Ternyata Anak yang Fatherless Cenderung Memilih Tidak Menikah dan Childfree
Anak yang tumbuh tanpa peran ayah cenderung enggan menikah atau memilih hidup childfree. Psikolog jelaskan dampak emosional dari kondisi fatherless.
BaperaNews - Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi fatherless atau tanpa kehadiran peran ayah yang optimal cenderung memiliki kecenderungan untuk enggan menikah atau bahkan memilih untuk hidup tanpa anak (childfree).
Hal ini disampaikan oleh psikolog klinis Anastasia Sari Dewi, yang menyoroti dampak emosional dan psikologis dari kurangnya figur ayah dalam pengasuhan anak.
Sari Dewi menjelaskan bahwa ketiadaan hubungan yang baik dengan ayah dapat menimbulkan rasa kecewa mendalam pada anak. Kondisi ini seringkali berkembang menjadi ketakutan atau keengganan untuk membangun keluarga di masa depan.
“Fatherless ini juga bisa berdampak pada kekecewaan anak yang besar. Kemudian, ketakutan dan keengganan untuk membentuk keluarga atau memiliki anak,” kata Sari Dewi ketika dihubungi pada Senin (16/12).
Ia menambahkan, anak yang tumbuh tanpa panduan emosional dari ayahnya mungkin merasa tidak memiliki contoh yang jelas tentang bagaimana menjalankan peran sebagai orang tua.
Akibatnya, mereka cenderung menghindari tanggung jawab tersebut dengan memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak.
“Karena dia mungkin juga merasa tidak tahu harus seperti apa saat menjadi orang tua, maka dia menghindari tanggung jawab tersebut dengan memilih untuk tidak memiliki anak. Itu bisa jadi salah satu faktor risiko,” jelasnya.
Menurut Sari Dewi, peran ayah dalam pengasuhan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Namun, seringkali ayah lebih fokus pada pekerjaan sehingga tidak terlibat aktif dalam pengasuhan.
Hal ini membuat komunikasi antara ayah dan anak menjadi terbatas dan hubungan emosional pun melemah.
“Ketika ayah hanya fokus dengan pekerjaan dan tidak terlibat dalam pengasuhan anak, ini bisa memutus komunikasi yang baik antara ayah dan anak, sehingga memperburuk hubungan secara emosional,” ujar Sari Dewi.
Sari Dewi juga mengingatkan agar hubungan antara ayah dan anak tidak bersifat transaksional. Contohnya, jika ayah hanya berperan sebagai penyedia materi tanpa membangun komunikasi atau keterbukaan, anak akan melihat sosok ayahnya sebagai figur yang hanya dihormati berdasarkan kepentingan pribadi.
Baca Juga : Banyak Pasangan yang Pilih Childfree, Ini Kata Psikolog!
“Misalnya ayah cuma kerja pulang kerja pulang, tanpa ada komunikasi yang baik, anak jadi melihatnya sebagai sosok yang harus dihormati dalam rangka transaksional, bukan emosional,” tegasnya.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan kebingungan pada anak terkait peran mereka dalam keluarga dan masyarakat.
“Anak juga sibuk mencari-cari posisinya seperti apa, perannya sebagai laki-laki apa, perannya sebagai perempuan apa. Semua ini menjadi sebuah kebingungan,” tandasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, hanya 37,17 persen anak usia 0-5 tahun di Indonesia yang mendapatkan pengasuhan lengkap dari kedua orang tua.
Angka ini menunjukkan masih banyak anak yang tidak menerima peran pengasuhan ayah secara penuh.
Persepsi yang salah di masyarakat bahwa pengasuhan anak adalah tugas utama ibu disebut sebagai salah satu penyebab tingginya angka fatherless di Indonesia.
Sari Dewi menegaskan bahwa ayah dan ibu memiliki peran yang seimbang dalam mendidik dan membentuk karakter anak.
Ketika ayah absen atau hanya berkontribusi secara materi, anak kehilangan aspek penting dalam pengasuhan yang berdampak langsung pada kesejahteraan emosional dan psikologis mereka.
Anak yang tumbuh dalam kondisi fatherless tidak hanya menghadapi tantangan emosional, tetapi juga kesulitan dalam menjalani kehidupan sosial dan membangun hubungan.
Ketidakmampuan untuk memahami dan meniru peran ayah dalam keluarga dapat membuat mereka merasa tidak siap untuk membentuk keluarga sendiri.
Ini menjadi salah satu alasan utama mengapa beberapa anak yang mengalami kondisi fatherless memilih untuk tidak menikah atau hidup tanpa anak.
Baca Juga : WHO Sebut Kesepian Bisa Jadi Ancaman Kesehatan Global