berhidung Belang
Industri dengan kesenjangan upah terbesar adalah layanan kesehatan dan sosial, jasa keuangan dan asuransi, serta informasi dan komunikasi.
Bagi perempuan yang berencana berkarier di Singapura, ini menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan.
Meskipun kesenjangan ini secara perlahan berusaha diatasi, kenyataannya hingga saat ini masih terjadi diskriminasi yang berdampak pada kualitas hidup sebagian masyarakat, terutama perempuan.
6. Pekerja Seks Dilegalkan
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Di Singapura, prostitusi tidak dianggap ilegal, namun berbagai aktivitas terkait prostitusi diatur secara ketat oleh pemerintah.
Pekerja seks hanya diizinkan beroperasi di rumah bordil yang telah disetujui dan diatur oleh pemerintah.
Area utama untuk prostitusi terletak di distrik Geylang, yang memiliki lebih dari 100 rumah bordil yang diatur oleh tiga lembaga pemerintah, yaitu Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Pekerja seks yang diakui secara hukum harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
-
Berusia antara 21 hingga 35 tahun.
-
Memiliki kewarganegaraan dari salah satu negara berikut: Singapura, China, Vietnam, Thailand, atau Malaysia.
-
Menjalani pemeriksaan kesehatan rutin dan membawa kartu kesehatan yang menunjukkan status kesehatan mereka.
-
Dilarang meninggalkan rumah bordil tanpa izin. Jika melanggar dapat dikenakan denda hingga 500 dolar Singapura.
Selain itu, pekerja seks yang diakui secara hukum tidak diperbolehkan menikah dengan warga negara Singapura dan harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Jika mereka dinyatakan positif mengidap penyakit menular seksual, mereka akan dideportasi dan dilarang kembali ke Singapura untuk tujuan apapun.
Baca Juga: Menguak 7 Sisi Gelap Hollywood: Wajah Kelam di Balik Gemerlap Kemewahan
7. Kesenjangan Sosial yang Signifikan
Gambar : BaperaNews/Achmad Rifai
Di balik standar hidup yang tinggi, Singapura juga menghadapi tantangan kesenjangan sosial yang cukup besar.
Perbedaan antara warga kaya dan miskin semakin terlihat, terutama di area perumahan dan akses terhadap layanan publik.
Meskipun pemerintah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ini dengan berbagai kebijakan sosial, faktanya masih ada banyak warga yang merasa sulit memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Kesenjangan sosial di Singapura juga tercermin dalam akses pendidikan yang berbeda-beda di kalangan masyarakat.
Faktor-faktor ini menyebabkan sebagian warga masih berada di bawah tekanan sosial dan ekonomi yang membuat kualitas hidup mereka tidak setara dengan penduduk lain.
Singapura mungkin terlihat sempurna dengan segala kemewahan dan keteraturannya, tetapi sisi gelap Singapura menunjukkan bahwa negara ini masih memiliki banyak tantangan.
Sebelum memutuskan untuk pindah atau tinggal di sana, penting untuk memahami realitas yang ada di balik citra glamor negara ini.